Tepat sebelum Nuha pulang, Hisyam melangkahkan kaki pelan memasuki rumah sambil mengucap salam. Banyak perbedaan yang tampak dari lelaki itu. Rambutnya memanjang, jenggot serta kumisnya tumbuh lebih dari sebelumnya. Pipinya pun mulai tirus dengan pigmen kulit semakin gelap. Tak sebersih sebelumnya.
Zaa yang pertama kali menyadari kehadiran lelaki itu, segera meraih tangannya, mencium punggung tangan sang ayah penuh takzim. Senyum lebar tak pudar dari bibir perempuan itu. "Ayah udah pulang?"
Seraya tersenyum, lelaki tengah baya itu mengangguk. "Alhamdulillah, Zaa. Ayah sengaja pulang sebelum peringatan empat puluh hari meninggalnya ibu kamu. Ternyata kamu di sini."
Nuha yang sejak tadi diam, membiarkan ayah dan anak itu melepas rindu, mulai menyalami Hisyam. Sama halnya Zaa, Nuha mencium punggung tangannya penuh hormat. "Om tambah kelihatan tua kalau begini." Ia terkekeh.
"Memang sudah tua, Nu." Hisyam balas terkekeh. "Kamu baru datang atau mau pulang?"
"Nuha mau pulang, Yah." Bukan Nuha yang menjawab, melainkan Zaa. "Semalam nginap di sini, ada something."
Ayah dua anak itu mengangguk mafhum.
"Oh iya, Yah. Salah satu teman Laith juga di sini. Ya ... Zaa di sini juga karena itu. Ada sesuatu."
Tanpa bertanya apa pun, Hisyam tersenyum dan mengangguk. Bukan pertama kali hal ini terjadi, ia sudah hafal urusan apa yang kiranya tengah coba diselesaikan sang putri. Alih-alih penasaran dengan teman Laith, Hisyam justru ingin tahu di mana putranya berada, tak terlihat sejak tadi.
"Laith mana, Zaa?"
Tak menunggu Zaa menjawab, Nuha lebih dulu menyahut, "Ngambek dia, Om."
Dahi Hisyam berkerut. Melemparkan tanya lewat tatapan mata.
"Minta Nuha keluar dari tempat itu," jawab perempuan itu sekenanya, dilanjut mengedikkan bahu tak acuh. Memang, sejak tadi Laith merajuk, meski tidak sedramatis itu. Aslinya, Laith tengah ditawan sang keponakan untuk bermain rubik segitiga di belakang rumah.
Sejak tadi berdiri, akhirnya Hisyam memutuskan duduk di kursi ruang tamu, diikuti Zaa. Nuha sendiri masih berdiri.
"Duduk dulu, Nu. Ada yang mau Om bicarakan," pinta Hisyam.
Tanpa protes, Nuha menurut, duduk di samping Zaa.
Dari balik sekat ruangan, Oryza yang hendak bertanya perihal bumbu dapur pada Zaa, dibuat urung tatkala melihat Hisyam di sana. Perempuan itu berakhir menguping.
"Kamu sudah punya keputusan atas tawaran Om waktu itu?"
Bukan Nuha dan Zaa yang bungkam, tetapi Oryza. Perempuan berjilbab lebar itu terhenyak, takut mendengar apa kiranya yan dimaksud ayah dari Laith itu. Sementara, yang ditanya malah cengar-cengir.
"Nuha masih bingung, Om. Lagian, apa nggak berlebihan kalau Om sampai segitunya sama Nuha?" Pangkal alis Nuha tertaut. Sungguh, ia tak enak menerima tawaran lelaki itu.
"Kalian bicarain tawaran yang mana?" Zaa yang sejak tadi masih menerka akhirnya buka suara. Dipandangnya sang ayah dan Nuha bergantian.
Setelah Zaa bertanya, Nuha semakin harap-harap cemas. Tangannya mulai memilin rok hingga kusut.
"Ambil paket C, Mbak. Tahu sendiri gue nggak lulus SMA," jawaban Nuha sukses membuat Oryza di sana membulatkan mata.
Oryza tak percaya perempuan secerdas Nuha bahkan tak lulus SMA.
Sambil menatap Nuha lekat, Hisyam menambahi, "Lanjut kuliah juga, Zaa. Ayah nawarin Nuha lanjut kuliah. Insyaallah Ayah yang biayai sampai lulus kalau dia mau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelamkari
SpiritualBagi Laith, menghadapi pikiran kelewat normal ayah dan kakaknya saja sulitnya sudah setengah mati. Belum lagi tingkah dan kekritisan berpikir keponakan tercinta yang baginya lebih cerdas dibanding anak seumuran. Ini, hidupnya dibuat semakin kalang...