Keduanya kembali berakhir di rumah Laith dengan keadaan basah kuyub. Jujur, Laith sempat menolak ajakan Nuha tadi, tetapi dilihat-lihat, memang tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Ditambah, Zaa yang tiba-tiba menelepon dan meminta Laith mengajak Nuha ke rumah setelah tahu mereka bersama.
Setelah berganti pakaian hasil dipinjami Zaa dan jamaah Magrib, Nuha diintervensi perempuan itu untuk membantunya menyiapkan makan malam. Sementara itu, Laith masih sibuk mengeluarkan semua isi tas yang untungnya tidak ikut basah.
“Nu, aku bisa titip Laith sama kamu, nggak?” tanya Zaa tiba-tiba, membuat Nuha yang sibuk menata pirig menghentikan aktivitas seketika.
“Maksud lo gimana, Mbak?” Mata perempuan itu memicing.
“Besok aku harus pulang sama Mas Ikhtar dan Yita. Otomatis Laith di sini cuma sama Ayah. Ayah juga bilang lusa mau pergi khalwat sama beberapa temennya dan udah bisa dipastikan itu akan memakan waktu seenggaknya empat puluh hari minimal.”
Kerutan jelas tampak di dahi perempuan yang rambutnya sudah terikat satu itu. “Maksud gue, kenapa harus? Laith cowok, udah gede, bisa jaga diri sendiri juga. Lagian, kenapa harus gue?”
Zaa tersenyum. Tak langsung menjawab, ia memilih mulai menata lauk di tiap piring yang sudah disiapkan Nuha sebelumnya.
“Bukan menjaga yang seperti itu, Nu. Beberapa hari kenal langsung sama Laith pasti buat kamu sedikit banyak tahu gimana pikiran anak itu. Akhir-akhir ini dia agak ruwet dan kalau aku lihat-lihat, kamu yang bisa ngatasin itu. Dia bahkan pernah tiba-tiba minta maaf sama aku, katanya kamu yang minta.”
Mengingat hari pertamanya bertemu Laith, Nuha mengangguk paham. Tanpa sadar, ia berceletuk lirih, “Itu sih, karena gue mergokin dia hampir loncat dari jembatan.”
“Hah?” Zaa mengangkat sebelah alis tinggi, membuat Nuha menggeleng dengan senyum canggungnya.
“Lupain aja, Mbak.”
Selesai menata semuanya di meja makan, Zaa kembali mendekat pada Nuha, menatapnya lekat.
“Kamu … ada kemungkin suka sama adik aku nggak, Nu?”
Diam sejenak sebelum Nuha menyemburkan tawa. Apa perempuan itu berniat menjodohkannya dengan Laith? Yang benar saja. Laith saja benci setengah mati jika diingatkan mengenai latar belakang Nuha.
Meski begitu, Nuha hanya menjawab, “Buat sekarang, nggak deh, Mbak. Lagian mana pantes gue sama Laith? Ngaco!”
Giliran Zaa yang tertawa. “Nuha, Nuha. Aku itu bukan Laith yang kenal kamu baru sehari dua hari. Nggak usah merendah gitu, aku tahu gimana yang sebenernya.”
Nuha menggaruk tengkuk, skakmat dari Jauza memang tak pernah main-main.
-o0o-
Suasana ruang makan keluarga Hisyam memang agak berbeda malam ini karena kehadiran sosok Nuha. Yang biasanya hanya terdengar celoteh Yita serta Laith, kali ini bertambah ramai.
Sebuah pemandangan yang cukup menggelikan sebenarnya karena Yita yang tiba-tiba beralih manja pada perempuan sembilan belas tahun itu, ia minta disuapi. Zaa sudah melarang, tetapi sang putra protes tak berhenti. Untung saja Nuha tak keberatan.
“Take your own bite, Kakak,” ucap Yita setelah menelan kunyahannya.
Nuha bingung dan melihat ke arah Zaa. “Mbak, artinya apa?”
“Dia minta gantian kamu yang makan, bukannya nyuapin dia terus.”
Perempuan itu mengangguk paham, lantas menuruti Yita. Menyaksikan itu, Laith tersenyum kecil dan tak luput dari pandangan Hisyam yang sejak tadi lebih banyak diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelamkari
SpiritualBagi Laith, menghadapi pikiran kelewat normal ayah dan kakaknya saja sulitnya sudah setengah mati. Belum lagi tingkah dan kekritisan berpikir keponakan tercinta yang baginya lebih cerdas dibanding anak seumuran. Ini, hidupnya dibuat semakin kalang...