4. Perihal Batas

119 39 3
                                    

Lepas isya, Laith kembali ke rumah sakit. Bersusah payah dulu karena Dayita tak mau lepas darinya, terus mengajaknya berbicara. Untung saja sang kakak ipar pengertian, membujuk sang putra dengan berjanji menceritakan awal terbentuknya bumi. Aneh, bukan? Yita langsung luluh.

Zaa sendiri belum berhenti menghujaninya dengan sorot bertanya sampai Laith menyalakan motor. Meninggalkan rumah.

Sampai di ruang rawat Oryza, baik Anis maupun Gita masih di sana. Menunggui perempuan yang kini sudah membuka mata dan menatap kosong langit-langit ruangan.

Dilangkahkannya kaki setelah dirasa bisa menguasai diri: mati-matian tidak lepas kendali mencecar Oryza dengan banyak pertanyaan. Wajahnya sendu, mengiba.

"Kamu beneran kembali, Ith?" celetuk Gita.

Dari respons Oryza yang langsung menoleh dan terkejut, Laith tahu perempuan itu baru menyadari kehadirannya. Aneh, Oryza bak orang ketakutan melihat Laith, langsung beringsut dan meringkuk.

Syahdan, Gita dan Anis heran. Mereka langsung berdiri dari tempat duduk masing-masing dan berusaha menghampiri Oryza, memberi ketenangan.

"Ini aku, Ryza." Setelah meyakinkan diri untuk bicara, Laith berhasil menyuarakan kalimat yang sempat tercekat di tenggorokan, bergetar.

Oryza semakin meringkuk, memeluk diri sendiri bak orang menggigil. Lihat saja giginya itu, bergemeletuk seakan suhu dingin tengah mengoyaknya. Laith sendiri, belum mau mengalah, semakin memajukan langkah.

Harap-harap cemas Gita dan Anis dibuat. Selain belum ada titik terang tentang mengapa Oryza ingin mengakhiri hidup, mereka juga tahu dari perawakan Laith, lelaki itu kukuh.

Perlahan, isak tangis Oryza lolos bersamaan dengan telapak tangannya yang mengusap lengan kasar. Ketakutan terhadap Laith seketika raib, garib dalam kalut.

Anis langsung memeluknya, mendeklarasikan diri secara tak langsung akan selalu ada, selalu mendukung apa pun masalah Oryza.

Satu-satunya lelaki di sana ikut luruh, bersimpuh sambil mengusap wajah kasar. Ia bukan orang bodoh sampai tak menyadari apa arti tatapan Oryza. Menjadi adik seorang Jauza membuatnya hafal di luar kepala kenapa reaksi Oryza demikian. Sudah sering ia melihat kasus yang sama, teman-teman yang mendatangi kakaknya.

Hancur, bukan hanya Oryza yang hancur. Laith ikut hancur. Gita dan Anis yang ikut menangis pun mulai membenarkan asumsi masing-masing dalam kepala, tak berani menyuarakannya.

Setelah memukul dada mengurai sedikit sesak, Laith kembali bangkit. Masih dengan mata dan hidung merah, ia kembali melangkah. "Siapa, Oryza? Siapa orang biadab itu?"

Pertanyaan Laith secara tak langsung menegaskan bahwa asumsi Anis dan Gita memang benar. Tanpa diminta, keduanya mengeratkan pelukan pada perempuan itu.

"Kita di sini, Oryza. Jangan takut." Mendengar pernyataan tulus tersebut, perempuan itu semakin menenggelamkan diri dalam pelukan sang ibu indekos.

-o0o-

Di jajaran pintu selasar, Laith dan Gita duduk. Anis meminta keduanya keluar agar Oryza bisa beristirahat, sedang perempuan tengah baya itu sendiri tak bisa ke mana-mana karena Oryza tak mau melepas gamitan tangan. Sama-sama lemas setelah mendengar pengakuan terbata dari bibir Oryza langsung.

"P-pak Rahagi." Singkat, padat, dan jelas. Saking jelasnya, Laith bisa langsung mencari dan menghabisi dosen muda tersebut saat itu juga. Sayangnya, tidak. Laith akan bersikap seperti kakaknya kali ini, melawan dengan cara paling halus, tetapi tepat mengenai sasaran.

Belum mengendur kepalan tangan Laith, juga rahangnya yang mengeras. Raib sudah rona ramah dari wajahnya. Gingsul gigi yang sering tampak menghias saat ia tersenyum pun, entah ke mana.

KelamkariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang