"Kenapa Mas Kaisar ke rumah malam-malam begini?" Meski panik, dalam mobil Kaisar, Laith tetap bertanya. Ia tak bisa menyembunyikan rasa penasaran akan alasan lelaki itu datang.
"Intinya gue ada perlu sama Zaa. Sisanya nanti aja. Temen lo lebih penting sekarang."
Tak ada lagi yang bersuara dalam mobil itu. Di bangku belakang, Zaa hanya bisa berusaha menenangkan diri dengan menautkan tangan erat. Pandangannya tak henti menatap luar jendela, memperhatikan jajaran pohon yang seakan bergerak ke belakang, sedang bibirnya tak henti menggumamkan zikir. Untung saja sang putra tengah anteng dengan kakeknya, ia bisa sedikit tenang.
Laith sendiri tak henti menggoyangkan kakinya, benar-benar tak tenang.
Sampai di gang masuk menuju tempat mami, tanpa sepatah kata pun Laith keluar dan berlari, meninggalkan Zaa dan Kaisar yang sibuk mencari tempat parkir. Beberapa warga masih beraktivitas di luar, sekadar nongkrong, menatap Laith heran.
Benar dugaannya, ada yang tak beres. Sampai di bangunan lumayan luas itu, ia melihat pemandangan yang cukup ganjil. Beberapa perempuan yang pernah dilihatnya tampak berkumpul di teras, saling berbisik.
Dilangkahkannya kaki lebar-lebar mendekat. Saat menginjakkan kaki di teras dalam keadaan napas memburu, para perempuan itu menatap Laith dengan sorot terkejut, langsung membisu. Keadaan rumah yang biasa riuh musik pun lengang malam ini.
"Di mana Nuha?" tanya Laith dengan nada rendah, setengah menggeram. Sorot tajam pemuda itu menguliti mereka hidup-hidup. "Aku tanya, di mana Nuha?!"
Bersamaan dengan teriakan Laith, Zaa dan Kaisar sampai di sana. Juga, terdengar sebuah teriakan lagi yang berasal dari dalam. Suara Nuha.
Ditatapnya geram para perempuan itu sambil mendesis, sebelum berderap masuk, disusul Zaa dan Kaisar. Beberapa perabot tampak tak berada pada posisinya, seperti kapal pecah.
Tak sampai di kamar Nuha, Laith berhenti di depan kamar cukup besar yang pintunya menjeplak terbuka. Jelas terjadi kekacauan di dalam sana. Seorang lelaki terduduk, bersandar pada meja rias yang cerminnya pecah tak karuan sambil memegang kepala samping. Darah merembes dari sana, ekspresinya kesakitan, diselingi ringisan.
Bukan itu yang membuat Laith serta sang kakak dan Kaisar membulatkan mata lebar. Tak jauh dari lelaki itu, berdiri dua perempuan yang membelakangi pintu. Jelas salah satunya tengah menjambak rambut yang lain, membenturkan kepala si korban pada dinding beberapa kali. Laith menggeram dengan tangan terkepal kuat, buku jarinya memutih.
Pemuda itu berderap, mencengkeram kuat lengan perempuan yang digunakan untuk menjambak. "Cukup, Nuha. Dia bisa mati."
Sontak Nuha melepas jambakannya pada rambut mami, menghempaskan perempuan itu kasar sebelum berhadapan dan beradu tatap dengan Laith. Sorot mata perempuan itu berkobar penuh amarah. Laith tahu dendam yang dipendam perempuan itu tumpah kali ini. Sedang, dari pelipis kirinya, mengalir cairan kental kemerahan, sampai rahang bawah.
Lekat memandang Nuha, Laith sadar tak hanya ada luka itu. Telapak tangan Nuha juga berlumuran darah. Selain mukanya yang kacau, pakaian Nuha juga tak kalah kacaunya. Cardigan crop perempuan itu jelas sisa ditarik kasar, dua kancing teratas kemeja yang dikenakan pun tampak tak berada di tempatnya, memperlihatkan tank top yang dikenakan Nuha sebagai inner.
"Nuha," lirih Laith, membuat Nuha langsung memejamkan mata, menjatuhkan sebulir air mata.
Dicengkeramnya semakin kuat lengan perempuan yang kini tertunduk dalam tersebut. Zaa di ambang pintu pun tak henti mengepalkan tangan kuat di sisi tubuh. Melihat sosok yang sudah dianggapnya adik seperti itu, benar-benar mencabik hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelamkari
SpiritualBagi Laith, menghadapi pikiran kelewat normal ayah dan kakaknya saja sulitnya sudah setengah mati. Belum lagi tingkah dan kekritisan berpikir keponakan tercinta yang baginya lebih cerdas dibanding anak seumuran. Ini, hidupnya dibuat semakin kalang...