Lepas salat Subuh, Zaa dan sang ayah baru benar-benar bisa bicara. Pasalnya, tak lama setelah mereka datang tadi, kondisi Wulan sempat drop, kejang-kejang.
Di serambi musala rumah sakit, ayah dan anak itu duduk sambil memandangi langit yang mulai terang.
"Apa yang ingin kamu bicarakan, Zaa?" tanya Hisyam.
Sekali Zaa mengembuskan napas panjang. "Kita sama-sama tahu gimana kondisi Ibu, Yah. Apa nggak lebih baik, kalau Laith juga tahu? Bagaimanapun, Laith paling dekat dengan Ibu."
"Tanpa memberitahu Laith, harusnya dia tahu jika melihat kondisi ibu kalian tadi. Tidak semua hal harus diceritakan, Zaa. Apalagi Laith sudah dewasa untuk bisa berpikir sendiri." Hisyam memejamkan mata, tak lama lafaz Allah terucap lirih dari bibirnya, berulang-ulang.
Zaa memilih diam, tak mau mengganggu sang ayah. Sampai mentari menunjukkan diri secara sempurna, Hisyam bertanya, "Kamu ingat pesan Ibu kan, Zaa?"
Anggukan kepala diberikan Zaa sebagai respons. Tak lama, ia membuka suara, "Kenapa? Ayah melihatnya?"
"Insyaallah, Zaa." Hisyam membuka mata dan menoleh pada sang putri, menatapnya lekat dengan senyum teduh. "Ikhlas, ya?"
Zaa lemas seketika, meski belum ada perubahan ekspresi berarti di wajah ayunya.
Mereka kembali, menyusul Laith. Ikhtar sendiri pulang lebih dulu dengan Yita karena anak itu terus merengek.
Sampai siang pun, belum ada kabar baik perihal Wulan. Beberapa kali wanita itu kejang sebelum kondisinya semakin drop lagi dan lagi. Zaa hanya bisa harap-harap cemas, sedang Laith tetap menunggui sang ibu di dalam ruangannya, tak mau bergantian. Pemuda itu memang sangat dekat dengan sang ibu, sejak kecil dimanja oleh Wulan, melebihi Zaa.
Tepat pukul satu siang, Ikhtar kembali ke rumah sakit sendirian. Kebetulan Yita diajak oleh Ansa—bos Zaa di kursusan dulu—untuk main bersama anak bungsunya yang seumuran. Untungnya Dayita mau.
"Kamu sudah makan siang? Ayah? Laith?" tanya Ikhtar pada Zaa.
"Aku sama Ayah udah, Mas. Kalau Laith ...." Zaa menggeleng. "Dia sama sekali nggak mau ninggalin Ibu."
Ikhtar hanya mengembuskan napas panjang. Ia tahu sang adik ipar memang begitu.
Baru diam beberapa detik, pintu ICU terbuka lebar, menampilkan Laith dengan muka merah padam dan banjir air mata. "Panggil dokter, Mbak."
Baik Ikhtar maupun Zaa berdiri. Tanpa diminta, Ikhtar yang bergegas mencari dokter jaga, sementara Hisyam datang dari arah berlawanan, baru kembali dari musala.
Tak lama dokter datang sambil berlari kecil diikuti Ikhtar beberapa langkah di belakang. Mereka menunggu sambil harap-harap cemas. Terlebih Laith yang tampak sangat panik, berjalan mondar-mandir tanpa tujuan.
"Bertahan, Ibu," gumam Laith tanpa henti, mengundang helaan napas dari Zaa dan Hisyam yang duduk di bangku selasar.
Saat dokter keluar, mereka merangsek, ingin mendengar penjelasan mengenai keadaan Wulan. Namun, tidak dengan sang suami, ayah dari Zaa dan Laith itu masih sangat tenang.
"Maaf, Pak, Bu. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Tuhan lebih sayang pada Ibu Wulan. Saya turut berduka."
Hancur dunia Laith dibuat. Pemuda itu terus menggeleng sedang tubuhnya sudah jatuh bersimpuh di lantai rumah sakit. Meski tak terdengar isakan, tetapi air mata pemuda itu tak henti mengalir, menganak sungai di pipinya yang tampak makin tirus.
Mata Zaa sendiri mengembun, tak sampai menjatuhkan air mata, sedang di bibirnya tersungging senyum manis, meski tampak paksa. Untung saja Ikhtar setia berdiri di belakangnya, menopang tubuh Zaa yang sama lemasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelamkari
SpiritualBagi Laith, menghadapi pikiran kelewat normal ayah dan kakaknya saja sulitnya sudah setengah mati. Belum lagi tingkah dan kekritisan berpikir keponakan tercinta yang baginya lebih cerdas dibanding anak seumuran. Ini, hidupnya dibuat semakin kalang...