Menjelang magrib sore ini Zaa dibuat tak dapat berkata-kata oleh tamu yang mengetuk pintu rumahnya di Cirebon. Siapa sangka perempuan itu yang akan berdiri di sana? Oryza.
Setelah mempersilakan perempuan itu masuk dalam keadaan yang tampak ketakutan, Zaa langsung menyajikan secangkir teh hangat untuk menenangkan.
Baru setelah jamaah Isya bubar dari masjid-masjid, perempuan itu bercerita panjang lebar kenapa alasannya berada di sana.
Oryza keguguran, mendapat kekerasan dari suaminya, dan ditekan secara mental oleh pihak keluarga sang suami.
“Aku bingung harus minta tolong sama siapa, Mbak. Maaf sekali lagi. Gita nggak mungkin karena semua keluarga aku pasti akan nyari aku ke kos yang dulu. Aku cuma kepikiran Laith sama Mbak, tapi … aku nggak berhasil hubungin Laith.”
“Laith?” Dahi Zaa berkerut dalam.
Oryza mengangguk. “Aku sempat beberapa kali minta tolong Gita untuk menyampaikan ke Laith kalau aku butuh bantuan, tapi sampai sekarang ….” Kali ini perempuan itu menggeleng.
Mendengar itu, Zaa mendesah panjang. “Ada apa dengan anak itu?” batinnya.
“Aku ingat di surat dalam bungkus kado yang Mbak kasih, Mbak menulis alamat terang Mbak. Untung aku menyimpannya, jadi aku bisa ke sini sekarang,” lanjut Oryza.
Zaa membulatkan mata. Benar, ia menuliskan alamatnya ini di sana. Ternyata inisiatifnya itu akan benar-benar berguna.
“Jadi, kamu kabur dari rumah?”
Oryza mengangguk mantap. “Aku nggak bisa terus-terusan bertahan, Mbak. Aku capek. Aku selalu dianggap aib sama orang tua Pak Rahagi, disalah-salahkan, dianggap sebagai orang yang sudah menghancurkan karier anaknya.
“Tiap aku cerita sama orang tuaku, mereka cuma minta aku sabar, sabar, dan sabar. Aku nggak bisa sabar menghadapi orang yang menginjak-injak aku, Mbak. Apalagi, ini nyata-nyata bukan salahku, justru Pak Rahagi yang udah hancurin masa depan aku.”
Zaa mengerti, sangat.
“Saya akan bantu kamu, sesuai janji saya. Sekarang, lebih baik kamu menenangkan diri di sini, take your time as long as you want. Setelah kamu merasa siap untuk speak up, bukan hanya ke saya maksudnya, kita proses semuanya. Kita cari keadilan buat kamu biar orang itu dapat balasan setimpal.”
Oryza mengangguk, di bibirnya tersungging senyum lega.
-o0o-
Sudah seminggu sejak Nuha diizinkan pulang dari rumah sakit, semua berjalan normal. Laith kuliah seperti biasa, diselingi kesulitan mengurus rumah tentu saja. Sedang, Nuha harus kerja keras lagi untuk menutupi rasa bersalah pada bosnya karena izin sakit beberapa hari.
Sesekali keduanya bertemu jika senggang, sekadar makan siang bersama. Di tempat prostitusi pun adem ayem tanpa gangguan. Mami yang sempat kesal pada Laith karena membuat kekacauan akhirnya meminta maaf pada Nuha karena tak memperhatikannya dengan baik. Benar, perempuan itu sempat membuka pintu kamar Nuha dengan kunci cadangan untuk mengecek, tetapi lupa menguncinya kembali saat keluar.
Sore ini setelah kelas berakhir, Laith sudah janji pulang bersama dengan Nuha yang kebetulan selesai mengurus acara di salah satu gedung yang khusus disewakan untuk acara-acara tertentu. Satu arah.
Tanpa turun dari atas motor, Laith sengaja menunggu Nuha di depan gerbang gedung. Tak lama, perempuan bersetelan semi formal dengan celana panjang itu muncul, mengumbar senyum pada Laith.
“Udah lama nunggu lo?” tanya perempuan itu.
“Baru sampai.” Tangannya mengulurkan helm pada Nuha, disambut perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelamkari
SpiritualBagi Laith, menghadapi pikiran kelewat normal ayah dan kakaknya saja sulitnya sudah setengah mati. Belum lagi tingkah dan kekritisan berpikir keponakan tercinta yang baginya lebih cerdas dibanding anak seumuran. Ini, hidupnya dibuat semakin kalang...