Bab 5.b

903 124 3
                                    


Sudah pukul 7 pagi, namun Nana masih belum mau menjejalkan makanan juga ke mulutnya, padahal Jeno yakin kalau istrinya itu sudah sangat kelaparan lantaran sejak sore kemarin belum makan apa-apa.

Sekarang Jeno sedang duduk di atas karpet kamar, bersimpuh di hadapan Nana yang kini masih duduk menyandar di kepala ranjang dengan wajah yang sembab.

Na, mas mohon. Makan ya? Sesuap saja.

Jeno memberikan ponselnya ke hadapan Nana, dan dengan entengnya Nana membuang ponsel itu ke atas kasur lalu menggelengkan kepala.

Jeno kembali mengambilnya.

Masalah kemarin, papi cuma lagi emosi aja karena ada banyak masalah di kantor. Papi nggak serius mengucapkan semua itu.

Nana mendelik ke arah Jeno. Ia bisa melihat kalau pria itu sekarang sedang dilanda kepanikan dan ketakutan yang sangat jelas.

"Nggak peduli papi lagi emosi atau nggak, tapi semua ucapan itu udah nyakitin banget. Dan elo mas, bisa nggak sih lo biarin gue sendiri dulu? Gue muak lihat lo mondar mandir terus  nyuruh gue ini dan itu. Lo nggak perlu ngejelasin apa-apa, karena apa yang dibilang papi itu mungkin aja bener. Gue emang perempuan cacat yang udah nggak berharga lagi. Dan kalau lo mikir dengan keadaan gue yang kaya gini maka lo bisa dapet tempat di hati gue, sorry
... stop thinking about that. Karena yang ada dalam hati gue cuma kak Jeff, bukan lo."

Cinta memang buta, itulah bagi Nana. Hanya karena sebuah keterikatan lewat kehamilannya, lantas ia melupakan semua rasa sakitnya. Kendati hatinya sekarang sedang bingung dan sedih, tentu ia membutuhkan sosok seperti Jeno. Hatinya masih hancur paska ayahnya mengatakan banyak hal kemarin.

Aku tau dan aku tidak peduli siapa yang ada di hati kamu. Mungkin memang iya aku bebal, tapi aku di sini sebagai suami kamu. Aku mencintai kamu, Na. Maka dari itu aku harus ada di sini buat kamu.

Kali ini delikan mata Nana sedikit melemah. Melihat ketikan bahwa Jeno mencintainya, sedikitnya Nana merasa terenyuh. Pria itu sungguh keras kepala. Bagaimana mungkin ada orang yang mencintai seseorang yang selalu mencaci dan menghinanya? Tapi mau tak percaya pun sikap Jeno memang menunjukan ketulusan.

Aku mohon makan beberapa suap saja. Habis ini mas pergi ke kantor, nggak akan ganggu kamu lagi. Oke?

Nana menghirup udara dan kemudian mengangguk. Yang penting setelah ini dia bisa menyendiri tanpa ada Jeno yang terus-terusan menungguinya. Dia sungguh sedang ingin sendirian.

"Yaudah, kalau gitu aku makan."

Jawaban itu sudah seperti pelangi setelah hujan bagi Jeno, pria itu lekas tersenyum lalu bergegas menuju ke dapur untuk mengambil makanan.
Ia mengambilkan semangkok bubur ayam yang dibuatnya dan beberapa cemilan buah untuk Nana. Tak lupa ia juga menyiapkan susu hangat untuk sang istri.







Jeno datang dengan senampan makanan, senyuman cerah tak luput dari bibirnya, bahkan hingga nampan itu sudah berada di hadapan Nana.

Jeno duduk di kursi dekat ranjang sambil memerhatikan Nana yang sudah siap untuk makan.

"Ngapain masih di sini? Katanya mau ke kantor?" Nana mendelikan matanya kesal, karena Jeno malah duduk menonton dirinya.
Pria itu lupa kalau ia sudah berjanji akan pergi setelah Nana mau makan.

Dengan lucunya Jeno menepuk dahi lalu menakupkan tangannya minta maaf. Kemudian ia bangkit dari duduknya untuk meninggalkan Nana.

"Nah gitu kek dari tadi, bukannya orang makan ditontonin."















BE HERE FOR YOU (GS/LOKAL)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang