Bab.9.b

1.1K 140 14
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Dua hari kemudian paska Nana keguguran.

Wanita itu masih berbaring di tempat tidur rumah sakit lantaran harus dirawat secara intensif setelah proses kuret kandungan yang kemarin dilakukan oleh dokter.

Pandangan kosongnya terarah pada jendela kamarnya yang terbuka. Memperlihatkan pemandangan taman samping rumah sakit dengan banyak pepohonan dan bunga yang ditiup angin.
Semestinya udara sejuk bisa membuatnya merasa segar, namun faktanya semua itu tidak memiliki efek apapun pada pikirannya yang kosong.

Semenjak diberi tahu kalau ia sudah kehilangan bayinya, Nana tak berkomentar apapun selain hanya diam dan mengurung dirinya. Bahkan ia menghiraukan Jeno yang sudah setia menjaganya. Pria itu sampai merasa bersalah dan merasa kesal pada dirinya sendiri.
Jika saja dia bisa bicara tanpa menggunakan bahasa isyarat, mungkin dia bisa mengatakan apapun untuk menghibur istrinya saat ini. Namun setelah dipikir lagi olehnya, Nana pasti hanya sedang membutuhkan waktu untuk menenangkan diri maka dari itu menghiraukannya.

Kini Jeno sudah duduk kembali di kursi samping tempat tidur Nana. Ia hanya diam mengamati Nana dari posisinya, menebak apakah yang sedang istrinya itu pikirkan hingga sarapan pagi yang sudah ia buat subuh-subuh tadi tak disentuh sang istri sama sekali.

Sekarang Nana mungkin memang masih tertolong oleh infus jika tidak makan, namun tetap saja itu akan menghambat kesembuhannya jika terus tak mau makan.

Sampai akhirnya tanpa disangka Nana berceletuk. "Mungkin Tuhan lebih suka anak itu pergi daripada diurus sama ibu yang nggak becus kaya aku."

Sakit hati Jeno mendengarnya. Tentu saja ia akan menolak pernyataan itu dengan menegur sang istri.
Tangan Jeno bertengger di bahu Nana, sedikit meremas bahu kurus itu hingga pemiliknya tertoleh ke samping, menatap mata sayu Jeno. Ia bisa melihat pria bisu itu mencoba untuk tersenyum padanya.

"Kenapa kamu senyum, mas?"

Jeno menggelengkan kepalanya dan kemudian menyandarkan kepala Nana di satu bahunya. kini mereka sama-sama duduk menghadap ke arah jendela. Hanya dia selama beberapa menit untuk menikmati angin yang berembus masuk ke dalam kamar.

Kemudian, Jeno menunjuk ke arah langit biru yang sedikit bisa terlihat dari jendela.
Nana tersenyum lirih sambil ikut menatap langit yang Jeno tunjuk.

"Apa iya dia bisa ngelihat aku dari sana? emang iya orang yang udah meninggal pergi ke langit?" pertanyaan Nana itu membuat Jeno kembali menatap Nana lembut, dan mengangguk.
Kemudian ia mengambil handphonenya untuk mengetik.

Bayi dan anak-anak yang meninggal sebelum menginjak dewasa dan mendahului ayah atau ibunya akan menjadi syafa'at bagi ayah atau ibunya tersebut. Bahkan dalam suatu hadits, anaknya tersebut dapat menarik ayah atau ibunya untuk masuk surga.

Melihat ketikan itu bibir Nana tersenyum, hingga butiran-butiran air matanya jatuh begitu saja disertai isak tangis.

"Apa iya itu juga berlaku buat seorang ibu yang selalu ngeluh saat muntah-muntah karena si bayi? apalagi bayi itu hasil dari zina dan punya ayah yang nggak seagama sama dia. Apa iya dia akan tetep nolongin aku untuk masuk ke surga?"

BE HERE FOR YOU (GS/LOKAL)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang