Leonardo Hardika

105 4 0
                                    

"Kau lebih berkharisma dengan bulu-bulu halus seperti itu, Nath." Jambang yang tumbuh tak terlalu lebat di pipi Leonathan memang membuat pria itu tampak lebih dewasa dan keren, seperti pujian sang adik barusan.

Pria yang sibuk mengamati gelas berisi kopi itu mendongak dan tampak kaget begitu melihat wajah lelaki di hadapannya. "Nard!" panggil Leonathan seraya memberikan segelas kopi pada karyawan yang menunggu pesanan pelanggan. Mengambil dari tangan Leonathan, ia lantas pamit dan segera memberikan makan serta minuman pengunjung yang telah menunggu. "Sejak kapan kau masuk ke kafe? Aku sampai tidak sadar," gumamnya dan segera melewati karyawan untuk keluar dari meja bar.

"Kau terlalu sibuk," balas Leonardo terkekeh. Pria itu merangkul sang kakak dan menupuk-nepuk punggung. "Aku baru saja datang, dan langsung ke mari karena ingin mengobrol banyak tentang usahamu."

Leonathan yang tak percaya itu bertanya, "kau bru datang?" Sang adik terkekeh dan mengangguk, membenarkan. "Maksudku, kau belum istirahat?"

"Belum, Nath. Aku ingin tidur di rumahmu saja. Ngomong-ngomong, aku lapar ... bisa pesankan aku sesuatu?"

"Kau!" Dipukulnya lengan Leonardo tanpa kekuatan lalu menampar pelan pipi kanan Leonardo berkali-kali. "Duduklah di mana pun kau mau, akan kubuatkan kopi terenak favoritmu."

"Thanks, Brother!" sahut sang adik sebelum melangkah pergi dan meninggalkan pukulan di lengan kiri Leonathan. Ia yang terkekeh itu terus melangkah, dan menyapukan pandangannya ke segala. Mencari sekiranya tempat yang cocok untuk istirahat dan berbincang-bincang dengan saudara kandung satu-satunya di dunia.

Leonathan begitu menikmati kegiatannya dalam mengolah kopi agar menjadi minuman yang memberikan energi penuh dan semangat membara bagi siapa pun penikmatnya. Hatinya yang lama bersedih itu sedikit terobati lantaran sang adik bekunjung ke kafe Mixture pertama. Dalam waktu tiga menit saja dia sudah menyajikan kentang goreng saus keju, donat, dan kopi Cappuccino, serta pancake es krim untuk dirinya sendiri.

"Makanlah, kau pasti lapar," ujarnya menyuruh Leonardo yang asik bermain ponsel. Bahkan pria itu tersenyum, Leonathan bisa melihat guratannya sekilas. "Tak terasa, sudah satu tahun kita tidak bertemu, Nard."

"Ya, karena sudah lama ... aku berkunjung ke mari. Sebagai orang yang lebih muda aku mendatangi anggota keluarga yang tua, bukan?"

"Aku tidak setua itu, Nard." Leonardo tertawa-tawa sambil menaruh handphone hitam ke atas meja yang berwarna senada dengan gawai miliknya. Melihat adiknya mengambil pancake es krim, Leonathan tak ragu memukul punggung tangan Leonardo. "Jangan berakting seolah-olah kau suka makanan manis!"

Leonardo yang masih kalah cepat meringis seketika, namun terkekeh. "Pelitamu itu belum berubah juga ternyata."

"Memangnya kau sudah berubah jadi pecinta makanan manis?" tanya Leonathan datar seraya menggapai pegangan cangkir, sementara sang adik yang masih memakai kacamata bulat bening itu meraih piring berisi puluhan potongan kentang goreng. "Aku tahu betul, kau hanya ingin membuat kakakmu ini kesal. Adik durhaka," tambahnya sebelum mendekatkan bibir ke pinggiran cangkir, membiarkan kopi cold brew masuk ke mulut dan mengalir pada tenggorokannya yang kering.

Leonardo yang sedang asik mengunyah beberapa kentang goreng itu menganggukkan kepala. Minum kopinya seteguk, ia baru membalas, "terkadang aku merindukan masa kanak-kanak kita, Nath." Leonathan tersenyum simpul dan melempar tatapan ke luar jendela, mencoba menerawang masa-masa ketika mereka berdua masih bocah. "Kau yang selalu kena imbasnya ketika aku mengganggumu."

Dengan kaki kiri ditumpu ke paha kanan, Leonathan melipat kedua tangannya sebelum menyahut, "mama selalu melindungimu dan cerdiknya kau memanfaatkan itu." Mengambil pancake yang sudah ia potong menjadi beberapa bagian, ia meneruskan, "bodohnya aku, menjadi kakak yang selalu menurutimu."

Look at Me, ElleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang