Tidak Bisa

95 2 0
                                    

Brielle tidak peduli mendengar kalimat yang keluar dari Leonathan kala itu. Ia dan Elnathan tetap masuk ke toko bunga dan meminta Naomi agar Leonathan tidak melebihi batasannya. Ia pun mengajak anaknya yang bingung ke ruang istirahat.

Padahal, sudah diusahakan untuk siap memperkenalkan Leonathan pada Elnathan jika keduanya bertemu. Namun kenyataannya berbanding terbalik, Brielle bahkan tidak mengizinkan Leonathan untuk bertemu dengan anaknya siang itu. Brielle memilih untuk menghindar.

Leonathan yang masih di depan toko bunga pun mendesah sebelum memutuskan angkat kaki dari sana. Berjalan seperti orang yang setengah melamun. Ia masih terkejut karena melihat Brielle di waktu yang tak terduga, dan sosok yang ia yakini dengan sangat sebagai buah hatinya, Elnathan. "Sulit dipercaya jika aku pernah menggendong darah dagingku sendiri," gumam Leonathan yang masih berjalan santai.

Tampak jelas mata biru itu mengeluarkan air dari sumbernya. Pria yang jarang menangis, kini tidak bisa menahan rasa lega, haru, sekaligus tak percaya kala melihat dua sosok yang membuatnya bahagia. Tidak percaya bahwa akhirnya penantiannya selama ini sedikit terbayarkan. Bayangkan saja, sudah tiga tahun.

"Tiga tahun aku mencarimu, dan mendapatkan hadiah terindah." Sekilas, wajah tampan nan manis Elnathan melintas, itulah yang mampu membuat Leonathan terharu. Ia memiliki bayi, dari rahim wanita yang ia cintai. Cinta pertama, pada pandangan pertama pula. Bukankah ia harus merasa beruntung?

Mempercepat ayunan kaki, Leonathan berhenti di depan keranjang rotannya yang tergeletak di jalan. Bunga-bunga aster pun keluar dari wadahnya. Leonathan mengambilnya, membawa bunga yang sudah kotor di tangan kiri dan membuangnya ke sampah. Melangkah masuk ke toko miliknya, dia memberikan keranjang bunga tersebut pada salah satu karyawan yang berdiri di dekat pintu. "Tata di atas meja-meja mulai besok."

Sambil menerima dia menjawab, "Siap, Pak."

"Jika ada perlu, temui aku di ruangan. Aku turun setelah jam tutup toko." Karyawannya menggangguk patuh. Memangnya dia harus apa selain mengiyakan ucapan Leonathan? Tidak mungkin membantah, apalagi menanyakan penyebab dari mata sang bos yang memerah dan mengembun.

"Jam tutup toko yang baru, ya, Pak?" tanyanya begitu ingat akan informasi dari temannya pagi tadi bahwa jam tutup semakin diperlama. Leonathan memiringkan kepala dan membenarkan sebelum kembali menggerakkan kaki ke arah tangga.

"Perjuangan yang sebenarnya di mulai hari ini," bisik Leonathan sembari menutup pintu ruangan. "Jika tiga tahun aku jatuh bangun mencarimu, aku semakin siap jatuh bangun mendapatkan kalian." Jiwa pejuangnya tersentil kala ia sempat mendengar suara Brielle yang begitu menusuk hati. Tidak sakit, tapi ia anggap sebagai motivasi.

Leonathan menghampiri jendela yang tertutup kain goden, menyibaknya. Pandangannya lurus ke depan mengamati terang dari sinarnya matahari pada langit di atas sana. "Kau membangunkanku lagi, Elle." Senym penuh keyakinan dan gairah pejuang menjalar dalam dirinya. Ya, dia yang tadinya sudah menyerah dan menerima kepergian Brielle kini semangat kembali. Energi untuk maju kembali berkibar. "Tidak akan kusia-siakan waktu yang ada untuk membawamu bersamaku seperti dulu. Terlebih, kau berhasil melahirkan dan merawat keturunanku. Tidak akan kuabaikan, Elle."

Tiba-tiba saja wajah yang selama ini dia rindukan lewat di pikiran, siapa lagi kalau bukan wanitanya? Wajah Brielle yang teramat kesal, amarah, kesediahan, berlalu-lalang tanpa permisi. Ucapan sinis wanita itu bahkan masih terngiang-ngiang di telinga Leonathan. "Jangan egois...." Memejamkan mata sambil membuka jendela, lalu bibirnya tersenyum. "Aku bisa melihat cinta di matamu, Elle." Angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah, membuat Leonathan menarik sudut bibirnya hingga senyum kecil tercetak lagi. "Tidak ada lagi tempat sembunyi. Aku masih bisa menemukanmu, menemukan pula anak kita. Anakku dan anakmu, hasil dari kecelakaan yang seharusnya tidak aku lakukan malam itu."

Berbalik badan, Leonathan mendekati kursi kerja dan duduk di sana. Menggenggam ponsel, ia mulai menghubungi anak buahnya yang selama ini mencarikan Brielle untukknya. Leonathan mengatakan terima kasih melalui pesan singkat tersebut dan siap mengirim uang untuk semua anak buahnya. Selain sebagai ucapan syukur pada Sang Mahakuasa, Leonathan bermaksud memberikan mereka bonus.

"Tidak ada lagi tangisan kesedihan. Aku akan memperjuangkan semuanya. Demi dirimu, diriku, dan kebahagiann anak kita, Elnathan. Kita perlu berkenalan, Nak." Kemudian membuka laptop. Ia tak sabar ingin menghubungi Leonardo dan memberitahu adiknya mengenai temuannya yang berhasil menggemparkan hatinya. "Hm, akan lebih bagus lagi jika aku memberitahumu secara langsung, Nard." Leonathan penuh tekad, ia benar-benar tak sabar memngabari adik kandungnya. "Cepatlah ke Semarang."

Brielle tengah memangku anaknya. Membiarkan Elnathan berbaring di atas tubuhnya. Ia mengusap rambut dan kening bocah tiga tahun itu sambil memikirkan kehadiran Leonathan dan ungkapan pria itu yang ada benarnya, bahwa Leonathan juga orang tua dari Elnathan, pria itu harus bertanggung jawab mengnai anak yang sudah lama tidak dinafkahi. Bahkan benar katanya, Elnathan masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah untuk tumbuh besar. Banyak waktu yang terbuang, dan ada banyak waktu juga ke depan nanti.

"Mama, boleh El tanya?"

Usapan Brielle mendadak terhenti, hanya singkat. Kemudian ia menundukkan kepala, menatap mata anaknya yang tengah memandanginya. "Boleh, Sayang ... El mau tanya apa?"

Elnathan yang semula menyandarkan tubuhnya pada sang mama pun duduk tegak. Brielle mengusap pipinya dan mempersilakan lagi, "El kalau mau tanya, tanya aja, Sayang ... pasti Mama jawab kalau Mama tahu jawabannya, El."

"Kenapa Mama lari waktu ketemu om ganteng?" Ekspresi yang semula berusaha ceria itu otomatis berubah begitu datar.

Brielle menatap anaknya sejenak sebelum menoleh ke pintu yang dibuka dari luar. Naomi muncul dengan senyum lebar mengarah pada Brielle dan buru-buru melemparkan tatapannya pada si kecil. "Halo, Tante Mi ikut istirahat. Maaf sudah bikin El kaget."

"Enggak Tante, Mi ... El lagi tanya Mama." Naomi mengangguk, kemudian duduk di sofa khusus untuknya bersantai. Elnathan kembali memerhatikan mamanya, menatap dan menaikkan dua alisnya secara bersamaan. "Kenapa Mama? Mama takut sama om ganteng?"

Dengan pelan Brielle menggeleng, ia memaksakan sebuah senyuman agar melengkung di mukanya yang tengah kalut. "Mama harus cepat-cepat kerja. El tahu, Mama harus bantu Tante Mi." Elnathan yang sudah tidak penasaran itu lantas menguap dan kembali berbaring di atas pangkuan Brielle. "Habis makan El langsung ngantuk, ya?"

Sambil tertawa, bocah itu menganggukkan kepala dan kembali medongak. "Besok kalau ketemu om ganteng, El mau ajak main om ganteng, Ma." Sesudah itu dia menutup mata seraya melingkarkan tangan mungilnya ke leher sang ibu. Tidak butuh waktu lama Elnathan terlelap di pelukan Brielle.

Naomi yang sejak tadi mendengarkan perbincangan ibu dan anak itu pun mendesah pelan. "Kalau kau pernah bilang ingin mengenalkan mereka, kenapa tadi menghindar dari Leonathan? Kau tahu, ucapan dari Leonathan benar semua. Kau terlalu egois jika menyembunyikan Elnathan darinya, Elle. Kau sendiri juga ingin membiarkan semua berjalan semestinya, tapi kenapa begitu dihadapkan dengan Leonathan kau harus menolak dan lari?"

"Aku tidak bisa, otakku menolak kehadirannya."

"Kau memang tidak bisa menggunakan perasaan!" semprot Naomi yang tiba-tiba panas dan bangun, kemudian keluar dari ruangan itu. 

Look at Me, ElleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang