Tolakan Halus

61 1 0
                                    

“Tidak, El masih punya Mama.” Suara yang baru bergabung itu mampu mengejutkan Leonathan dan refleks menoleh, tangannya yang mendekap sang jagoan mungilnya itu pun menjauh, pelukannya terlepas.

“Mama saja cukup, El ... iya, ‘kan? Mama kan teman El dari El di perut Mama,” sahut Brielle yang benar-benar datang dan mendengar semua obrolan ayah dan anak itu. “El masih kesepian? Tante Mi sama Mama masih kurang, ya, Sayang?” tambahnya lagi seraya menampilkan wajah menyedihkan.

“Kau tega bertanya hal itu?” timpal Leonathan mengerut, tak percaya kalau Brielle sampai bertanya sekasar itu, bukankah itu akan membuat anak mereka merasa bersalah karena mengharapkan orang tua yang lengkap? “Sudah pasti Elnathan sangat membutuhkan sosok ayah, di mana rasa pedulimu pada anak kandungmu sendiri, Elle?!” ujar pria itu tak kalah kencang.

“OH!” Brielle dengan santainya berkacak pinggang dan tersenyum sambil geleng-geleng. Ia mengayunkan kaki kian dekat dan melanjutkan ucapannya, “sekarang kau yang merasa paling peduli dan secara tidak langsung menilaiku sebagai ibu yang kejam?” masih dengan menggelengkan kepalanya.

“Bukan begitu, Elle.” Leonathan memindah posisi Elnathan yang semula ada di pangkuannya ke sofa. Ia turut berdiri, seperti Brielle yang berdiri seolah-olah menantangnya debat soal seberapa pedulinya masing-masing pada sang buah hati. “Tetapi mendengar dari nada suaramu, kau seperti tidak ingin El memiliki sosok ayah.”

Brielle mendorong tubuh Leonathan yang semakin mendekat padanya, kemudian menghampiri Elnathan, mengangkat dan membawa anaknya dalam gendongannya. “El makan malam dulu, masakan Mama sudah jadi, El makan, ya?” Elnathan yang tak terlalu mengerti perdebatan dan tidak memusingkan hal yang dibicarakan dua orang tuanya pun mengangguk. Leonathan terus memerhatikan gerak-gerik Brielle yang begitu ingin dia kunci ke dalam sepasang lengan kekarnya. Mengetahui betapa keras kepalanya wanita itu, ia semakin tertantang.

Namun, Leonathan masih bisa menahan hasratnya. Sebaliknya, ia pura-pura jengkel sekaligus sakit hati dengan perlakuan serta tutur kata Brielle padanya. Dengan muka yang masih tampak sedih, Leonathan membusungkan dadanya. “Apakah El tidak pantas mendapatkan sosok ayah?” tanyanya begitu pelan dan lembut.

Brielle yang belum melewati Leonathan pun berhenti tepat di depan pria bertubuh tinggi dan berotot tersebut. “Selama ini dia tidak pernah memusingkan topik ayah atau papa yang selalu kau ributkan. Aku harap kau keluar dari rumahku sebelum aku mengusirmu, Leonathan,” bisik Brielle serius dan begitu berat di telinga pria yang kini menatapnya lekat-lekat. “Pergi sekarang kalau kau masih ingin membahas statusmu yang sudah hangus, justru kalau boleh berjata jujur, tidak pernah aku harapkan.”

“Kau boleh tidak mengharapkanku, tetapi Elnathan mengharapkan kehadiranku setiap detik, Elle. Tolong, berhentilah egois.” Brielle tetap membungkam mulutnya karena merasa apa yang diutarakannya petang ini sudah cukup padat dan jelas. “Ingat kataku, dia masih membutuhkanku untuk tumbuh dan berkembang di setiap harinya, Elle.” Sesudah mengatakan itu Leonathan meraih kepala Elnathan yang bersandar pada bahu ibunya. “Papa pulang,” bisiknya sebelum mengecup lama kening Elnathan. “Sampai jumpa besok pagi, El.”

“Papa?!” Leonathan yang merasa menang pun memekik senang. “Dadah! Papa!” serunya sembari bertepuk tangan kemudian melambai-lambai penuh energi dan senyum manisnya mengembang, sangat lebar sampai Leonathan yang sudah berjalan ke arah pintu ingin balik lagi. Namun, di saat tubuhnya ingin memutar, suara Brielle seakan memaksa juga mendorongnya keluar rumah.

“Sudah malam, tidak baik lama-lama bertamu, apalagi pria asing.” Rasanya, Leonathan ingin sekali menyambar bibir pedas dari wanita manis nan cantik di matanya kini. “Sangat tidak sopan dan tidak punya tata krama! Kau tinggal berapa tahun di Indonesia?”

“Baiklah, aku pulang,” jawabnya mengalah, tapi tidak dengan jiwa yang kesal di dalam raga itu. “GILA!” serunya membuang segala tipuannya, termasuk ekspresi yang dibuat sesedih mungkin tepat di saat kakinya melewati pintu rumah Brielle. “Aku benar-benar ingin memangsamu, Elle!” pekiknya begitu sampai di teras rumah Brielle. Senyum miringnya pun terbingkai nyata. “Awas, jangan merasa bangga dulu, karena di perjumpaan malam ini aku cuma mengalah untukmu, Elle.”

Angkat kaki dari pekarangan rumah wanita yang dia cinta, Leonathan menengadah ke langit. Ia tersenyum tipis, teramat minim dan menatap jutaan bintang di sana. Dia terlihat berharap. Mengharapkan setidaknya ada satu bintang yang melihatnya berusaha, berjuang setiap ada peluang.

Tiap malam berpikir untuk masa depan wanita, anak, dan dirinya sendiri. Ia memejamkan mata sejenak, hanya beberapa detik lamanya. “Thanks God,” lalu menghirup angin malam kuat-kuat. Mengeluarkan kunci mobil sambil berjalan ke lokasi kendaraan roda empat itu berada.

Menaiki mobil yang pintunya sudah terbuka, Leonathan melirik sekilas pada jendela rumah Brielle karena merasa dirinya tengah diamati dari dalam. Senyum miringnya timbul begitu tipis. “Tidak mungkin hantu mengintipku,” bisiknya sebelum membanting pintu mobilnya dan menyalakan mesin setelah senyuman di bibir mengembang dengan sendirinya. “Kau hanya wanita jaim yang butuh diperhatikan, Elle.” Memberikan gelengan kecil sebelum menginjak pedal gas dan melaju bersama mobilnya.

“Hampir saja aku ketahuan!” teriaknya ditahan agar tidak menggema dan mengagetkan anak laki-lakinya. Mengelus dadanya sambil berusaha menghirup oksigen banyak-banyak, lalu membuangnya dengan napas panjang. Brielle melemparkan pandangannya ke halaman, di mana Leonathan berdiri sambil mendongak ke angkasa raya. Kemudian ia membuyarkan bayangan itu sendiri dan menepuk-nepuk dahinya. “Jangan-jangan Leonathan sempat melihatku?! Kalau tidak, kenapa dia sempat menoleh kemari?!” Mengatur napas dan memutar badan, Brielle menormalkan ekspresinya sebelum kembali pada Elnathan.

Lama terdiam karena tiba-tiba Brielle teringat perdebatannya bersama pria itu ditambah ekspresi kecewa dan sedih di mata Leonathan. “Menolakmu secara halus sepertinya butuh kesabaran ekstra,” lirih perempuan yang sejak Leonathan keluar rumahnya dia berdiri di balik kain penutup jendela. Membiarkan Elnathan makan di ruang tengah, ia memilih memerhatikan Leonathan sebelum pria itu benar-benar angkat kaki dari pekarangan kediamannya. “Perasaanku sendiri berat memberikan tolakan halus untukmu, tapi otakku memaksa untuk tidak memberimu kesempatan menjelaskan. Kau sendiri susah meminta maaf. Kenapa itu sulit kau lakukan?”

Nyatanya, memang kata maaf dari Leonathan dan terdengar tulus di telinganya agar wanita itu percaya bahwa Leonathan benar-benar menyesal dengan perbuatannya. Namun, yang diucapkan bibir Leonathan hanya penjelasan, pria itu ingin menjelaskan seuatu yang memang sebuah kesalahan besar dan Brielle tahu betul akan itu.

“Sampai kapan aku harus bilang kalau aku tidak butuh penjelasanmu? Hal paling utama yang aku butuhkan adalah maaf dari mulutmu.” Lanjut menemani Elnathan, Brielle menggerakkan pelan kedua kakinya, pandangan kosong mengarah pada keramik rumah. “Mungkin kalau kau berani mengatakan maaf berkali-kali dan tatapan yang kau berikan sama dengan caramu menatapku seperti tadi ... huh, mungkin aku akan luluh.” Kemungkinan terbesarnya Leonathan pasti akan berjingkrak-jingkrak kesenangan. “Mungkin lebih dari itu ... aku bisa saja memberimu kesempatan untuk mendekati El sepuasmu, Leonathan.”

Look at Me, ElleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang