Suara jepretan dari kamera ponsel milik Naomi begitu kencang, sampai beberapa orang di sampingnya menoleh ke arahnya. Karena belum mendapatkan pose maksimal dan pengambilan gambar seluruh tubuh, perempuan manis berambut keriting ini mencolek salah seorang yang kebetulan melintas di depannya. "Permisi, maaf ... bisa tolong fotoin aku?" tanyanya dengan senyum ramah pada anak muda berkerudung merah muda.
"Bisa, Kak."
"Maaf, ya, merepotkan," tambahnya yang sedikit merasa tidak enak. Meski bagaimana pun juga, Naomi tahu bahwa meminta bantuan secara mendadak bukanlah hal yang menyenangkan bagi beberapa orang.
"Enggak masalah, Kak. Santai aja, ayo! Siap, Kak?!"
"Bentar, tunggu dulu." Kemudian ia menepuk pelan bahu orang yang memakai kostum pocong dan mengajak lagi, "Mas, foto sama saya sekali lagi! Tadi fotonya kurang bagus!" pekiknya agak keras karena di sekitarnya banyak orang bersahut-sahutan dan di samping kanannya ada sebuah kafe dan ada live music.
Ya, wisata Malioboro tidak pernah ramai. Kemarin saat Naomi ke sini, suasananya sama persis. Hanya saja, dia tidak sempat datang ke sini untuk berfoto dengan beberapa cosplay hantu di Malioboro. Meskipun pernah menetap di Jogja, Naomi jarang sekali berkeliaran di Malioboro. Selain bekerja, ia hanya mendiami rumah, sesekali pergi ke kafe, atau sering kali berkunjung ke kelab malam seperti saat dirinya berada di Bali.
"Biar aku saja yang mengambil gambar," sela Leonardo yang entah datang dari mana, karena tiba-tiba laki-laki itu muncul dari sisi kiri Naomi. Anak perempuan yang mendapatkan uluran tangan dari Leonardo pun memandangi Naomi.
"Dia temanku," balas Naomi dan mengangguk. Gadis berkerudung itu lantas memberikan ponsel Naomi pada Leonardo. "Terima kasih banyak dan maaf sekali karena aku mengganggu waktumu."
"Sama-sama, Kak. Aku permisi, duluan, ya, Kak!"
"Terima kasih!" seru Naomi sembari melayangkan lambaian dengan dua tangannya. "Hati-hati!" timpalnya yang dibalas perempuan manis itu dengan lambaian tangan pula. Kini pandangannya jatuh pada Leonardo yang berdiri di hadapannya sambil membawa ponsel miliknya. "Kenapa menyusulku ke mari?! Mengganggu saja!"
"Jangan pura-pura marah, aku tahu kau senang karena aku datang menemanimu." Baru saja ingin membantah karena mulutnya sudah terbuka, Naomi mendapat balsan menyebalkan. "Sudah, jangan berisik! Bergaya saja!"
"Aku yang mau foto, kau sendiri yang heboh!" sembur Naomi dan melirik pocong di samping kanan dengan melipat tangan di depan dadanya. "Harus sesuai ucapanmu tadi, Nard! Aku tidak mau tahu, hasilnya harus bagus!"
"Berisik sekali kau ini, lihat saja nanti." Melihat dua orang yang tengah bertengkar, pocong jadi-jadian itu cuma bisa tersenyum dalam diam. Ia hanya memerhatikan Leonardo dan Naomi yang meributkan masalah sepele. "Lihat, hantu di sebelahmu itu sampai gerah melihatmu berisik," ungkap Leonardo yang kian memperkeruh suasana hati Naomi. Tapi, kali ini Naomi tidak membantah lagi, dia justru ganti pose dengan menutup mukanya setengah sambil melirik lagi ke hantu pocong palsu sisi kanannya. "Sudah, selesai."
Di malam yang dingin namun menengangkan itu, Naomi berjalan di trotoar dengan dadanya yang berdegup cukup kencang. Di tempat pejalan kaki bagi seluruh penikmat suasana Malioboro, semuanya berjalan santai sembari bercengkerama. Hanya Naomi saja yang diam seribu bahasa dalam genggaman tangan Leonardo. "Kenapa kau diam saja?" tanya pria itu yang membuat Naomi tetap pada pandangannya, lurus ke depan. "Kau menikmati genggaman tangan mantanmu sendiri?" goda Leonardo yang terus saja berusaha membuat wanita itu merasa malu. "Apa masih sehangat dulu bagimu?"
"Kau bisa diam atau tidak? Tadi kau yang bilang sendiri kalau aku cerewet, sekarang kau sendiri yang begitu. Kau tidak malu, Nard?"
"Kau yang harusnya merasa malu. Kenapa baru sekarang bersuara? Lihat, wajahmu sudah memerah." Leonardo mengatakannya sembari tertawa kecil, khas seperti orang yang mengejek lawan bicaranya. "Kau menikmati suasana semacam ini?" tanya Leonardo dengan nada meremehkan. "Mirip anak sekolah saja," tambahnya yang membuat Naomi sontak melepaskan genggaman tangannya dengan sangat kasar.
"Kau yang menggandengku sembarangan, dan kau sendiri yang mengejekku. Aneh sekali kau, Nard! Kau sudah berubah." Sesudah itu Naomi memilih berjalan sendirian. Beruntung sekali karena trotoar ini teramat padat oleh pejalan kaki, beberapa orang tidak terlalu fokus pada sekitarnya, melainkan lebih mengutamakan kedekatan mereka pada teman maupun pasangan.
"Sudah berubah?" gumam Leonardo bertanya pada dirinya sendiri. "Berarti kau sangat memerhatikan sikapku selama ini," imbuhnya seraya mengayunkan kaki demi menyusul Naomi. "Masih banyak yang harus aku gali mengenai dirimu yang sekarang tertutup. Atau sebenarnya, selama ini kau memakai topeng?" Hanya pertanyaan-pertanyaan itu yang membuat Leonardo mengejar Naomi. Itu pun demi perjuangannya mendapatkan hati Brielle. "Dasar mantan, kalau bukan demi Brielle, aku tidak akan mengejar dirimu seperti ini." Leonardo berjalan cepat untuk menyusul Naomi yang juga mempercepat langkah kakinya. "TUNGGU, NAOMI! JANGAN MARAH, BABY!" teriak Leonardo yang seketika itu juga menjadi sorotan di jalur pejalan kaki ini.
Naomi yang mendengar teriakan Leonardo itu tak bisa untuk tidak membelalakkan mata. Ia menoleh dan berhenti secara otomatis. Kakinya seperti mendapat mantera ketika kata panggilan untuknya terucap lagi di bibir mantan kekasihnya itu. Tetapi, perlakuannya setelah itu membuat Leonardo mengerutkan kening. "Tidak mungkin dia mencintaimu!" pekik Naomi menyadarkan dirinya sendiri sambil menampar pipi kanan dan kirinya berkali-kali secara bergantian.
Sedangkan di kota lainnya, Leonathan tidak lelah memikirkan wanita tercintanya dan anak kandung laki-lakinya. Hari ini Leonathan bisa beryukur yang benar-benar berterima kasih pada Penciptanya. Karena ia masih diberi kesempatan untuk bermain bersama Elnathan dan setahap demi setahap ia yakin bisa merebut hati Brielle lagi.
Lelaki itu tengah duduk di sofa ruang tamu sembari memangku Elnathan yang sedang bernyanyi. Bocah tiga tahun itu sedang menonton tayangan kartun dari gawai milik sang papa. Ada film kartun kereta api yang menjadi salah satu tontonan favoritnya selain film kartun tentang balap mobil.
"El mau ini, Om!" serunya menunjuk-nunjuk kereta api yang menjadi tokoh utama di film tersebut. "Blue train! I want it!"
Dengan senyum yang sama lebarnya dengan milik Elnathan, pria itu menarik sudut bibirnya dan melirik ke arah dapur sejenak sebelum menjawab karena ia sedikit was-was jika Brielle muncul tiba-tiba. "Oke, aku akan membelikannya untukmu."
"Hole! Asyik!" pekiknya kegirangan dan Leonathan kembali menengok arah dapur.
Leonathan mengecup puncak kepala anaknya dan mendekatkan bibirnya tepat di atas rambut sang putra tampannya itu. "Tetapi, bisakah kau memanggilku dengan sebutan Papa?" bisiknya seketika, tanpa ragu dan pikir panjang.
"Papa?" tanya El mendongak.
"Iya. El mau papa, bukan? Aku bisa menjadi papa El, kau mau, El?" Sontak saja Elnathan mengangguk dan mengubah posisi duduknya. Ia bangun dan memeluk leher Leonathan sesudah berhadapan dengan pria dewasa terbaik menurutnya. Hanya air mata dan pelukan erat yang dia berikan untuk menjawab pertanyaan papa kandungnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Look at Me, Elle
RomantizmLeonathan tidak berhenti menghentikan kaki demi mengejar perempuan yang selama ini dia cari. "Bicarakan ini baik-baik, Elle. Dia juga membutuhkanku untuk tumbuh. Jangan bersikap egois, aku juga orang tuanya." Brielle memutar badan ke belakang, lalu...