Peluk

79 4 0
                                    

"Kemarin dia memutuskan hubungan dengan Leonardo, sekarang mencoba untuk mengabaikan perasaan Leonathan dan anaknya sendiri ... hah! Sebenarnya apa maunya?!" geram Naomi sambil berjalan, sebelum masuk lagi ke toko bunganya, tempat di mana bunga-bunga tertata rapi sesuai jenisnya.

Tak hanya Brielle, karyawan yang tengah duduk di balik meja kasir pun mendengar ucapannya. Usai duduk pun Naomi masih mengeluarkan kekesalannya pada Brielle, "Apa yang dilakukan, tidak sesuai dengan janjinya. Kalau begitu, untuk apa dia bilang bahwa membiarkan semua mengalir apa adanya?! Masih saja kerasa kepala!"

Brielle yang mengakui itu pun tampak sekali terluka. Ia memeluk, mendekap tubuh Elnathan cukup erat. Jantungnya berdegup tidak lambat. Wanita itu mengecup puncak kepala Elnathan berkali-kali sebelum mengutarakan isi hatinya, "Mama sangat minta maaf kalau belum bisa membuat El bahagia. Mama minta maaf kalau belum bisa memberikan keluarga yang utuh. Tapi percaya, Mama berusaha memberikan yang baik menurut Mama, Sayang." Mengelus rambut sang putra, ia berucap begitu lirih, "biarkan Mama sembuh, Sayang ... Mama janji, kalau Mama sudah yakin untuk berbicara dan memaafkan papa, El bisa punya keluarga yang lengkap."

Mengangkat tubuh anaknya dengan hati-hati, lalu dibaringkan di atas sofa. Brielle meninggalkan Elnathan yang tertidur nyenyak di atas sofa miliknya. Kemudian ayunan kaki itu menggiringnya ke luar, tepatnya satu ruangan dengan sahabatnya yang ternyata sedang melayani seorang pembeli laki-laki. Belum sempat menghampiri kumpulan meja tempatnya untuk mencatat pesanan, pintu toko dibuka dan penandanya pun berbunyi.

Begitu Brielle menoleh ke belakang bersama tubuhnya yang ikut memutar, sosok Leonardo berdiri di depan matanya. "Bisa kita bicara empat mata? Aku butuh mendengarkan permintaanmu secara langsung, Brielle Handoko," ujarnya kemudian, membuat dua insan yang saling tatap itu menjadi sorotan semua orang di sekitar mereka.

"Bukankah sudah jelas? Aku juga meminta maaf, mung—" jawaban Brielle terpotong begitu saja karena suara Naomi. Bahkan sahabatnya itu sudah menghampirinya saat pembeli sedang berdiri di depan karyawan lain, pemegang mesin pembayaran.

"Brielle masih ada urusan pekerjaan. Ini masih jam kerja, Nard. Kalau memang ingin mengobrol, kalian bisa keluar setelah jam kerja Brielle selesai." Brielle yang mendapat jawaban dari Naomi pun mengucap syukur di dalam hati. Memang, dia harus menjauh dari Leonardo untuk saat ini. Terlebih lagi ia tahu betul kalau Naomi menyimpan rasa untuk pria di hadapannya ini. Tidak mungkin dia meneruskan hubungan yang seharusnya berakhir atau mungkin tidak boleh terjalin.

"Ya, benar juga yang dibilang Naomi, Nard. Aku masih berada di toko, itu tandanya aku masih milik toko."

"Baiklah, kalau memang begitu ... aku minta malam ini kita keluar. Jangan menolak dan mengatakan banyak alasan. Sampai jumpa malam nanti, aku akan menjemputmu." Leonardo yang hendak meraih kepala Brielle dan mencium keningnya, lantas ditahan. Brielle mencegah tubuhnya agar tidak mendekat.

"Kita sudah berakhir, Nard."

"Aku masih belum menyetujui keputusanmu." Leonardo kemudian berbalik tanpa bisa menuangkan rasa rindu dan cintanya pada Brielle. Sang kekasih yang memutuskannya sepihak itu harus segera diajak bicara serius dan secara langsung agar dia dapat mendapatkan kejelasan.

Setelah keperian Leonardo, Naomi melirik ke arah Brielle yang ada di sisi kirinya, melipat tangan di atas perut sambil mengatakan, "tuntaskan apa yang harus diselesaikan. Ingat, setiap orang memiliki perasaan. Kau harus menentukan, mana yang harus kau pilih dan kau tinggalkan, Elle. Jangan sekali-kali mempermainkan perasaan laki-laki yang sudah tulus mencintaimu. Baik Leonardo maupun Leonathan, keduanya memang memiliki perasaan yang sama terhadapmu. Tapi ingat, kau tidak bisa mempermainkan mereka berdua."

"Aku bukan anak kecil yang butuh nasihat. Aku tahu apa yang harus aku lakukan, jadi berhenti mengatakan sesuatu yang sudah aku tahu," balas Brielle sembari membalikkan badan. Ia mendatangi meja dan mulai memeriksa buku pesanan.

"Jangan merasa sombong kalau dua pria mencintaimu sekaligus, Elle. Bisa jadi suatau saat nanti, keduanya akan menjauh darimu."

"Aku justru beruntung kalau itu terjadi," sahut Brielle yang mulai meneliti buku lalu berjalan ke arah bunga mawar. Ada pesanan yang harus dikirm sekarang juga. "Tenanglah, Leonardo akan kembali padamu, meskipun tidak sekarang." Brielle mengatakan seperti itu karena dia tahu bahwa Naomi tak ingin melihat lelaki itu menderita karena putus dengannya. "Dia akan mendekatimu, percayalah ... kau akan bahagia bersamanya." Setelah itu Brielle benar-benar fokus menghitung semua bunga yang harus dia masukkan ke keranjang. Naomi sendiri hanya bisa terdiam menatap sahabatnya yang dengan gerakan cepat dan gesit menyusun bunga ke dalam keranjang rotan.

Kini malam pun tiba. Langit sudah gelap gulita. Hanya bulan yang mampu menyinari, lantaran bintang-bintang bersembunyi. Kemungkinan akan turun hujan dalam beberapa waktu lagi. Tampak sekali, langit malam begitu gelap dan mendung, seperti mendukung jiwa pria yang merasa tidak beruntung.

"Kenapa kau tega mengatkan perpisahan saat aku sedang di luar kota? Bukankah ini semua terlalu mendadak?"

"Tidak ada yang mendadak untuk mengakhiri sebuah hubungan," timpal Brielle yang semula menunduk, mendongak dan menatap mata Leonardo baik-baik. Keduanya duduk saling bersebelahan di sebuah taman yang sangat sepi pendatang, karena memang hari ini bukanlah malam minggu yang biasa digunakan pasangan untuk menghabiskan waktu bersama. "Keputusanku sudah sangat bulat, dan sekali lagi aku meminta maaf."

"Kenapa tiba-tiba? Bukankah hubungan kita baik-baik saja?" Brielle tampak ingin menepis penuturan Leonardo, namun pria itu menggeleng. Ia melanjutkan lagi sebelum suara Brielle muncul. "Kau sendiri tidak memberikan alasan yang jelas. Apakah ada yang salah dari diriku atau perlakuanku padamu? Atau ada sesuatu dalam diriku yang membuatmu tidak nyaman? Atau kau merasa tertekan dengan hubungan kita? Atau kesalahan apa, Brielle?" Brielle menggeleng, masih geleng-geleng kepala saat Leonardo mengeluarkan semua pertanyaan itu. "Di mana letak kesalahannya? Sehingga kau memutuskan hubungan kita. Apa yang salah? Atau siapa?"

"Aku yang merasakan ketidakcocokan. Kita tidak bisa bersama-sama lagi. Semua murni dari perasaanku yang semakin hari semakin tidak yakin melanjutkan hubungan kita ini ke jenjang yang lebih tinggi dan lebih lama." Brielle mengatakannya tanpa berkedip sedikit pun. "Aku tahu, aku sungguh menyakiti perasaanmu, tapi aku benar-benar tidak bisa melanjutkan ini semua."

"Kalau memang itu alasanmu, untuk apa kau menerima lamaranku?"

"Karena saat itu aku masih berusaha untuk menghargai perasaanmu dan perjuanganmu. Aku kira perasaanku semakin kuat setelah kita bertunangan." Leonardo yang mendengarkan alasan itu semakin menggeleng tak percaya. Syok sekali mendengar jawaban yang selama ini tidak pernah terpikirkan sedikit saja di otaknya. "Maaf, aku minta maaf untuk semuanya." Brielle mengatakan dengan sunggu-sungguh, dia juga tengah meraih salah satu tangan Leonardo dan digenggam erat-erat. "Aku mohon padamu, setelah ini bahagialah tanpa diriku. Kau laki-laki yang sangat baik, Nard ... kau tidak pantas mendapatkan wanita sepertiku."

"Aku mencintaimu dengan tulus, kau tahu itu."

"Tapi aku tidak pantas mendapatkanmu, ada perempuan yang lebih pantas mendapatkan cintamu yang tulus." Kemudian Brielle memeluk Leonardo, mengusap punggung lebar itu dan kembali berucap, "aku mohon, lihatlah Naomi dan kau akan tahu betapa cintanya dia terhadapmu."

"Apa kau mengakhiri ini semua demi Naomi?"

Look at Me, ElleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang