Salah Mendidik

39 2 0
                                    

"Untuk apa aku mendengarkan penjelasanmu? Kau sendiri tidak mau minta maaf, hanya mengatakan bahwa kau ingin menjelaskan? Menurutmu kau ini tidak bersalah, kan?" tanya Brielle yang sudah melipat tangan di perut bagian atas dengan tubuhnya menghadang pintu agar pria itu tak bisa masuk.

"Apa?" Leonathan yang sedari tadi menatap Brielle itu langsung melongo mendengarkan ucapan wanita itu yang mengira dirinya tidak merasa bersalah. Jika benar begitu, ia tidak mungkin mengejar dan menemui Brielle serta putra kandungnya.

Brielle dengan sorot mata yang mengunci mata biru Leonathan masih berdiri di hadapan pria itu. "Aku tidak akan membiarkanmu masuk ke dalam hidupku maupun El, kita sudah terbiasa tanpa dirimu," tuturnya begitu tegas.

"Kau sendiri yang memilih pergi, aku tidak meninggalkanmu. Tetapi kau sendiri yang memilih untuk lari setelah peristiwa malam itu, Elle."

Brielle memalingkan mukanya ketika wajah Leonathan tampak menyedihkan. Namun, ia menganggap itu sebuah trik atau muslihat pira itu agar dirinya luluh. "Lalu, aku harus menunggu kau membuangku?" Leonathan semakin tak percaya dengan apa yang diluncurkan Brielle dari mulut mungil itu. "Daripada aku harus menunggu kau mengusirku, aku lebih baik pergi. Bukankah itu yang terbaik? Kau hanya tertarik dengan tubuhku."

Sontak saja Leonathan menggeleng. "Kau salah pah—"

Kini Brielle yang menggelengkan kepala. "Tidak ada apapun di dalam dirimu dan aku selain nafsu. Jadi, untuk apa aku tetap di sampingmu? Bukankah kau cuma menganggapku sebagai perempuan gampangan?" potongnya yang membuat Leonathan kian tak percaya dengan ucapan Brielle. Lelaki itu merasa sangat sakit hati kala Brielle dengan mudah memberinya cap sebagai pria tak berperasaan.

"Aku bukan pria semacam itu, Elle."

"Seperti biasa, jarang ada penjahat yang mengaku dirinya penjahat dan melaporkan dirinya ke polisi agar di penjara. Itu hal yang sangat-sangat jarang." Kemudian Brielle memutar tubuhnya. "Pulang saja, percuma kau datang, aku tetap tidak mau menerima penjelasanmu. Kau tidak merasa bersalah setelah melakukannya."

Belum sempat Brielle menutup pintu, dari arah kirinya, sosok Elnathan berlari kencang dan mencega pintu rumahnya agar tak tertutup. "Mama!" Gelengan kepala yang kuat dilakukan berulang kali sembari memekik, "jangan Mama! Om Ganteng mau masuk, Mama!"

Leonathan teramat senang dan terharu mendengar anaknya membela dan berusaha mengizinkannya masuk. "Aku ingin memberikan ini padamu, setelah itu aku harus pergi. Mungkin kita akan bertemu lagi lain kali, Mama El lelah ... biarkan dia istirahat."

"Om Ganteng enggak mau masuk ke rumah Mama?" Leonathan mengatakan tidak dan segera memberikan tas berisi es krim pada anaknya. "Terima kasih, Om."

"Aku pulang," jawab Leonathan yang sengaja tak memanggil dirinya sendiri dengan sebutan paman seperti panggilan anaknya untuknya. Leonathan belum siap memperkenalkan diri sebagai paman dari anaknya sendiri. Karena setiap kata itu meluncur dari bibir mungil sang buah hati, sakitnya tidak bisa terelakkan. "Sampai jumpa, El!" lambaian tangannya juga mengiringi langkah kakinya.

"Sampai jumpa Om Ganteng!" pekiknya yang tak berhenti melihat kepergian Leonathan sampai pria itu benar-benar menjauh dari halaman rumahnya.

Bukan hanya anak tiga tahun itu yang memerhatikannya, Leonathan juga bisa melihat Brielle yang masih menatapnya. "Mungkin bukan sekarang, aku akan menjelaskan semuanya bertahap." Leonathan memakai kacamata yang ia masukkan ke dalam saku, lalu menghampiri mobilnya. Menjalankan kendaraan roda empat itu kafe Mixture yang selalu membuat pikirannya teralihkan dan mampu membuat otaknya kembali jernih seperti mata anaknya yang begitu memikat hati. "Doakan Papa, supaya El memanggail Papa sesuai dengan keharusan. Bukan panggilan itu yang tak pernah kupikirkan selama hidup." Tatapannya yang semula sedikit sendu, berubah tajam nan tak berkedip, fokus pada satu titik. Menggeleng sedikit dan mengangkat sudut bibirnya, tersenyum miring. "Sampai kapanpun aku tidak sudi mendengar panggilan itu, panggilan yang tak layak diucapkan darah dagingku sendiri untuk orang tuanya." Memukul setir, ia melampiaskan emosi yang terus ditahan. "Kau salah mendidiknya, Elle," bisiknya terdengar berat serta penuh penekanan.

Sedangkan di luar kota, seorang perempuan terjebak di penginapan selama berhari-hari di dalam kamar. Bukan karena menjadi korban sandera, tetapi Naomi tidak bisa keluar karena terlanjur menepati janji. Ia sudah mengiyakan perintah Leonardo yang menyuruhnya untuk tidak keluar dari kamar tanpa lelaki itu. Alhasil, selama lebih dari tiga hari ia hanya berkeliaran di penginapan.

Sampai detik ini pun Leonardo belum menemuinya, ketika ditanya alasannya Leonardo mengatakan bahwa pria itu sibutk bekerja lantaran banyak masalah mengenai toko pakaiannya. Di hari ke lima inilah, Naomi merasa benar-benar bosan. Ia yang ingin mengobrol dengan Leonardo pun harus mengurungkan niat karena ponsel laki=laki tersebut tidak aktif.

"Kalau akhirnya seperti ini, untuk apa kamu membawaku ke sini?" gumamnya yang memandang ponsel di tepi jendela kamar. Namun tiba-tiba saja kamarnya diketuk. "Apa itu Leonardo?" batinnya yang langsung lari ke arah pintu dan cepat-cepat membukanya. "Akhirnya kau datang juga!" seru Naomi berusaha menahan diri agar tangannya tidak melingkar di tubuh pria yang tampak kusut dengan pakaian tidak rapi, kemejanya bahkan keluar. Semerbak aroma alkohol pun menerpa hidung Naomi saat Leonardo memilih masuk dan melewatinya.

"Apa kau merindukanku?" tanya Leonardo yang langsung berbaring di ranjang Naomi tanpa permisi.

"Me-merindukanmu?"

"Jawab saja!" teriak Leonardo dengan mata terpejam dan tubuh telentang. "Kau merindukanku atau tidak?!"

"Kau kenapa, Nard?" tanya Naomi sembari jalan mendekati kasurnya dan memberanikan diri untuk duduk di tepi kasur. Ia yang ingin meraih pipi Leonardo terkejut karena pria itu tiba-tiba bangun dan mencengkeram dagunya dengan mata melotot, begitu menakutkan di mata Naomi yang kini syok. "Ka-kau kenapa?"

"KAU YANG KENAPA?!"

"A-apa?" tanya wanita yang sudah berdebar dan gemetar ketakutan itu, memegangi satu tangan Leonardo yang masih mencengkeram dagunya kuat-kuat.

Berpindah menekan pipi Naomi, Leonardo menatap wanita itu dengan mata tajamnya. "Apa maksudmu melakukan ini?!"

"Me-laku-kan?" Naomi yang tak tahu apa maksud Leonardo hanya bisa bertanya dan coba berpikir. "Me-melakukan ap-apa?" Dibantingnyalah mukanya oleh Leonardo sampi ia terhuyung dan mukanya mendarat di atas bantal.

"Kenapa kau tidak mencegah Brielle untuk mengakhiri hubungan kami?! Kenapa kau menghasutnya untuk memutuskan pergi dan batal menikah denganku?! Kenapa kau melakukan itu?!"

"Aku tidak menghasut Brielle, Nard!"

"Kau wanita paling jahat yang pernah aku kenal, Naomi!" Naomi yang sudah tidak tahan dengan perlakuan dan ucapan Leonardo lantas melayangkan tangannya.

PLAK!

"KAU TIDAK PERNAH TAHU APAPUN!" teriak Naomi yang sudah menangis. "KAU HANYA BISA MENYALAHKANKU!" ditunjuk dan dipukullah Leonardo, dadanya sampai lengan dari pria itu terus-terusan, melampiaskan kekesalan dan kekecewaan. "SELAMA INI AKU MELAKUKAN SEMUANYA UNTUKMU! AKU MENGESAMPINGKAN PERASAANKU UNTUK KEBAHAGIAANMU, NARD!" bongkarnya yang membuat Leonardo hanya bisa menatapnya dengan penuh tanya.

Look at Me, ElleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang