Pengamat Cinta

68 2 0
                                    

Mau tidak mau, pagi ini Leonathan mengalah. Pria itu dengan sedikit rasa kecewa harus masuk ke mobil dan mengendarai gerobak mesin itu ke tempatnya, kedai es krim. Dia butuh memikirkan cara yang pas dan tepat untuk mengajak Brielle berbicara, apa pun itu. "Aku boleh kaya, merdeka karena banyak uang dan bahagia. Jika aku tidak bisa membawamu ke dalam hidupku, untuk apa aku memperoleh harta sebanyak-banyaknya? Aku ingin kau dan anak kita ikut menghabiskannya, Elle."

Sama persis dengan perkataannya, Leonathan tidak berhenti mengejar cintanya, baik pada Brielle sebagai wanita terakhir di hidupnya maupun jagoan kecilnya, Elnathan yang ia yakini menjadi putra pertama baginya, bukan satu-satunya. Hari ini ia boleh kalah dan memilih mundur, tapi ia tidak tinggal diam.

Di siang hari, setelah menghabiskan makan siang, ia harus pergi ke kafe Mixture yang telah ia bangun di Kota Lumpia. Seperti biasa, hobinya disalurkan di sana. Di belakang bar ia meracik minuman gelap yang mampu menambah energi bagi penikmatnya. Ya, Leonathan mulai membuat kopi yang dipesan pembelinya. Dengan tenang dan santai ia menakar biji kopi dan kapasitas air panas yang harus diberikan.

Baru melayani tiga pembeli, yaitu lima gelas kopi, ia harus berhenti karena sang adik datang. Pria yang memiliki badan tak terlalu berisi dan membentuk otot di dua lengannya itu sudah duduk di kursi ternyaman dan jauh dari banyaknya orang. Leonardo bahkan belum memesan secangkir kopi dan karena itu Leonathan sendiri yang membuatkannya, seperti kebiasaannya.

"Kau ingin membahas wanita itu?" tanya Leonathan tanpa nama karena sampai sekarang pun dia tak diizinkan untuk tahu namanya dari sang adik. Karena Leonathan bukan tipe yang memaksa saudara, ia pun tidak memusingkan hal itu. "Jika iya, aku bisa-bisa muak denganmu."

"Salah kalau aku masih mencintainya?"

"Kau yakin bertanya hal itu padaku?" Leonardo mengambil kopi dari Leonathan setelah melirik kakaknya sekilas. "Jawabannya tentu saja salah."

"Bukankah kau sendiri masih mencintai wanita yang hilang itu?" Di sinilah Leonathan merasa tertampar. Ia baru sadar kalau dirinya sendiri juga memperjuangkan seorang wanita yang ia cintai, seperti Leonardo yang juga mengejar cintanya meski tolakan dari wanita itu benar-benar jelas. "Kau masih mencintai wanita yang lari darimu bahkan belum sempat mendengarkan penjelasanmu."

"Lalu apa yang ingin kau lakukan? Memaksa hubunganmu dengannya?"

"Pasti, Nath. Karena hanya itulah yang membuatku bertahan hari ini. Aku giat bekerja karena dirinya, aku ingin menikah pun karena aku yakin, dia adalah jodoh yang Tuhan berikan untukku."

"Baiklah, jika begitu keputusanmu lakukanlah."

"Kita sama-sama berjuang mendapatkan cinta." Leonathan terkekeh dan membenarkan pernyataan sang adik. "Hari ini aku harus kembali ke Jogja, urusanku belum sepenuhnya selesai."

"Kau juga perlu berlibur untuk menjernihkan pikiranmu sebelum berusaha mendekatinya lagi."

"Ya, akan kulakukan."

Di hari itu, Leonardo berpamitan pada kakaknya untuk pergi ke Jogja. Namun yang dilakukannya bukan cuma itu, diam-diam ia membuntuti Naomi meski hari itu dia gagal karena Brielle sudah ke toko bersama Elnathan yang sudah pulang dari kegiatannya bersekolah di PAUD. Fokus Leonardo sekarang ini adalah mantan kekasihnya yang ia percayai bahwa Naomi sangat ingin dirinya dan Brielle putus dan menghasut Brielle untuk berhenti melanjutkan hubungan percintaannya.

***

Besok paginya, mobil Leonardo yang tak pernah dipakai pun harus terpaksa keluar dari garasi. Leonardo mulai pengamatan di hari ini dan lokasi yang sangat memungkinkan untuk dirinya mengamati Naomi adalah toko bunga perempuan itu. Dari kejauhan, ia harus memantau bahwa Naomi benar-benar sendirian atau tanpa Brielle. Nantinya, ia akan mengajak perempuan itu makan di luar dan melancarkan aksi yang benar-benar tersusun di kepala sejak Brielle meminta putus.

Benar saja, kala Brielle mengantar anaknya pergi ke sekolah, Naomi tengah berada di luar toko untuk merawat bunga-bunganya. Wanita itu tengah menyemprot air ke beberapa jenis bunga, dan detik itu juga Leonardo menghubunginya. "Aku ingin kau bersiap-siap. Ada yang ingin aku ceritakan padamu," pinta Leonardo yang tanpa menunggu berlama-lama, disetujui Naomi. "Apa kau memang mencintaiku?" gumanya kala Naomi lantas meletakkan semprotan tanaman di bawah meja yang ada di depan toko sebagai tempat pot bunga.

Leonardo menjalankan mobilnya ke toko bunga itu setelah sepuluh menit berlalu agar Naomi tidak curiga bahwa ia telah mengawasi sejak tadi. Leonardo pun membuka kaca mobil begitu sampai di tempat parkir dan memanggil Naomi tanpa turun. Naomi yang melihat itu refleks berlari.

"Apa kau menunggu lama?" tanya Leonardo setelah Naomi duduk dan hendak memakai sabuk pengaman.

"Tidak, kau cepat sekali," jawabnya yang sedikit berbanding terbalik karena Leonardo tahu perempuan di sebelahnya ini bahkan menunggu di luar toko setelah mengambil tas dari dalam.

"Baguslah, sebenarnya ada yang ingin aku lakukan bersamamu."

"Apa itu? Bukannya kau mengajakku makan siang?"

"Aku ingin mengajakmu liburan ke Jogja, kau tahu sendiri ... putus dari orang yang kita cintai itu sangat tidak mudah."

"Li-liburan?" Leonardo tersenyum. "Bersamamu?! Em ... maksudku, cuma berdua saja?"

"Kau sahabatku sekarang, kau juga tahu, hanya kaulah mantanku yang masih behubungan baik denganku. Apa kau keberatan kalau kita hanya liburan berdua?"

"Em, aku harus membicarakan ini dengan Brielle dulu, kalau dia tidak masalah, aku setuju."

"Aku yang akan memohon padanya kalau dia tidak mengizinkanmu pergi bersamaku."

Naomi yang kaget setelah mendapat ajakan dari mantan kekasihnya itu makin tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya sekaligus rasa senang di hati. Bagaimana bisa Leonardo memilihnya sebagai teman untuk move on, sebagai tempat untuk berkeluh kesah setelah pria itu putus cinta. Bukankah itu sebuah peluang besar untuknya berdiri di samping Leonardo dan mampu menarik hatinya agar melirik padanya? Uh, inilah mimpinya dari dulu. Ingin kembali dengan Leonardo tanpa merebutnya dari Brielle.

"Bagaimana?"

"Oke, aku yang akan memberitahu Brielle dan memohon padanya."

"Bagus," lirih Leonardo seraya mengelus puncak kepala Naomi. Di dalam hati Leonardo memekik senang, inilah awal dari rencananya. Semoga saja berhasil.

Tiba di sebuah tempat makan, sebuah resto yang dulu sering mereka kunjungi saat berpacaran. Naomi yang belum tahu kalau dirinya diajak ke sini pun berbunga-bunga, bahkan ia sudah bekaca-kaca. "Aku tidak menyangka kalau kau masih mengingat tempat ini."

"Kenangan manis selalu ingat, begitu pula dengan kenangan paling buruk yang tidak bisa aku lupakan juga." Ia langsung menggandeng tangan Naomi dan mengakibatkan senyum yang tertahan itu membingkai di wajah manis Naomi. "Kita akan mengenang masa-masa dulu. Ayo," ajaknya yang segera membawa perempuan itu ke tengah-tengah, di mana tempat itulah yang menjadi favorit Naomi.

"Kau masih mengingat itu?"

"Kau selalu ingin di sini karena kipas angin besar tepat di atas kita." Naomi tertawa-tawa dan mengangguk-angguk. "Lainnya suka di dekat AC, tapi kau memilih kipas angin besar."

Keduanya pun didatangi pelayan yang sudah membawa kertas menu dan buku kecil untuk mereka menuliskan pesanan. Hari itu pun cuma dipakai Leonardo untuk membuat Naomi mengenang semua masa lalu mereka ketika makan di resto tersebut. Dia juga berusaha membuat Naomi tertawa dan benar-benar masuk ke dalam rencananya, yaitu membuat gadis itu percaya bahwa Leonardo sungguh-sungguh membutuhkannya untuk melupakan Brielle.

Look at Me, ElleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang