Malam harinya Brielle sengaja tidak menjawab panggilan dari Leonardo. Hingga mendapatk panggilan lebih dari sepuluh kali pun tidak dijawab, bahkan menumpuk di pemberitahuan, riwayat panggilan. Esok paginya barulah Brielle mengucapkan selamat pagi dan mengatakan bahwa dia tengah sibuk, hanya lewat pesan. Selebihnya, tidak lagi menjawab pesan balasan dari Leonardo hingga pria itu berusaha meneleponnya siang ini.
Naomi yang melihat gerak-gerik Brielle sedari malam dan saat ini masih geram, dan tak suka dengan keputusan sahabatnya itu lantas menegur. "Kalau bisa, jangan mengacuhkannya seperti semalam. Kau terlihat sekali menjaga jarak."
"Kalau tidak sekarang, sampai kapan lagi?" tanya Brielle yang menatap buku catatan pembeli, pemesanan bunga dan beberapa tanaman seperti kaktus. "Kepergiannya ke luar kota bisa aku manfaatkan, kenapa harus menunda-nunda?"
"Tolong, pakai perasaanmu."
"Kau juga, pakai perasanmu ... apa kau lebih tega kalau melihat Leonardo hidup bersamaku tanpa adanya cinta?"
"Kebahagiaan Leonardo hanya dirimu, Elle! Mengertilah satu hal penting itu, jadi menikahlah!"
Brielle sungguh bingung dengan isi dari otak sahabatnya itu. Kalau memang Naomi mencintai Leonardo, mengapa tidak dia sendiri yang menikah? "Kenapa kau yang memaksaku untuk menikah dengannya kalau kau sendiri yang mencintainya?! Perasaanmu padanya lebih besar, melebihi perasaanku pada mantanmu itu, jadi menikahlah dengannya! Jangan memaksaku melakukan hal gila semacam ini!" pekiknya dengan marah besar, bahkan Brielle menjaga jarak dengan menggeser tubuhnya.
Pintu yang berbunyi, disusul lonceng yang berdentang membuat keduanya menoleh ke sumber suara. Rupanya ada pelanggan yang masuk. "Selamat siang, selamat datang," sapa Brielle dan Naomi tidak janjian, kebetulan sekali bisa bersamaan. Naomi yang mendekat dan mulai melayaninya, menanyai kebutuhan sepasang insan.
Begitu melirik jam tangan dan jarum sudah hampir menunjukkan pukul satu, Brielle mengambil tasnya. Pamit singkat pada Naomi untuk menjemput Elnathan dari PAUD. Mencari taksi online melalui aplikasi, lima menit kemudian Brielle mendapatkannya dan didatangi kendaraan roda empat. Masuk dan siap menjemput jagoan kecilnya.
Sampai di sana, Elnathan didampingi pendidiknya. Berterima kasih dan cepat-cepat membawa Elnathan pergi karena tidak mungkin ia membiarkan sang pemilik toko melayani pelanggan sendirian. Lagi pula tugasnya juga belum selesai, ada pesanan yang harus dikirim sore nanti, karena itulah Brielle harus mengeceknya lagi. Tidak sampai lima belas menit, Brielle dan Elnathan tiba dan bocah tiga tahun itu langsung lari ke toilet karena ingin buang air kecil.
Melihat tatapan Brielle yang tampak tidak bersahabat, membuat suasana sedikit panas. "Es krim siang-siang begini pasti enak," gumamnya yang ternyata didengar oleh Elnathan yang baru saja keluar dari toilet. Elnathan refleks mengiyakan, dan hal itu membuat Brielle menoleh ke arah anaknya yang mengangguk-angguk di depan Naomi.
Entah apa yang dibisikkan Naomi padanya, buah hati Brielle pun kegirangan dan berlari cepat ke arahnya. "Mama ... boleh, gak, El ikut Tante Mi?" Bocah berpakaian sederhana, celana pendek hitam selutut dengan kaos putih dan kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya tampak sekali memasang ekspresi ala-ala orang memohon dengan sangat. Brielle langsung melirik singkat ke Naomi, perempuan yang menunggunya di samping pintu toko, sahabatnya itu tersenyum kecil. "Boleh, Mam?"
Ia yang sedang sibuk mencatat pesanan para pelanggan toko bunga dan membaca ulang, mendadak mengalihkan matanya dari kertas dan coretan tangannya sendiri. "Memangnya Tante Naomi mau ke mana?" tanyanya yang tak melihat ke Naomi, hanya menoleh ke Elnathan yang tampan memohon penuh padanya.
"Beli es, Mama."
Mengangguk lembut, wanita berambut panjang dengan gaun panjang semata kaki lantas mengusap kepala Elnathan. "Boleh, tapi El enggak boleh minum banyak-banyak. Minum secukupnya saja, karena Mama enggak mau El sakit batuk, oke?"
Ekspresi girang tak terkira menghiasi bocah laki-laki tiga tahun itu. "Oke!" Mengangkat tangan dan menjulurkannya pada Brielle dan tersenyum mengatakan, "salim, Mam." Sang mama ikut menerbitkan binar bahagia sekaligus bangga pada kesopanan anak laki-lakinya itu. "Da, Ma!" tambahnya setelah Brielle mengecup singkat keningnya.
"Hati-hati di jalan, Sayang!" Elnathan melambai sekali lagi. "Titip El, Naomi."
"Pasti aman." Ia sudah menggandeng erat tangan kiri Elnathan. "Kami pergi dulu!" Brielle mengangguk tanpa tersenyum lebar seperti yang ditunjukkan Naomi.
Hanya jalan kaki sebentar saja, jarak dari mereka sampai toko es krim dan wafle yang didatangi keduanya itu tidak lebih dari lima ratus meter. Elnathan tampak berbinar, begitu pula dengan Naomi yang juga baru tahu bahwa toko baru ini mampu mengundang banyak orang. Beberapa meja di sana bahkan sudah dipenuhi oleh pasangan manusia. Dari anak-anak sekolah, karyawan kantor, dan beberapa keluarga juga meramaikan toko yang tak terlalu kecil itu.
"Elnathan duduk di sana, Tante Mi pesan dulu es krimnya."
"Iya, Tante Mi," balasnya menurut dan mengayunkan kakinya ke tempat yang ditunjuk Naomi. Bocah itu terus berjalan pelan, sampai akhirnya sampai di tempat duduk kayu. Di depannya ada meja bundar, juga sebuah kursi dari kayu seperti yang ia duduki. Bocah tiga tahun itu melepas kacamata hitamnya dan melihat ke arah Naomi yang tengah berjalan menghampirinya.
Belum sempat duduk, Naomi merasa pundaknya ditepuk dari belakang. Di sanalah sosok tinggi berkulit putih bersih dan sedikit mirip dengan Elnathan menatapnya. "Ha-halo, Leonathan! Apa kabar?" sapanya sembari menjabat tangan pria berpenampilan rapi, kemeja putih dengan celana bahan hitam.
"Baik ... siapa dia?" sudah jelas sekali jika pertanyaan itu mengarah pada Elnathan yang memandanginya.
"O-oh, kenalkan ... ini keponakanku, namanya ... namanya, El."
Naomi lekas duduk di hadapan Elnathan dan mengambil tangan kanan El. Ia tersenyum dan meminta, "El, kenalkan ... ini teman Tante Mi, namanya Leonathan." Tanpa membantah, Elnathan mengulurkan tangannya ke arah Leonathan dan dengan cepat senyum lebar mengembang di bibir pria dewasa itu.
"Kau tampan sekali," kata Leonathan yang membuat Elnathan berterima kasih. Karena tak ingin melepaskan genggaman tangannya pada Elnathan, ia pun mengangkat tubuh bocah tiga tahun itu yang tak lain adalah darah dagingnya sendiri.
Melihat Elnathan digendong, Naomi tidak bisa menahan sepasang matanya yang sudah terbelalak. "Gawat!" pekiknya dalam hati kala Leonathan yang sudah menggendong Elnathan tengah mengecup kening bocah yang tersenyum senang. "Bagaimana kalau Brielle melihat adegan ini?! Matilah aku!" Kemudian ketiganya dikagetkan dengan kedatangan perempuan yang memberikan pesanan Naomi dan Elnathan. "Wah, es krim sudah datang, El! Ayo, kita pulang."
Elnathan menengok sekilas dan kembali menatap Leonathan yang mengelus rambutnya. "El pulang, Om." Leonathan yang mengerti pun menurunkan Elnathan dari gendongannya.
"Maaf, aku sibuk ... kebetulan tokonya sangat ramai, lain waktu kita bisa mengobrol lagi." Baik Naomi dan Elnathan mengangguk. Namun, Naomi berusaha menutupi keterkejutannya dengan senyum senang serta melambaikan tangan. Buru-buru memutar badan, ia menggandeng Elnathan erat.
"Namanya sama seperti nama El, Tante Mi."
"Siapa?"
"Om ganteng," ujar Elnathan sebelum menjilat es krim cone rasa cokelat sampur vanila di tangan kanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Look at Me, Elle
RomanceLeonathan tidak berhenti menghentikan kaki demi mengejar perempuan yang selama ini dia cari. "Bicarakan ini baik-baik, Elle. Dia juga membutuhkanku untuk tumbuh. Jangan bersikap egois, aku juga orang tuanya." Brielle memutar badan ke belakang, lalu...