Bersemu Merah

285 6 0
                                    

“Hari baru semangat baru,” sembari melirik meja kecil di samping meja, jari-jari mengancingkan kemeja merah yang melekat di tubuh kencang nan berototnya. “Bukan begitu, Honey?” tanya Leonathan pada foto Brielle yang sudah dia cetak dan sekarang nangkring di nakasnya.

Ia tersenyum miring ketika ingatannya kembali pada semalam saat Brielle diam-diam mengintip dari balik jendela. “Tidak sadar jika tingkahmu menggemaskan di mataku, Elle? Apakah kau sendiri tidak sadar saat melakukannya?” Leonathan tidak bisa menahan mulutnya untuk terkekeh geli.

Pagi ini Leonathan tidak sabar untuk menyambangi rumah Brielle, bertemu dua pribadi yang begitu dicintainya itu awal sebelum bekerja ataupun memulai aktivitas berat yang menyita pikiran. Karena itulah, pria itu bangun begitu pagi dan siap-siap tanpa lupa sarapan. Kini, tampilannya sudah rapi dan tampan dengan balutan kemeja mera polos lengan panjang dan celana hitam panjang pula. Leonathan siap meluncur ke rumah ibu dari buah hatinya. “Percuma kau menghindar, aku tetap akan mengejarmu.” Tekad yang selalu disematkan dalam benaknya. Dengan langkah tegak dan cepat, Leonathan menuruni tangga rumahnya.

Sedangkan di istana sederhana Brielle, wanita itu sibuk berkutat dengan kompor serta wajan. Anak laki-lakinya memainkan mobil, kereta api, dan semua mainan beroda lainnya. Tentunya bermain di ruang tengah, sembari menunggu dirinya dipanggil ke meja makan. Bocah ganteng yang memiliki hidung mancung dan mata indah seperti sang papa itu sudah keren dengan kemeja kotak-kotak merah. Celana jeans pendek selutut membalut sepasang kakinya yang aktif gerak, lari ke sana-sini sambil memegang mobil-mobilan.

Jam belum menunjukkan enam pagi, karena itulah Brielle teramat santai meskipun wajah seriusnya mengarah pada nasi yang ia goreng. Sesekali melirik anaknya yang bermain sendiri. “El mau susu?” tanyanya yang melirik ke lemari tempat susu vanilla Elnathan ditampung. “Atau El mau jus alpukat seperti punya Mama?” tawarnya lagi sedikit lebih teriak. Tangan kanannya tak berhenti mengaduk-aduk nasi yang sudah kecokelatan.

Dari ruang tengah anaknya berlari, dua tangannya memegang mainan khas anak jantan. “Mau rasa cokelat, Mama!” serunya yang masih berlari dan tiba-tiba berhenti di samping meja makan. Ia mendongak ke arah Brielle lalu meletakkan satu mainan di atas meja.

“Enggak mau rasa vanila, Sayang?” menggeleng kuat. “Jus alpukatnya mau atau enggak?” tambahnya karena tak ingin jus alpukatnya dihabiskan saat mereka di toko bunga nanti. “Kalau mau bilang loh ... Mama enggak mau kalau jus alpukat Mama dihabiskan El, padahal El sudah Mama tanyain.” Bocah itu mengangguk-angguk. “Betul, ya? El enggak minta kalau di toko, ya?”

“Minta Mama,” jawabnya iseng karena melihat tatapan sedih sang mama, tentu sebenarnya Brielle tidak sesedih itu. Elnathan bahkan berani tertawa-tawa. Namun, tawanya tiba-tiba berhenti karena mendengar suara mesin mobil tak terlalu kencang di luar rumah mereka. “Tamu Mama,” ujarnya memberitahu dengan wajah seolah tengah berpikir. Brielle hanya tersenyum tetapi, tangannya lekas mematikan kompor.

“Ayo, ikut Mama!” Digendongnya Elnathan dan wanita yang sudah tampil cantik ini tergesa-gesa menuju pintu. Begitu sampai, tanpa melihat gorden dibukanya pintu di depannya. Sangat terkejut sekaligus merasa senang kalau sahabatnya sudah tiba dengan selamat. “Aku pikir kau masih marah, Naomi!” serunya begitu sang sahabat memeluk tubuhnya erat-erat. Melirik mobil di depan rumahnya, Brielle merasa tak asing. “Kau pergi dengan siapa selama ini?” tanyanya.

“Leonardo menceritakan semua kesedihannya padaku,” balas Naomi yang mengatakan apa adanya.

“Apa dia menyalahkanmu?!” Brielle tak ingin basa-basi, bahkan ia ingin menghampiri pria yang berusaha mengeluarkan mobil itu dari halaman rumah. “Kalau sampai kau disalahkan, aku yang akan menjelaskan, Naomi.”

“Mama, El mau makan,” sahut bocah di gendongan Brielle yang sedari tadi memikirkan perut kosongnya. Baik Naomi dan Brielle sama-sama tertawa. Beberapa detik kemudian ketiganya mendengar suara mobil itu melaju, usai menjauh pelan-pelan dari wilayah rumah mereka. “Hai, Tante Mi,” sapanya kala perempuan manis itu menekan lembut dua pipinya. Ia menyambut pelukan hangat Naomi setelah dirinya diturunkan dari gendongan Brielle.

Waktu yang dibuang untuk mereka sarapan lima belas menit saja, sisanya hanya digunakan untuk berbincang-bincang. Hanya bocah cilik yang sibuk dengan mainan dan lama menghabiskan nasi goreng karena dia tertarik jus alpukat. Seperti sekarang ini, ia tengah menikmati jus alpukat di gelasnya sambil menggenggam mobil merah mainannya, didorong-dorong di atas meja makan.

“Tante Naomi tidur dulu, El ... Tante ngantuk, badannya harus istirahat. Tante ke kamar dulu,” pamitnya pada balita yang langsung mengangguk dan memberikan satu jempol.

“Selamat bobok Tante, Mi ... yang nyenyak, ya ... coba, El bilang gitu dulu.”

Tidak ingin membantah masukan ibunya, Elnathan membuka mulut dan berhenti sejenak meneguk jus. “Selamat bobok, Tante Mi! Dadah!” Tangannya pun melambai, ditunjukkan semua gigi rapi dan lengkap sebagai tambahan dan berhasil membuat Naomi terpukau.

“El selalu ganteng,” puji Naomi sembari mengacak-acak rambut bocah itu dan segera berlalu.

Brielle meneguk air mineral di depannya lalu menatap kembali sang anak. “Sudah, kalau masih mau jusnya diminum di toko bunga lagi. El harus sekolah sekarang, Mama juga harus kerja, Sayang.” Awal mulanya bocah itu cemberut dan menggeleng kuat, tidak mau acara minum santainya diganggu. “Hayo, Mama enggak suka, ya, kalau El seperti ini. Ayo, Sayang ... bawa mainannya paling banyak dua,” imbuhnya berusaha menghibur dan sedikit mengobati kekesalan anaknya.

Brielle pun mengemas semua barang yang sekiranya wajib dibawa, apalagi kalau bukan dompet dan ponsel. Menuntun anaknya, keduanya sama-sama angkat kaki dari dapur. Begitu dibuka lebar pintu di hadapan keduanya dan menginjak lantai teras, salah satu dari mereka memekik girang. Si balita lantas berlari ke pria yang berdiri di samping pintu sambil memasukkan dua tangan ke saku celana.

“Selamat pagi, El.” Kemudian mengangkat bocah itu dan mengarahkan mata birunya pada Brielle. “Selamat pagi, Honey.” Sontak saja Brielle membulatkan mata, merasa telinga salah tangkap. Bukan cuma itu, Leonathan langsung berjalan ke mobil hitam. Bukannya membuka pintunya sendiri seperti biasa, dia membukakan pintu sebelah kiri. “Masuklah,” ucapnya begitu halus dan tatapannya pun sama lembutnya.

“Jangan percaya diri dulu kalau perlakuan manismu ini bisa membuatku jatuh hati padamu, Tuan Leonathan.”

“Percaya diri?” tanyanya diiringi dengan tawa kecil dan geleng-geleng kepala, belum lagi satu jari telunjuknya berani mencolek dagu Brielle. “Hanya memperlakukan wanita pujaanku dengan semestinya,” balas Leonathan sambil tersenyum tipis melihat Brielle duduk dengan ekspresi menahan kesal, lalu memasang sabuk pengaman. “El duduk sama Mama, Nak.” Diberikannya anak laki-laki itu pada sang mama. Langsung mengitari mobilnya dan ikut duduk di sebelah Brielle sembari menunjukkan senyum manisnya ke sang wanita sebelum kendaraan roda empat ini dijalankannya.

“Wanita pujaan? Hah! Apa aku tidak salah dengar?”

“Tidak mungkin salah dengar. Jika salah dengar, pipimu tidak mungkin bersemu merah seperti sekarang, Honey.” Tambah merahlah pipi kanan dan kiri Brielle. Sang pemilik langsung membuang muka ke arah jendela.

Look at Me, ElleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang