Kejutan 2

51 2 0
                                    

Sampai di kedai es krim, Leonathan segera naik ke lantai dua demi memikirkan menu baru yang harus ia tambahkan ke kedainya itu. Banyak makanan yang harus ia cantumkan di beku menu, dan tamoaknya akan membuat kafenya semakin ramai, seperti macaroon atau makarun. Leonathan baru ingat kalau biskuit yang biasanya terbuat dari kacang-kacangan itu mampu menarik hati anak kecil. Tidak menutup kemungkinan jagoan kecilnya.

Siang itu juga Leonathan berdiskusi oleh karyawannya laki-laki yang pandai membuat menu-menu makanan penutup. Karyawan itu juga yang paling dipercaya Leonathan untuk berkreasi dan memimpin kedai es krimnya. "Jika bisa, buat harganya lebih murah," ucap Leonathan menatap lurus sang pegawai muda sekaligus pekerja keras dari semua karyawannya di sini.

"Meskipun keuntungan Bapak sedikit?" tanyanya ikut serius.

"Tidak masalah, jika dalam satu tahun kedai ini ramai, barulah kita kecilkan bentuknya." Leonathan sendiri sudah memikirkan ini, ciri khas dari kebanyakan pengusaha makanan jika tidak ingin menaikkan harga. Karyawan itu pun mengangguk paham. "Ukuran yang sekarang sudah cukup, aku jamin bisa menarik perhatian dan layak diminati banyak pembeli."

"Pasti, Pak. Saya yakin juga bisa laris manis seperti es krim, Pak."

"Jadi, sesuai keingainan dan waktu terbaik menurutku ... makarun ini kita tambahkan mulai minggu depan. Buka juga dengan diskon lima ribu untuk semua menu, kau paham?" Sang karyawan mengiyakan. "Sebarkan beberapa brosur, sekitar dua ratus lembar. Di brosur itu, akan kutambahkan makarun. Kemungkinan brosur jadi sekitar tiga hari lagi."

"Baik, Pak," jawabnya dengan senyum melengkung dan tubuhnya membungkuk kemudian. "Kalau sudah saya kembali turun, Pak."

"Ya, silakan. Terima kasih."

"Sudah tugas saya, Pak." Kemudian membungkuk sekali lagi sebelum benar-benar angkat kaki dari ruangan Leonathan. Menutup pintu ruangan sang bos rapat-rapat seperti semula.

Sedangkan Leonathan, ia menanyakan kondisi semua kafe, terutama kafe yang ada di Bali. Lelaki itu harus memantau, karena semakin banyak kafe yang ia punya, semakin besar pula tingkat kewaspadaannya supaya kafe atau kedai yang dirinya miliki stabil atau mungkin semakin pesat pemasukannya.

Baru membaca sebuah pesan, raut muka Leonathan sudah berubah. "Baru saja berharap maju, ada saja yang berniat menjatuhkan milikku." Tanpa buang-buang waktu, Leonathan bangkit dari kursi, menyambar kunci mobil dan memakai kacamata hitamnya. "Kesempatan bisa datang dua kali, tetapi hukuman tetap berjalan," bisiknya penuh penekanan ketika salah satu tangannya menyentuh gagang pintu, rahangnya terlihat mengeras.

Bukan tanpa alasan Leonatahan keluar ruangan dengan terburu-buru. Baru saja ia mendapati pesan bahwa ada yang berlaku curang di kafe miliknya, masih di daerah Semarang. Leonathan segera menaiki mobilnya dan pergi dengan menekan pedal gas, dan tetap fokus menerobos pengendara di sekitar mobil tumpangannya. "Jika aku masih sama seperti dulu, mungkin para pencari masalah akan hancur," katanya ketika mobilnya berhasil menyalip sebuah mobil di sisi kiri. Ya, semua orang memiliki sisi gelap, tapi tidak semua orang bisa mengeluarkannya atau mengendalikannya. Sampai detik ini Leonathan masih mencoba untuk tidak tersulut emosi, walau dulunya sering dilampiaskan terang-terangan.

Di dalam toilet toko bunga Mille, Brielle tidak bisa mengalihkan pikirannya dari semua yang keluar dari mulut Leonathan. Bukan cuma itu, setiap ia menatap mata biru lelaki tersebut, dirinya sulit menangkap kebohongan juga. "Tidak mungkin dia sungguh-sungguh mendekatiku, mungkin cuma menginginkan El saja," lirih Brielle yang tidak percaya diri, dan meragukan sikap juga perbuatan dadakan Leonathan tadi. "Mana mungkin, orang yang suka dikelilingi wanita, bisa fokus pada satu wanita? Selama tiga tahun pula dia mencariku?" Brielle menggelengkan kepalanya kuat. "Sangat-sangat mustahil."

Menjadi rutinitas dan kewajibannya, Brielle harus mengirim bunga-bunga langganan dari pembeli setia. "Aku titip El kalau dia bangun saat aku pergi," ucapnya sembari membawa keranjang bunga di tangan kanan dan kiri. Begitu sang kasir mengangguk patuh, barulah ia keluar toko.

Kegiatannya berjalan lancar, sampai akhirnya waktu terasa berjalan cepat, tak terasa pula langit sudah berubah warna. Kembali di toko bunga pun, dia harus dikejutkan dengan sebuah mobil yang tak asing lagi. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Leonathan?

"Kumohon, singkirkan tembok di hatimu ... demi anak kita jika aku tidak pantas di matamu, Elle..." ujar pria yang tengah berdiri di depan toko bunganya sambil menggandeng Elnathan yang tengan memegangi contong es krim dengan atasnya es krim rasa vanilla, tengah dijilati bocah menggemaskan itu.

"Ya," singkatnya sebelum masuk untuk mengambil tas dan berakhir pulang bersama Leonathan.

Masih sama seperti kejadian di siang hari tadi, sore ini Brielle tetap enggan membuka mulut untuk bersuara. Selama di perjalanan, hanya Leonathan yang berusaha mengisi kehampaan di dalam mobil, tentunya dibantu sang anak. Si kecil Elnathan terus bernyanyi, apa pun dinyanyikan sesuai lirik. Sedikit lega, karena sekali Brielle ikut bernyanyi, namun tidak dengan menatap si pengemudi. Seperti masih ada kemarahan, wanita itu tidak menolehkan kepala. Hingga akhirnya kendaraan darat roda empat Leonathan ini tiba di halaman rumah Brielle dengan selamat.

"Sampai kapan kau terus diam seperti ini?" tanya Leonathan ketika mereka sudah keluar dari mobil. Bahkan Leonathan memegang lengan kanan Brielle agar wanita itu melihat ke arahnya. "Sampai kapan kau terus menjaga jarak dariku?" tambahnya lagi dengan tangan lain mengelus rambut Elnathan, meski pandangannya tetap menjurus ke Brielle.

"Kalau bisa sampai kau merasa bosan dan menyerah," putus Brielle sembari menjauh, melangkah cepat untuk masuk ke rumahnya.

Tidak mau diam saja dan mengabulkan jawaban dari mulut Brielle, Leonathan kukuh pada niat baiknya. Ia turut melangkah di belakang Brielle. Wanita itu tak ingin meledak-ledak untuk sekarang, karena Elnathan masih dalam gendongannya dan sadar. Karena itulah, dia membiarkan Leonathan turut masuk ke kediamannya.

"Permisi," ucapnya yang tak ditanggapi Brielle. "Kau ingin bersih-bersih atau apa? Aku bisa menemani Elnathan," imbuh Leonathan lagi seraya mengisap-usap punggung bocah yang menoleh ke arahnya. Wajahnya kotor oleh cokelat karena meses dari donat yang dimakan. Tiba-tiba saja Elnathan mengangkat dua tangan ke arahnya. "Mau digendong?" bertanya kikuk sambil menunjuk wajahnya sendiri. "Mau?"

"Mau gendong, Om Ganteng!"

"Cuci tangan dulu," sahut sang ibu yang tak mengizinkan dan memilih angkat kaki dari ruang tamu, menuju kamarnya.

Tidak peduli dicap tak punya sopan santun atau kurang ajar dan lancang, Leonathan tetap mengayunkan kaki. Brielle yang sadar diikuti lantas menoleh cepat dan memberikan tatapan tajamnya. "Kenapa ikut?!"

"El ingin kugendong, kau tidak dengar itu?"

"Berhenti mengikuti kami, dan tunggu di luar saja! Di mana tata kramamu sebagai tamu?!"

"Di mana hatimu sebagai ibu?" tanya Leonathan tak mau kalah. Sudah cukup dia jauh dari anaknya, ingin sekali masuk ke dunia Brielle maupun Elnathan. Keduanya sama-sama berarti untuk Leonathan. "Jika kau tidak ingin dekat denganku, izinkan aku dekat dengan darah dagingku sendiri. Karena tanpaku, dia tidak akan ada di dunia ini."

Memalingkan muka, Brielle memilih kembali berjalan dan mengabaikan laki-laki yang keras kepala. Tak lagi mendapat perlawanan, Leonathan dengan senyum lebar membuntuti wanitanya. "Cepat atau lambat, kalian akan keluar dari rumah ini. Aku pastikan ucapanku ini terjadi, Elle." Leonathan mengatakannya sembari menyapukan pandangan ke seluruh ruangan kemudian melihat Elnathan yang diturunkan di kamar mandi.

"Jangan mengada-ada," balas Brielle sembari tertawa. "Aku tidak menyerah begitu saja, kau pikir kau bisa merayuku?! Tidak semudah yang kau pikirkan."

"Kita buktikan saja, benar aku atau dirimu yang sejatinya adalah jodohku."

"Mimpi." Sahut Brielle sambil geleng-geleng kepala, merasa geli dengan semua penuturan Leonathan.

Look at Me, ElleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang