Tamparan Kedua

58 3 0
                                    

Naomi yang tadinya duduk pun turun dari kasur bersama muka marah, kesal, kaget, sekaligus kecewa teramat sangat pada pria yang berani-beraninya meremas dagunya. "Memangnya apa yang kau lakukan?" tanya Leonardo kemudian dengan gampangnya dan ia pun berdiri. Dua tangannya berada di pinggang. "Kau mengesampingkan perasaanmu?"

Sesudah itu tawa Leonardo menggelegar seakan-akan menertawai kebohongan Naomi, karena setahunya Naomi yang meracuni pikiran Brielle untuk putus darinya. "Kau tidak salah bilang begitu? Jangan akting!"

Mendengar itu, Naomi benar-benar terkejut, bahkan ia ingin sekali mengunci bibir Leonardo dengan tangannya sendiri. "Aku tidak akting! Tidak ada gunanya untukku! Aku sendiri rugi, Nard!"

"Jangan pura-pura berlaku baik di depanku dan seolah-olah Brielle orang terburuk di mataku, Naomi."

"Apapun aku lakukan demi kalian bisa bersama! Tapi kau malah menyalahkanku?!" Naomi menertawakan dirinya sendiri yang begitu bodoh telah merelakan perasaannya demi laki-laki yang tak tahu apa-apa ini. Sungguh, Leonardo benar-benar buta perasaan. "Wanita mana yang rela melihat pasangannya bahagia dengan sahabatnya sendiri?! TIDAK ADA!" teriaknya histeris sampai mendorong Leonardo semampu tangannya.

"Cuma aku!" semburnya tepat di hadapan Leonardo, bahkan ia sedikit menengadah supaya bisa menantang pria itu. "Cuma aku yang bisa melihat orang yang aku cinta bersanding dengan sahabat baikku! Aku melakukannya untukmu dan Brielle!" Naomi yang sudah menangis itu berusaha menghapus air matanya, sembarangan dan secara kasar. "Kau yang tidak bisa melihat perasaanku untukmu, Nard!" tambahnya.

"Aktingmu sangat hebat."

PLAK!

Satu tamparan keras sekali lagi menghantam pipi kiri Leonardo. "Kau seharusnya mendapatkan ini dari awal kau menuduhku," ujar Naomi yang masih berani mendongak dan menatap Leonardo dengan tatapan nyalang. Begitu tajam dan sangat terbuka lebar kelopak mata itu mengarah pada pria yang menatap Naomi dengan terkejut. "Baru kali ini aku berani mengotori tanganku, agar kau sadar."

Naomi membiarkan air matanya turun, dan merasa tak kuat lagi memandang Leonardo. Hatinya cukup sakit menerima ucapan demi ucapan yang keluar dari mulut orang tersayangnya. Leonardo seketika menarik tangan Naomi yang ingin beranjak dan melewati tubuhnya. "Aku belum selesai," bisik pria itu yang seperti belum percaya dengan semua yang dilontarkan mantan kekasihnya.

"Aku bukan perempuan yang menjelek-jelekkan mantanku setelah putus," sahut Naomi setelah menghempaskan pegangan Leonardo. "Bahkan sampai detik ini pun, aku masih memiliki perasaan terhadapku. Kau tahu? Meskipun kau menuduhku, dan membela Brielle mati-matian, aku masih mencintaimu. Aku memang manusia terbodoh."

"Kau mencintaiku?" tanya Leonardo sembari tertawa-tawa.

"Terserah kau mau percaya atau tidak! Aku tidak peduli! Yang jelas, berhenti mengatakan bahwa aku ini berakting, aku tidak sepandai itu." Naomi memilih keluar kamar dan membiarkan Leonardo menetap di kamarnya. Ia butuh hiburan, sepertinya malam ini sangat cocok dihabiskan dengan berjalan-jalan di Malioboro.

Sembari mengayunkan kaki, Naomi jadi kepikiran Brielle dan Leonathan. "Mungkinkah kalian akan bersatu?" tanyannya di dalam hati. Kalau boleh berharap, ia sangat ingin kedua manusia itu saling berkomunikasi dan menyatakan semua perasaannya satu sama lain. "Kalau kalian bersama, aku pasti ikut merasa bahagia. Kalau memang Leonardo bukan pilihan hatimu, kau harus jujur dengan Leonathan bahwa kau memiliki rasa pada pria itu, Elle." Naomi terus berjalan sendirian sampai akhirnya ia berada di tengah keramaian yang benar-benar padat akan lautan manusia. Bibirnya tersenyum singkat. "Akhirnya aku keluar setelah dikurung mantan kurang ajar."

Sedangkan Leonardo memilih duduk di ranjang Naomi dengan tangan mengacak-acak rambutnya serta berteriak kencang lantaran pikirannya mulai pusing. Di satu sisi ia ingin percaya bahwa Naomi bkanlah perempuan yang licik dan jahat, namun ia masih tidak percaya kalau Naomi tidak menghasut Brielle. "Cara apalagi yang harus kupakai agar kau mau jujur, Naomi?"

Di kediaman Leonathan, pria itu berada di atas balkon dengan tidak tenang, segelas kopi menemaninya. Pikirannya masih terpaku pada Brielle, wanita yang selalu membuatnya berdebar-debar ketika menatap mata gelap cokelat tua. Melalui sorotan itu Leonathan bisa tahu bahwa sepasang mata Brielle memancarkan kehangatan meski tatapannya begitu tajam pada dirinya.

"Cara keras bukanlah solusi untuk mengambil kalian dan mengurung kalian bersamaku. Lantas, apa yang harus kulakukan lagi untuk merebut hatimu, Elle?" Otaknya seperti tidak dapat menemukan jalan keluar. Karena cara ampuh yang harus dilakukan untuk menarik Brielle hanyalah dengan mendekati wanita itu. "Tetapi jika kau tidak mengizinkanku bicara, aku harus melakukan apa?" Otaknya kembali dipaksa berputar, memikirkan rencana selain mengajak wanita itu bicara.

Sekilas wajah putranya, Elnathan, melintas hanya sekelebat dengan senyum lebar. Leonathan mendekatkan gelas di tangannya ke bibir dan merasakan nikmatnya minuman berwarna hitam itu. "Melalui anak kita?" gumamnya sesudah menyesap kopi Espresso. "Sepertinya aku harus berani menjemputnya setelah pulang sekolah," lirih Leonathan diiringi senyuman tipis. "Akan kulihat ekspresi marah menggemaskan dari wajah manismu, Elle. Aku tidak sabar hari itu tiba."

Leonathan menaruh segelas kopi hitamnya dan mencari aplikasi catatan. Di dalam sana ia sudah menulis jadwal Elnathan pergi ke PAUD yang ia ketahui alamatnya. Tinggal menunggu hari itu datang, ia akan memulai rencana yang lewat di kepala secara mendadak, itupun berkat bayangan Elnathan yang membuat hatinya merasa tenang. "Selain kopi, kaulah yang menjadi alasan terkuat untukku merasa tenang, El. Papa beryukur memiliki anak sepertimu."

Di saat sedang asyik-asyiknya menonton video tiga menit yang menampilkan Brielle menggendong Elnathan di dalam toko bunga, panggilan masuk dari sang adik mengganggu kegiatannya itu. Dengan santai ia menyapa Leonardo dan menanyakan kabar dari adiknya itu yang dibalas seperti biasa, baik-baik saja. "Lalu, apa tujuanmu meneleponku? Ada yang ingin kau diskusikan bersamaku?"

"Apa kau percaya masih ada perempuan yang rela mengorbankan perasaannya sendiri demi melihat sahabat dan kekasihnya bahagia?"

"Apa ini? Pertanyaan macam apa ini?" tanya Leonathan yang tak lagi bersandar pada tembok, dan lebih memasang telinganya dengan baik-baik.

"Jawab saja, Nath."

"Tunggu dulu, kau jangan terburu-buru. Ini soal kisah cintamu dengan mantan tunanganmu atau apa?"

"Naomi memutuskan hubungan kami karena dia tahu aku pernah tertarik dengan temannya. Apakah itu masuk akal?" jelasnya singkat, dan membuaat Leonathan memikirkan pertanyaan dari adiknya yang sebelumnya. "Masih adakah perempuan yang semacam itu di dunia yang kejam ini, Nath?" Leonardo bertanya sambil tertawa. "Bukankah itu akting saja?! Aku tidak bisa memercayai penjelasan Naomi padaku yang terdengar sangat tidak mungkin."

"Bisa saja jika dia tidak ingin melihatmu sedih."

"Hei, Nath! Ayolah! Kau bahkan percaya?!"

"Aku tidak tahu. Kau sendiri yang lama mengenal mantan kekasihmu itu. Kau pasti tahu betul bagaimana sifat baik dan buruknya, bukankah kau sudah lama menjalin hubungan bersama Naomi? Kau pasti mengenalnya dengan sangat baik." Leonathan menghela napas cukup panjang. "Kurasa kau tengah bimbang, tetapi apa pun itu masalahmu ... gunakan logika dan perasaanmu semaksimal mungkin."

"Kau berhasil membuatku semakin bimbang." Leonathan tertawa begitu saja dan membuat sang adik mematikan panggilan tanpa pamitan.

Look at Me, ElleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang