Pengamat Cinta 2

48 1 0
                                    

TOK! TOK!

Suara ketukan yang terdengar begitu kencang itu tak terllau mengagetkan seseorang yang tengah mengamati foto seoarng wanita sembari menggendong bocah laki-laki dengan tangan kirinya. Leonathan menengok ke arah pintu sambil menyuruh si pengetuk untuk masuk. Begitu mendapat izin, ia buru-buru menutup pintu dan mendekat ke arah meja sang bos yang sedang istirahat siang di ruangannya.

"Sudah selesai, ini, Pak."

"Ini hari terakhir, apakah kalian masih belum bisa mendapatkan alamatnya?" Karyawan itu dengan ragu menggelengkan kepala. "Baiklah, aku tetap harus berterima kasih walaupun tidak kudapatkan informasi penting itu. Kau bisa kembali bekerja."

Lima hari yang lalu di dalam toko es krim Leonathan Handoko usai peristiwa penolakan wanitanya, Leonathan memanggil seluruh karyawannya yang berjumlah empat orang, yakni dua laki-laki dan dua perempuan. Karena membuka kedai dari pagi sampai malam hari, total pegawai yang ada di kedai tersebut ada delapan orang. Yang kebagian di shift pagi maupun sore sama, dua laki-laki dan dua perempuan. Kini Leonathan berdiri di hadapan empat karyawannya. "Rapat kali ini saya tidak akan membahas kinerja kalian. Saya melihat kemajuan yang baik jika diteliti dari awal kalian bekerja hingga berada di pagi ini. Masih semangat untuk bekerja di sini?"

"Semangat!" teriak salah satu karyawan laki-laki yang terkenal tak pernah kendor semangatnya meski kedai es krim Leonathan dilanda puluhan pembeli.

"Yang lain?"

"SEMANGAT!" teriak semuanya serempak, bahkan yang sudah menjawab di awal pun ikut memekik penuh gairah kerja.

Sang bos memberikan dua jempol dan tepuk tangan yang disahut seluruh pegawainya dengan senyum mengembang. Leonathan berdeham sebelum mengeluarkan rencananya. "Ada satu yang saya pesan," ujar Leonathan yang membuat semua kembali terdiam dan menatapnya intens. "Setiap pagi, saya tidak akan membeli bunga di toko bunga mille." Semua yang memperhatikan dan mendengarkan pun menggerakkan kepala, tanda paham. "Oleh sebab itu, mulai hari ini hingga lima hari ke depan, salah satu dari kalian wajib membeli bunga aster dengan membawa kamera kecil.

Salah satu pegawai perempuan yang biasanya menata bunga lantas mengangkat tangan dan diangguki Leonathan, mempersilakannya untuk mengajukan pertanyaan. "Kamera kecil? Gunanya untuk apa, Pak Nath?"

"Mengawasi salah satu pegawai di sana." Sontak saja semua saling bertatap-tatapan dengan alis hampir menyatu. "Ada salah satu wanita di sana yang memiliki seorang anak balita. Anak itu adalah darah dagingku," tambahnya yang membuat mereka semua semakin tercengang dengan pernyataan Leonathan. "Tugas kalian wajib mencari tahu informasi apa pun mengenai Brielle, ibu dari anak saya dan Elnathan, darah daging saya." Semuanya mengangguk dan kembali menatap Leonathan serius.

"Saya ingin bertanya, Pak."

"Ya, silakan."

"Setiap kami yang ditugaskan ke toko bunga tersebut harus membeli bunga dengan tetap memakai seragam kerja atau diharuskan berpakaian seperti pembeli pada umumnya? Kalau saya ingat, anak Bapak pernah membeli es krim di kedai Bapak ini beberapa kali."

"Dia sudah kerap beli?"

Karyawan itu mengangguk. "Kalau saya tidak salah, ketika Bapak menggendongnya kemarin, itu adalah ketiga kalinya dia datang bersama tantenya, Naomi. Akan bahaya kalau mereka mengnali kami, Pak."

"Kau kenal orang itu?" Beberapa karyawan bahkan menggerakkan kepala, naik-turun. Leonathan semakin yakin bahwa dan Brielle memang ditakdirkan untuk bersama, terutama banyak kejadian yang kian mendorongnya dengan wanita itu intens bertemu. Dengan begitu, Leonathan benar-benar akan melakukan yang terbaik mengenai hubungannya bersama Brielle dan Elnathan. "Mengenai pertanyaan tadi, saya tidak mengharuskan kalian memakai pakaian biasa ataupun seragam. Yang terpenting adalah informasi yang masuk dari kalian. Satu lagi, jika bisa mendapatkan alamat mereka, bonus kalian akan saya transfer minggu ini." Seluruh pegawainya mengiyakan dan tampak dari ekspresi mereka begitu semangat. "Selamat pagi dan semangat bekerja!"

"Selamat pagi, Pak Nath!" seru keempat-empatnya kemudian menerima tos dari sang pemilik kedai es krim dan wafel ini. Leonathan segera membubarkan rapat dengan doa menurut keyakinan mereka masing-masing. Sesudah itu toko pun dibuka dan salah satu dari mereka mulai melancarkan aksinya untuk ke sarang sasaran.

Di ruangannya, ia memeriksa kamera kecil yang telah dia terima dan hasilnya selalu membuatnya terkejut karena Naomi selalu tidak ada di toko bunga itu. Namun, ia merasa bersyukur karena dengan begitu ia bisa melancarkan rencana terakhir yaitu memantau Brielle setelah tutup toko. Hari ini dirinyalah yang harus terjun langsung membuntutinya, karena beberapa hari lalu dia sudah sangat sibuk bekerja dan akhirnya hari ini tiba. Di mana ia harus mendapatkan alamat rumah Brielle.

Pulang kerja, tepatnya di saat jam sudah menunjukkan pukul lima sore kurang sepuluh menit, Leonathan harus bersiap di dekat toko bunga Mille, yang faktanya adalah Brielle memiliki hak setengah dalam toko itu. Leonathan sendiri baru tahu kalau Brielle bukanlah bawahan Naomi, melainkan mereka berdua bekerja sama membangun toko tersebut. Berkat para pegawainya yang selalu menyamar menjadi pembeli, ia bisa menerima beberapa informasi termasuk di mana anaknya bersekolah.

"Itu dia!" pekiknya setelah dilihatnya Brielle keluar menggandeng Elnathan. Ia pun mulai menyalakan mesin mobil. Tak lama, sebuah mobil datang dan berhenti di halaman toko bunga yang sudah tutup itu. "Aku tidak sabar bertemu kalian, datanglah ke pelukan Papa, El!" senyum begitu lebar terbentuk di wajah Leonathan yang selama ini memendam kesedihan.

Mobil miliknya pun terus berjalan, cukup menjaga jarak dari mobil putih di depannya yang tiga meter selisihnya. Hingga waktu yang terasa singkat mengantarnya ke sebuah rumah sederhana namun tampak indah dan cukup bagus bagi Leonathan. Keduanya turun dari mobil yang mengantar tepat di depan rumah itu. Leonathan pun segera turun dari mobil kala Brielle mulai masuk ke terasnya. "Sepertinya Naomi memang tidak ada di rumah," gumamnya yang semakin dekat dan berlari kecil dengan hati-hati.

Di tangan kanannya ia tak lupa membawa tas khusus yang mampu menyimpan es krim untuk buah hatinya. Dengan cepat, ia sudah berdiri di belakang Brielle yang masih berusaha membuka pintu rumah. "Hai," sapanya pada ibu dan anak yang berdiri bersebelahan dan sontak menoleh ke arahnya.

"Om Ganteng!" selain berseru, Elnathan langsung melepas tangan mamanya dan beralih memeluk kaki Leonathan. Bocah itu tersenyum sambil mengeratkan pelukannya. "Aku kangen Om Ganteng," tambahnya yang membuat Brielle menarik lagi tangannya saat ingin memisahkan Elnathan dengan Leonathan.

Leonathan yang mengelus punggung dan rambut anaknya itu lantas menahan air matanya yang memaksa ingin keluar. Berusaha mengalihkan kesedihannya, ia tersenyum. "Aku punya hadiah untuk El," katanya seraya berusaha melepaskan pelukan Elnathan dan berjongkok.

"Apa Om?"

"Ini," tunjuknya pada tas hitam yang ia bawa, lalu membuka tas itu dan memperlihatkan isinya tepat di depan muka Elnathan.

"Es krim?!" Leonathan tertawa pelan dan mengangguk. "Boleh Mama?" tanyanya refleks dan menatap sang ibu yang berada di belakangnya.

"Semua buat Elnathan," sela Leonathan memberitahu dan memberikan tas itu pada anaknya yang isinya lebih dari lima es krim.

"El masuk dulu, cuci kaki sama cuci tangan, ya ... nanti Mama masuk."

"Es krim?" tanya bocah itu lagi yang tampak sekali memohon pada Brielle agar wanita itu mengizinkannya untuk menerima itu.

"Masuk dulu, Sayang. Nanti Mama yang bawakan es krim itu ke El." Elnathan pun berusaha menahan diri untuk tidak mengambil salah satu es krim karena perintah sang mama. "El harus belajar cuci tangan sendiri," tambahnya saat bocah itu ingin melangkah masuk.

"Bisakah kita membicarakan semuanya di dalam?" tawar Leonathan yang seketika mendapat delikan dari Brielle. "Kali ini saja, izinkan aku menjelaskan perbuatanku dulu, Elle."

Look at Me, ElleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang