Part 2

271 40 2
                                    


HAFSAH POV

Aku hanya muslimah biasa yang berusaha meyakini seluruh ajaran agamaku. Meyakini ke-Esaan Tuhanku. Bersaksi jika tiada Tuhan selain Allah, dan Baginda Muhammad adalah rasul-Nya.  Aku bukanlah si ahli ibadah yang tak pernah luput waktu salat. Aku pun pernah terlambat salat. Pernah juga waktunya terlewat. Namun, aku terus berusaha untuk lebih tepat, menjalankan salat agar terhindar dari maksiat.

Kenapa salat? Kenapa harus menjaga salat? Karena, aku pernah dengar, salat adalah tiang agama, sobat. Ya, salat adalah penjaga kita dari segala jenis maksiat. Ketika aku mengucap hal itu, banyak yang bertanya, apakah benar sehebat itu salat? Kenapa mereka tetap bermaksiat padahal mereka juga salat?

Coba tilik lagi. Sudah benarkah salatnya? Bagaimana niatnya? Bagaimana cara bersucinya? Bagaimana khusyuknya? Pasti ada yang salah jika orang yang salat tetapi tetap maksiat. Tilik dulu, cermati dulu sobat. Jangan salahkan salatnya, salahkan tabiatnya, jadilah lebih cermat agar tak salah tangkap dan sesat.

Ibarat kita sakit, kita minum obat.  Namun, semua sudah terlambat. Penyakit kita sudah terlanjur membuat kita sekarat. Dan obat tak lagi mampu membuat sehat. Lalu apa itu salah si obat? Coba pikir lagi, dulu, sebelum sampai di fase sekarat, ketika masih merasa kuat, apa kita ingat? Pernahkah kita memeriksakan kondisi tubuh saat sehat? Apakah kita benar-benar menjalani gaya hidup sehat? Menganut pedoman kesehatan dengan taat? Jika tidak, dan pada akhirnya perlahan, tumpukan penyakit melekat. Kemudian kita sekarat. Apakah itu salah obat?

Sama halnya dengan salat. Jika dalam Al Qur’an jelas dikatakan salat mencegah maksiat. Maka ketika kita sudah salat tetapi masih jahat. Ketika kita sudah salat tetapi masih maksiat. Ada yang salah dengan diri kita, sobat. Yang salah bukan salatnya, tetapi kitalah yang terlaknat.

Kebanyakan orang bilang, sudahlah, neraka dan surga itu belum tentu ada. Kenapa kita harus repot bergelut dengan aturan syariat di dunia. Membuat kehidupan terbatasi dengan aturan kunonya. Pacaran tak boleh. Berduaan lawan jenis tak boleh. Jika melanggar, langsung dicap tak soleh. Padahal, itu nikmat dunia, kata mereka yang pernah merasakannya. Dan, aku hanya bisa tertawa getir.

Mereka mencaciku, mengataiku sok suci. Mereka menghinaku, mengataiku haus puji. Mereka menertawakanku, mengatauiku tak tahu diri. Apa kalian juga pernah merasa berada di posisiku? Hanya karena menjaga syariat, orang-orang mengataiku laknat.

^^^

“Hei, Bu Haji! Cepetan. Mana laporan hari ini?”

Aku menoleh ke arah wanita setinggi seratus lima puluh senti dengan rambut dikuncir tak berponi. Matanya tajam melihat padaku, namanya Surti. Dia yang menjadi kepala di bagian dimana aku ditempatkan, sebulan ini.

“Ini, Bu, laporannya. Masih kurang dua karung lagi.”

“Bisa kerja nggak sih, gitu doang lama banget. Awas aja ya, jangan sampai ada yang kurang! Laporanmu kemarin salah! Bisa-bisanya hasil akhir kurang tiga pasang. Gimana saya mau laporan sama kepala produksi kalau kayak gini?”

Hari ini, Senin, waktuku berpuasa sunnah memang, tetapi jika sudah begini, rasa kering ditenggorokanku semakin menjadi. Beginilah adanya. Aku sudah menghitung berkali-kali, tetapi tetap saja luput. Jujur, aku tak sebaik itu.

Maksudku, aku pun suudzon pada mereka, yang bertugas di bagian buffing yang akan memoles outsole-outsole itu sebelum diberi inner atau bagian dalam lapisan sol sepatu. Yang aku dengar, mereka sering sekali melakukan kesalahan ketika melakukan pemolesan dengan mesin beramplas besar yang mereka gunakan.

Banyak barang yang robek atau berlubang terkena gores mesin amplas. Dan kalau sudah begitu, aku yang dikambing hitamkan. Playing victim? No, I don’t.

99 Nama-Mu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang