Part 25

166 33 2
                                    

Hafsah membuka matanya, tubuhnya seperti habis dikeroyok masa. Ia mendengar Rara melantunkan tilawah merdu untuknya tanpa henti. Sejak kemarin, ia mendengarnya meski matanya masih belum bisa terbuka lebar.

"Nduk?"

Wajah sang ibu terlihat sendu, di sisi lain sang ayah yang tak kalah sedihnya.

"Bu, Pak. Aca nggak apa-apa kok," lirih Hafsah tak mau membuat orang tuanya gelisah.

"Alhamdulillah."

"Mbak, untung kemarin Mas Ahkam bisa narik Mbak loh. Ya Allah. Kalau telat sedikit aja ...." Hasan tak kuasa meneruskan ceritanya karena rasa ngeri yang terlalu.

"Calon suamimu juga luka. Ya Allah, memang jodoh. Tadi calon mertuamu ke sini, sama ustadz-ustadz dan perangkat Al Mumtaz. Nengokin kamu."

Tak lama seorang pria yang berjalan pincang masuk ke ruangan. Ahkam, si pemilik gigi gingsul itu ikut terluka.

"Mas? Kenapa kakinya?" tanya Hafsah.

"Nggak apa-apa," jawab pemuda itu.

"Kena paku Mbak. Pas nolongin Mbak, Mas Ahkam nginjek paku. Ketiban kayu juga. Pas sampai rumah sakit baru sadar kalau kakinya berdarah-darah. Saking paniknya bawa Mbak sampai nggak peduli sama dirinya sendiri."

"San, nggak usah lebay," kekeh Ahkam sembari menepuk bahu adik Hafsah itu.

Ada gejolak di hati Hafsah. Sosok Ahkam begitu peduli padanya. Tak sekali saja ia menjadi penolong dirinya. Dulu, ketika pertama kali bertemu, Ahkam membantunya agar tak jatuh dari bis kota.

Dipertemuan kedua, Ahkam menolongnya dengan menyelamatkan dari para preman yang siap melecehkannya. Setelah itu, dia membeberkan bukti tentang kebenaran cerita atas fitnah yang menyerang Hafsah.

Ahkam juga meyakinkan ibu Hafsah jika putrinya tak bersalah dan membuat hubungan ibu dan anak itu kembali baik. Kali ini, Ahkam pula yang menjadi perantara menyelamatkan nyawanya.

"Ya Allah, diakah jawaban setiap doaku? Berikanlah yang terbaik untuk kami Ya Allah. Ijinkan aku memantaskan diri, menambah ilmu, dan memperbaiki akhlakku, agar aku bisa menjadi pendamping terbaik untuknya."

Ahkam sedikit mencuri pandang pada Hafsah, sembari bercengkrama dengan keluarga sang gadis.

"Yaa Allah, kenapa begitu menarik sosok akhwat di depanku ini," batin Ahkam.

****

Kondisi Hafsah masih begitu lemah. Ia diijinkan untuk menjalani perawatan di rumah sakit meski tetap harus setor hapalan lewat telepon dengan Bu Nyai, yang tidak lain adalah ibu dari Zunaira.

Beberapa rekannya silih berganti menjenguk. Aisya, teman sekamarnya, menjenguk bersama sang suami. Zunaira tak sekali dua kali datang. Dan kini giliran Cindy yang datang bersama beberapa rekan kantornya dulu.

"Mbak Aca, gimana kabarnya?"

"Alhamduliah baik, kok malah repot-repot, rombongan ke sini," ucap Hafsah.

Gadis itu sangat senang, mantan rekan kantornya perhatian dengannya. Ia tak peduli betapa dulu mereka menggunjingnya dan terkadang memperlakukannya tak baik.

"Kami mau minta maaf, Mbak. Dulu kami termakan berita tak benar. Kami sadar kami salah. Padahal Mbak Hafsah nggak pernah berbuat buruk pada kami."

Hafsah tersenyum. "Nggak apa-apa, saya yang berterima kasih malah temen-temen semua repot jauh-jauh ke sini. Oh iya, memangnya kantor libur?"

"Libur berkabung lima hari. Kami tadi habis melayat. Mampir ke sini."

"Melayat? Siapa yang meninggal."

99 Nama-Mu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang