Part 23

145 31 4
                                    

Azan subuh berkumandang, Hafsah sudah bersiap di musala, mendengarkan adiknya Hasan mengumandangkan panggilan salat. Sejujurnya, ia diam-diam menyelinap selepas tahajud tadi.

Secarik surat telah ia tuliskan sebagai balasan. Sejujurnya Hafsah menunggu sosok yang akan mengambil balasan suratnya. Hingga iqamah terdengar, baru muncul tiga orang yang semalam datang.

Ada kelegaan di hati Hafsah. Di sampingnya sang nenek dan sosok cantik yang selalu menemaninya menjadi makmum wanita.

"Hey, konsentrasi dulu, fokus. Jangan mikirin ayank," bisik Rara.

Hafsah melotot takut jika sang nenek mendengar.

"Cie ... Jamaah sama ayank. Sayang, belum bisa ngimamin ya? Belum sah, belum boleh."

Hafsah tersenyum tipis, setelah takbiratul ikhram terdengar diucap kakeknya, gadis itu melepas dunianya. Ia fokus pada sujudnya, menghadap Sang Pencipta.

Jamaah subuh pagi itu, seperti biasanya dilanjutkan acara tahlil dan wiridan oleh jamaah pria, sedang Hafsah serta neneknya pulang.

Hari itu, Hafsah akan mulai mondok di pesantren milik kemenakan sang kakek, Darussalaam. Pesantren yang disebutkan Rara.

"Ca, kamu ngapain lewat situ?"

"A-anu, Mbah. Sendal Aca di situ Mbah. Tadi lewat sana sama Hasan." Aca beralasan.

Ia padahal ingin memastikan jika suratnya sudah diambil oleh sasarannya. Dari salah satu pria bersarung dan berpeci hitam di sana lirikan terlihat penuh makna meski diam-diam.

Debar jantung tak terkira saat sang pemuda mengingat jawaban apa yang sekiranya ia dapatkan. Ketika rangkaian acara pagi itu selesai, Ahkam segera mengajak bala tentaranya kembali ke pondok.

Sembari berjalan pulang, rasa gejolak ingin tahu semakin tak tertahankan. Akhirnya ia buka surat balasan itu. Tulisannya begitu rapi.

"Teruntuk Akhi yang semoga selalu diberkahi oleh Allah. Assalamualaikum, sebelumnya saya sampaikan banyak terima kasih atas surat yang ditujukan pada saya. Kedua, untuk masalah yang telah lalu, saya sudah tidak lagi mempermasalahkan hal itu. Qadarullah, semua memang begitu suratannya. Tak perlu diingat-ingat lagi, kita tutup saja kisah kelam itu. Ketiga, terima kasih sudah jujur atas perasaan dan keinginannya untuk meminang saya. Saya sangat tersanjung. Saya sadar jika saya jauh dari kata sempurna, tetapi Akhi seolah menganggap saya istimewa."

Pria itu tersenyum. "Kamu memang istimewa," gumamnya sebelum melanjutkan membacanya.

"Untuk poin terakhir, saya tidak bisa memberi keputusan. Orang tua saya yang berhak atas saya. Jadi, alangkah lebih baiknya silakan temui orang tua saya. Apapun keputusan mereka, itulah jawaban saya. Sekian dari saya, mohon maaf jika ada salah kata. Wassalamualaikum. Sincerly, Hafsah Ruqayya."

Kekeh terdengar pelan. "Kaku banget sih, Ukhti." Ada kelegaan di hatinya mendapati jawaban dari sang pujaan hati.

"Mas! Mas! Awas!" teriak salah seorang santri.

Ahkam dan rekannya yang telat menyadari adanya lubang di depan mereka kini harus rela tercebur parit. Surat cinta yang sedari tadi digenggamnya harus berubah warna menjadi coklat.

"Astagfirullah, Mas. Kalian ngapain? Mas Ahkam, Mas Zayn, pagi-pagi berkubang!" ejek Aban.

"Ada Gusnya kecebur got malah diketawain, dasar santri durhaka, sini kamu," kesal Ahkam sembari menarik tangan Aban sehingga ketiganya masuk ke got berisi air kotor bercampur lumpur.

"Nasib-nasib. Tri mas getir."

******

Darussalaam, sebuah pesantren dengan luas tiga hektar di kawasan kaki gunung Merapi itu akhirnya benar-benar didatangi oleh Hafsah.

99 Nama-Mu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang