Part 9

154 35 1
                                    

"Jangan banyak ngelantur, sana pulang. Aca tanggung jawabku. Kamu pulang jagain mama, atau kamu pulang ke rumah papa."

Ray menyugar rambutnya.

"Aku pulang ke rumah papa, aku nggak bisa ngobrol sama mama. Jenuh kalau di rumah mama."

Hafsah menatap aneh pada Ray. Pemuda itu kemudian pergi tanpa mengatakan hal-hal aneh lagi pada Hafsah.

Deheman Ricky membuat Hafsah terkejut. Ia menoleh sekejap lalu menunduk. Ricky tersenyum.

"Kenapa bisa seorang Hafsah menatap laki-laki di matanya, berulang kali, dengan durasi yang lama. Bahkan nada suaranya pun meninggi. Apa boleh aku curiga kalau ada sesuatu yang mendasari hal ini?"

"Maksud bapak?"

Ricky terkekeh, pria itu kemudian melipat tangan di dada.

"Kamu tertarik sama Raymond?"

Hafsah menggeleng cepat. "Saya kesal sama adik bapak. Bukan tertarik," jujurnya.

Gadis itu menggumamkan istigfar. Ricky seketika menjadi tertarik dengan alasan Hafsah berbicara seperti tadi.

"Maksudnya?"

"Bapak nggkak tau sih gimana nyebelinnya dia. Pertama, dia itu marah sama saya tadi karena nggak cerita soal kondisi nyonya. Kedua, dia nuduh aku suka sama Pak Ricky.  Ketiga, dia cerita sama orang kantor kalau kami habis makan siang dan pas pulang dari kafe dia main pegang, Pak. Gimana saya nggak kesel. Seumur-umur belum pernah ada yang ngerangkul saya selain ayah saya."

Ekspresi kesal Hafsah membuat Ricky tertawa. Baru kali ini, dia melihat Hafsah seperti itu.

"Kenapa bapak malah ketawa?" dengkus Hafsah.

"Sepertinya adikku benar-benar spesial, ya?"

Hafsah menggeleng. "Nggak Pak, sama sekali tidak spesial."

Ricky justru meledek gadis itu, membuat Hafsah semakin bersungut-sungut.

"Pak Ricky ih! Sama nyebelinnya. Oh iya Pak, pertanggal 21 saya mengundurkan diri, ya?"

Tawa Ricky seketika hilang.

"Resign?"

Hafsah mengangguk. "Iya, saya selesaikan tugas saya dan saya pamit."

"Gajimu kurang tinggi?"

Hafsah menggeleng. "Bukan karena itu, Pak. Tapi ... Saya ... Mental saya yang nggak kuat, Pak."

"Aca, kamu jangan bercanda."

"Saya serius, Pak. Setelah laporan akhir bulan selesai, saya resign ya. Demi kewarasan saya."

Gadis itu menahan diri agar tidak menangis. Ia tumbang. Ya, Hafsah Ruqayya tak lagi kuat menahan fitnah yang berdatangan bak topan yang meluluh lantakkan harga diri dan nama baiknya.

"Bagaimana saya bisa memberikan kinerja terbaik saya jika ... Jika hati saya saja tidak lapang ... Pikiran saya tidak tenang ... Dan jiwa saya terus terguncang."

Kali ini bulir bening itu meleleh. Ricky seolah melihat bayangan ibunya di sana, di dalam sosok Hafsah.

Memori masa kecilnya kembali menyeruak. Ketika sang ibu menangis, mengutarakan isi hatinya sebelum memilih pergi meninggalkan ayahnya. Ricky menghela napas.

"Kamu udah punya tempat kerja baru?"

Hafsah menggeleng. "Saya mau pulang kampung, Pak. Insyaallah nanti ada jalannya."

"Kalau saya minta kamu jangan pergi, apa kamu mau bertahan?"

Gadis itu menarik selimutnya. "Memangnya kenapa, Pak? Bapak kan gampang cari gantinya. Bapak tinggal seleksi aja karyawan yang ada. Atau bapak bisa rekrut Ifah."

99 Nama-Mu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang