Part 4

184 35 5
                                    

Suara bising mesin bersahutan, ada yang berdentum, ada yang bergesekan, ada yang nai turun statis, dan lain sebagainya, menandakan jika produksi tengah berjalan. Gadis yang tengah mengerjakan tugas utamanya, mengecek sol, serius sekali menghitung satu persatu benda berwarna hitam di tangannya. Kanan dan kiri di cek sudah sesuai belum, dipasangkan menurut ukurannya, agar tidak salah. 36 akan berpasangan dengan 36, 39 dengan 39, 40 dengan 40, semua harus sama persis. Warnanyapun tak boleh berbeda. Kadang, jika mata tak jeli, bisa saja warna hitam dan biru navy tercampur.

Hafsah berusaha seteliti mungkin mengerjakan tugasnya. Tanpa sadar, empat pasang mata tengah mengamatinya dari kejauhan.

“Pa, itu anaknya. Kapan lagi papa punya karyawan berlatar belakang akademik bagus? Dia bisa ngerjain ini semua. Dua hari selesai, padahal, anak accounting aja maju mundur ngerjainnya. Masih mikir nanya, ada duit tambahan nggak buat ngerjain ini karena bukan murni bagian mereka. Nah, Hafsah ngerjain ini Cuma-Cuma. Dia altruis, Pa.”

Pria yang lebih tua mengernyitkan dahi. Ia membenahi kacamatanya.

“Kenapa sih? Udah bosen sama Audrey?”

Ricky menatap sang ayah. “Kenapa bawa-bawa Audrey?”

Rio, pria itu tertawa, mendengar ucapan sang putra. “Papa kira kamu ngincer anak itu, bosen sama Audrey.”

“Pa, yang bener aja. Dia sama Audrey itu bumi dan langit. Dan ... honestly aku takut sama dia, Pa. Kesannya untouchable, auranya beda sama cewek kebanyakan. Tapi, aku menghargai dia. Kinerjanya tetap bagus meski dia menganut paham agama kuno.”

“Ricky, jangan gitu. Papa nggak suka kalau kamu mulai bawa-bawa SARA. Inget, toleransi itu nomor satu. Ya udahlah kalau kamu merasa dia pantas buat naik jadi staf ya silakan. Tapi, papa saranin jangan terlalu cepat narik dia. Nanti bahaya buat dia.”

“Pa, bahaya gimana, sih? Aku justru mikir lebih baik dia cepet naik aja, sayang banget otanya Cuma dipakai di sini milihin pasangan outsole. Sedang staf di atas sana, kerjanya cuman ngerumpi via grup chat.”

Obrolan ayah dan anak itu terhenti saat sebuah suara terdengar, menyentakkan nama Hafsah. Gadis berjilbab itu terlihat sangat terintimidasi karena ia ditarik oleh Surti ke arah pojok gudang tempat dimana lembaran foam dan tumpukan kaleng-kaleng lem.

“Heh! Kamu tau nggak, sih. Ini barang kurang tiga pasang. Saya nggak mau tahu, kamu harus bisa ngelengkapin ini.”

“Bu, tapi, kemarin sudah pas.”

“Saya nggak mau tau, sekarang barang jadinya kurang tiga pasang. Mau kamu nyolong kek, mau kamu apa terserah. Yang penting saya mau semua clear besok pagi. Tuh, kamu colong aja tuh, di tumpukan sol yang baru datang. Gampang kan?”

Hafsah menatap atasannya sembari menggumam istigfar.

“Nggak usah sok-sokan nyebut. Tuhan kamu nggak akan bantuin, kalau masih mau kerja di sini kamu harus beresin. Kalau enggak beres, saya laporin kamu ke Bu Hanik biar dikasih SP kamu”

Ricky yang sengaja menguping hampir saja menyenta Surti, tetapi sang ayah menghentikannya.

“Jangan.”

“Pa, it’s not fair. It’s not her fault. Not her fault.”

Rio  menahan tangan sang putra yang siap melangkah keluar dari tempat mereka mengintip.

“Ricky, Stop! Bukan ranahmu. Jaga sikapmu, kamu putraku. Jangan terlalu mencampuri urusan mereka. Kelas kita beda dengan mereka.”

“Pa! Kenapa papa kayak gini? Kenapa Pa? Bukannya papa yang selalu mengajariku tentang menghargai orang? Tidak sombong, toleransi, dan apapun itu. Kenapa begini? Aku harus belain Hafsah.”

99 Nama-Mu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang