Part 10

161 33 4
                                    

Hafsah terbangun ketika seorang perawat mengecek kondisinya. Infusnya sudah hampir habis. Ia merasa kondisinya sudah cukup membaik. Jam menunjukkan pukul dua malam.

Perawat menawarkan untuk Hafsah menunggu sampai pagi atau mau pulang saat itu juga. Dan, gadis itu memilih untuk pulang. Ia sempat melihat ke arah samping.  Ray tertidur di sana.

Wajahnya sangat lucu, bak bayi tak bedosa. Entah kenapa terbersit ide untuk mengisengi pemuda yang sudah membuat dunianya melelahkan kemarin.

Ia mengambil foto pemuda itu dengan ponselnya sebelum pergi dari ruang observasi di IGD tempatnya tadi ditangani.

Gadis itu perlahan keluar. Hari tentu sedang gelap-gelapnya, hampir tak ada suara terdengar kecuali suara truk-truk dari jalan raya yang tetap beroperasi.

Langkah sang dara tertuju pada bangunan di samping tempat parkir. Ini adalah jam favoritnya, jam dimana ia bisa berduaan dengan Sang Khalik. Air wudu yang dingin tak menghalangi semangatnya. Khusyuk, Hafsah bersujud pada tuhannya.

Sementara itu, di dalam ruangan IGD, pemuda di samping Hafsah tadi terbangun karena benda yang di dekapnya terjatuh. Al Qur'an kesayangan Hafsah kini tergeletak di lantai.

Pemuda itu kemudian bangun dan mengambilnya. Setelah beberapa saat ia menyadari jika gadis yang tertidur di sampingnya tak lagi ada.

Ray seketika berlari ke ruang perawat. Ia bahkan membangunkan perawat yang baru saja terserang kantuk di ruangannya.

"Mbak, itu cewek sebelah saya, kemana? Hafsah, dia kemana?"

"Ya ampun, Mas. Ngagetin aja. Anu, itu mbaknya udah pulang. Kira-kira sepuluh menitan lalu."

Ray mengusap wajahnya kasar sebelum kembali ke tempatnya di rawat. Begini enaknya jika mengurus administrasi di awal. Dia hanya menunggu kondisinya membaik dan bisa pulang kapanpun, toh hanya observasi saja di IGD.

"Aca kok nggak bangunin sih?" gerutunya.

Pemuda itu mengecek ponsel dan berencana menelpon Hafsah, tetapi ia justru menemukan sesuatu di sana. Kontak atas nama Hafsah mengirimkan sebuah foto. Fotonya saat tertidur.

"Bisa-bisanya,"geram Ray.

Ia segera menelpon Hafsah, tetapi tidak diangkat.

"Apa udah balik ya? Tapi malem-malem gini dia balik naik apa?" Ray bermonolog.

Hingga tanpa sengaja ia melihat sosok yang  tengah salat di musala dekat mobilnya terparkir. Ia hapal dengan mukena berwarna hijau mint milik sang dara.

"Kalau jodoh nggak kemana,"celetuk Ray sembari tersenyum.

Diam-diam ia duduk di serambi musala. Di sampingnya ada seorang pemuda bersarung yang tengah melafalkan sesuatu. Ray menebak pria itu tengah mengaji. Sembari menunggu, Ray kembali membaca kitab di tangannya.

Tak berapa lama, pemuda di sampingnya menegur.

"Kenapa dibaca sirr, Mas? Baca aja lantang, nggak apa-apa, kok. Yang denger kan bisa jadi pahala juga."

Ray tak sepenuhnya mengerti apa yang diutarakan orang itu tetapi ia coba menanggapi dengan sopan.

"Mm ... Sebenernya saya baca terjemahnya, Mas. Baru belajar," ucap Ray jujur.

"Masyaaallah, mentadaburi Qur'an itu keren loh, Mas."

"Mentadaburi?"

Pemuda bersarung itu mengangguk. "Iya, membaca terjemahnya, memaknai isinya. Ada banyak hikmahnya. Barangsiapa yang mentadaburi Al-Quran kemudian memahami makna-maknanya, memikirkan kandungan isinya maka ia akan meraih kemuliaan yang tinggi, keridhaan dari Allah talas serta ia akan senantiasa diberi taufik dalam kehidupannya."

99 Nama-Mu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang