Part 3.

197 36 8
                                    

Rasa lelah meluruh seketika saat alas tidur menyentuh tubuh. Tetesan sisa air wudu masih membasahi wajah oval dari gadis berikma panjang. Ponsel ia sanding, karena menunggu balasan pesan sang ibu.

Ya, ia baru saja mencoba memejamkan mata saat sebuah telpon masuk dari nomor tak dikenal. Hafsah tak berpikir dua kali, ia takut jika itu adalah telepon dari adiknya yang tengah di pesantren, karena biasanya sang adik akan mengabarkan sesuatu lewat ponsel milik santri senior ataupun sang ustadz.

"Halo?"

Suara serak terdengar dari ujung telepon. Bukan suara adiknya, jelas, itu suara pria dewasa.

"Hafsah?"

"Iya, saya Hafsah. Maaf ini siapa?"

Terdengar suara batuk dan deheman setelahnya.

"Ini saya, Ricky. Saya ... Mau tanya satu hal sama kamu."

"Pak Riㅡ"

Hafsah seketika menutup mulutnya karena ingat ada Cindy di kamarnya. Benar saja, rekannya yang tengah bernyanyi lagu korea itu menatap ke arahnya dengan pandangan menyelidik.

"Bapak, ada apa? Bapak sehat, kan? Kok, kayak serak gitu?" tanya Hafsah kemudian dengan nada luar biasa lembut khasnya ketika sedang berbicara dengan sang ayah.

Gadis itu tidak mau terbawa masalah jika sahabatnya tahu orang yang menelponnya adalah anak atasan mereka. Suara kekeh justru malah didapatkan Hafsah.

"Luar biasa. Suaramu candu, Hafsah. Apa efek pakai telpon? Kamu lebih nyaman ngobrol sama saya kayak gini, hm?"

"Pak, ada Cindy di kamar, jadi Hafsah nggak bisa ngobrol lama-lama. Nggak enak kalau nganggurin Cindy, maaf ya, Bapak."

Cindy tiba-tiba menyahut. "Om, nggak papa, Om. Cindy pindah dulu deh. Selamat ngobrol ria, Om."

Hafsah menahan Cindy. "Eh Cin, nggak usah pergi."

Namun, gadis berkacamata itu memberi kode 'don't worry'  pada Hafsah dan keluar kamar sembari membawa bungkus wafer cemilannya tadi.

"Hafsah?"

Kini Hafsah kembali sadar.

"Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu? Mohon maaf sebelumnya, tadi, ada Cindy jadi saya ... saya tidak mungkin mengatakan jika Anda yang menelpon."

Gaya bicaranya seketika berubah. Tak bernada. Tak semendayu tadi dan membuat Ricky terheran di ujung telepon.

"Hei, kok jadi formal lagi, hm?"

"Pak, mohon maaf, adakah hal yang penting? Kalau tidak, mohon maaaf sekali, besok pagi saya harus meㅡ"

"Kirim alamat surelmu. Tolong bantu input data untuk stok opname."

Hafsah menelan ludah, ia bingung, haruskah mengiyakan? Padahal itu bukan bagiannya. Namun, bukan Hafsah jika bisa menolak permintaan bantuan orang lain.

"Baik, Pak. Deadline-nya, kapan, Pak?"

"Kamis. Saya harus menyerahkan maksimal hari Kamis, jadi sebelum itu semua datanya saya minta, sudah diinput semua. Saya kirim foto file laporan rekap perbidangnya. Tenang, ini bukan pekerjaan cuma-cuma.  Saya akan bayar kamu dengan layak."

Hafsah terlihat berpikir. "Maaf, Pak. Kalau boleh tahu, kenapa Bapak meminta bantuan saya? Saya hanya anak produksi, anak magang pula. Bukan staf kantor, Pak. Bapak bisa minta tolong pada Cindy atau Ifah mungkin teman saya, atau karyawan lain."

"Saya sudah dua kali membantumu hari ini, pertama soal Surti dan kedua soal siapa tadi? Edo? Eko? Siapa? Itu. Apa kamu nggak hutang budi sama saya?"

99 Nama-Mu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang