Part 26

177 35 20
                                    

Sejak kembali ke pondok dan tersadar tentang sosok Rara, Hafsah justru berubah. Kekagumannya pada Ahkam seolah hilang. Sementara, justru sisa rasa dari perasaan yang dulu ia ingkari kini semakin menyiksanya.

Dibukanya sebuah kotak yang ia simpan di bagian terbawah lemarinya.

"Aca, aku beli dua. Kamu satu ya? Jangan suruh aku buat kasih ke Audrey. Taste kami beda."

"Taste kita juga beda, Pak," jawab Hafsah kala itu.

"Tapi anak saleha nggak akan nolak rejeki kan? Lagian cocok juga buat kamu. Manis. Sederhana tapi elegan. Cocok sama karaktermu."

Sepasang sneakers yang sama persis dengan milik Ricky, tersimpan di sana, lengkap dengan jam tangan dan baju oversize flanel berwarna kotak biru dan hitam.

"Koh ... Aku kangen," ucap Hafsah tanpa sadar.

Dadanya kembali sesak. Mata berhias celak itu kini tertutup. Dari selanya menetes air mata yang menggambar kepedihan.

"Koko ...."

Hafsah memeluk kotak itu. Aroma parfum maskulin sang pria seolah kembali menguar dan bisa tercium inderanya.

"Mbak Hafsah?"

Zunaira yang masuk ke kamar mendapati sepupu jauhnya itu menangis.

"Mbak kenapa? Ada yang sakit?"

Hafsah menggeleng, dia menerima pelukan Zunaira. Aisya yang ikut muncul, segera mengunci pintu kamar mereka rapat.

"Mbak kenapa?"

Hafsah mengusap wajahnya, menyeka air mata.

"Kalau Mbak mau, cerita aja, Mbak."

Aisya menyodorkan air putih untuk sosok yang sudah ia anggap sebagai kakak itu. Setelah tenang, Hafsah kemudian bercerita.

"Aku ... Aku sempat berencana membuka hati pada Mas Ahkam. Aku ... Merasa dia adalah orang yang dikirim Allah untuk menolongku, menyelamatkanku. Tapi ... Entah kenapa aku justru semakin ke sini semakin bingung. Aku ... Aku baru sadar kalau aku punya rasa untuk orang lain. Rasa yang tak seharusnya aku punya."

Zunaira dan Aisya menatap Hafsah, mendengarkan dengan seksama cerita wanita itu.

"Orang non muslim yang Mbak ceritain itu?" tebak Zunaira.

Hafsah mengangguk. "Aku ... Aku ternyata belum bisa menghapus rasaku atasnya. Semua kenangan itu, masih ada. Padahal jelas kami nggak akan mungkin bersama."

Isak Hafsah kembali terdengar pilu. "Perbedaan kami terlalu jauh. Kami berbeda. Dia pun sudah punya keluarga, istrinya tengah mengandung, dan sekarang ... Dia ...."

Kelu lidah Hafsah tak bisa menjawab. "Yang ditembak itu ya, Mbak?" tebak Zunaira lagi.

"Aku sempat denger dari Abah yang ngobrol sama adik Mbak, Hasan, dan kakakku."

Hafsah mengangguk. "Apa aku batalkan saja ya khitbahnya? Aku nggak mau calon suamiku jadi korban. Aku bahkan belum bisa mengenyahkan perasaanku."

Aisya mengelus tangan Hafsah. "Mbak, pasrah saja. Mbak sendiri yang ngajarin ke kami, Allah akan menunjukkan apa-apa yang terbaik. Siapa tahu nanti justru suami Mbak bisa membuka hati Mbak. Jangan sepelekan Allah. Apapun kehendak-Nya bisa terjadi, meski tak memungkinkan jika dipikir dalam logika manusia."

Mendengar ucapan Aisya, Hafsah kembali tenang. Benar sekali, harusnya Hafsah tak sepicik itu. Dia sadar, dia harus melepaskan seluruh kenangan masa lalunya. Menapaki jalan baru bersama dengan sosok yang sudah disiapkan untuk bersama mengarungi masa depannya.

99 Nama-Mu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang