Part 7

158 33 8
                                    


Sebuah resto menjadi pilihan Ray untuk makan siang.

"Suapi mama dulu baru kamu makan," titah pemuda itu dengan wajah datar.

"Baik, Pak. Saya puasa."

Ray melirik Hafsah dengan tatapan seolah memastikan benarkah gadis itu puasa atau tidak, kemudian melengos tak peduli sembari mendorong kursi sang ibu.

"Biar mama," ucap Maryam ketika Hafsah mempersiapkan diri menyuapinya.

"Saya saja ya, Nyonya. Mau minum dulu?" tanya Hafsah lembut.

Maryam mengangguk dan menerima sodorkan minuman dari Hafsah. Dengan telaten wanita itu duduk bersimpuh di samping Maryam. Ray sibuk dengan gadget dan makan siangnya.

"Tadi dokter bilang apa?" tanya pemuda itu kemudian pada Hafsah.

"Kata Dokter Hasbi, hasil perkembangan nyonya akan dilaporkan ke Pak Ricky," jawab Hafsah.

Ray meletakkan sendoknya.

"Saya anak mama juga, saya atasan kamu juga. Kenapa harus menutup-nutupi penjelasan dokter dengan alasan nggak masuk akal kayak gitu?"

Hafsah menggigit bibir, berusaha menguatkan diri.

"Pak, saya berkata apa adanya."

"Kamu sudah diwanti-wanti sama Koko kan?"

Hafsah menggeleng. "Pak, bukankah bapak harusnya paham, jika rahasia kesehatan pasien tidak boleh diketahui sembarang orang? Meski nyonya saya temani, tapi saya tidak punya hak mendengarkan penjelasan mengenai kondisi kesehatan nyonya. Bukankah begitu? Mohon maaf jika saya salah."

Ray melempar tatapan malas sebelum menatap sang ibu dan tersenyum lembut.

"Ma, mama udah enakan? Harusnya mama dulu mau waktu Ray ajak ke Singapur, dari pada berobat di sini."

Maryam tersenyum dan mengangguk-angguk.

"Mama harus sehat lagi. Sebentar lagi Koko nikah. Masak mama nggak mau dateng di nikahan Koko."

Wajah Maryam terlihat berubah, hanya senyum seadanya diukir. Hafsah tak mau berspekulasi, toh bukan urusannya juga.

"Mama!"

Ricky muncul dengan wajah sumringah. Ia segera mendekat dan menciumi sang ibu tanpa sedikitpun rasa gengsi meski beberapa mata melihat ke arahnya.

"Makan apa, Ma? Enak?" tanya Ricky.

Maryam mengangguk dan tersenyum.

"Ca, makasih ya udah nemenin mama."

"Iya, Pak. Sama-sama. Bapak sudah makan?" tanya Hafsah.

"Nanti aja. Kamu puasa kan?"

Gadis itu mengangguk.

"Harus banget ya kamu nemenin dia puasa, Koh?" sindir Ray.

Ricky tersenyum pada sang adik. "Menghargai Aca, apa salahnya?"

"Pak, Bapak kalau mau makan silakan. Dari pada kambuh grastritisnya."

"Perhatian banget ya, inget Koh, ada Cici. Bisa ngamuk Cici kalau tau Koko punya serep."

Ricky terbahak. "Jangan mengada-ada. Memangnya salah kalau aku punya sekertaris yang perhatian? Jangan iri kamu. Kalau sekiranya kamu keteteran nanti, kamu bisa minta tolong ke Aca."

Jujur saja, Hafsah tak begitu nyaman dengan Raymond. Meski kelihatannya dia sangat manis, tetapi cara bicaranya jauh lebih menyeramkan dari sang kakak.

"Sehebat apa sih kamu? Coba kerjakan ini."

Ray menyodorkan tabletnya. Beberapa soal logika tersaji di sana. Bukan masalah besar untuk Hafsah menaklukan soal seperti itu, terlebih rasa kesal yang sedikit menguasainya karena tingkah Ray yang tak bersahabat membuat gadis itu dengan serius mengerjakannya meski sembari sesekali menyuapi ibu atasannya.

99 Nama-Mu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang