Part 17

134 29 6
                                    

Jalanan dengan lampu temaram itu kini terasa begitu mengerikan. Hafsah tak berani sedikitpun berbicara. Sang ayah duduk diam di depan. Di sampingnya ada adiknya Hasan menyetir.

Perjalanan selama satu jam itu terasa seperti sehari semalam.

"Masuk kamar dan jangan keluar!"

Hafsah menurut. Sang ibu pun seolah acuh padanya. Gadis itu kebingungan, kenapa ia tiba-tiba dijemput. Kegundahannya terjawab ketika Cindy menelponnya.

"Ca, kamu nggak apa-apa, kan?"

"Maksudnya gimana, Cin?"

"Orang tuamu, si kupret tuh dia ngirim fotomu sama Mas-mas yang nolongin kamu dulu itu ke mamanya. Dasar emak sama anaknya otak setengah semua, eh malah disebar di grup ibu-ibu. Dan ibumu tau, Ca. Ifah ngefitnah kamu."

Seketika Hafsah mengucap istigfar. Pantas saja ayahnya begitu marah dan memaksanya pulang. Suara kunci pintu dibuka terdengar.

"Mana hapemu, Bapak sita. Kamu di sini diam. Renungi kesalahanmu! Minta ampun sama Allah!"

Hafsah hanya mengangguk. Percuma jika ia menjelaskan sekarang, emosi orangtuanya tengah memuncak. Hari ini begitu melelahkan, Hafsah memilih mengistirahatkan tubuhnya.

"Yaa Muqalibal qulub ... Yaaa Ghofar ... Yaa Rohman Ya Rahim.... Rengkuhlah hamba-Mu ini dengan rahmat-Mu ... Hanya Engkau yang dapat memberi ampunan dan keselamatan bagi hamba-Mu yang lemah ini."

Sementara itu di tempat lain, Ray yang tadi bingung melihat Hafsah digelandang ke dalam mobil oleh pria yang disinyalir adalah ayah Hafsah, mengintrogasi Cindy.

"Jadi kenapa orang tuanya bisa datang ke sini?"

Cindy yang ragu menjawab mau tidak mau akhirnya buka suara. Dia mencoba berkelit karena tak mau dianggap cepu, tetapi apa boleh buat, sudah seperempat jam, anak bosnya itu menanyakan pertanyaan yang sama.

"Kemarin malam, Aca sakit di kantor. Dia masuk IGD dan sempat observasi, Pak. Saya waktu itu capek, Pak. Jam tujuh saya sudah tidur. Nah, Aca telpon saya minta jemput, tapi saya nggak tau kalau ada pesan masuk sama telpon juga. Singkat cerita, dia nekat pulang sendiri jam dua apa setengah tiga gitu dan ada yang jahatin dia. Terus ada mas-mas nolongin. Eh si kupret itu fotoin Aca."

Ray menyela. "Kupret?"

Cindy menyeruput es bobanya. "Ifah, Pak. Nurifah. Dia itu kan sejak Pak Ricky narik Aca ke kantor, suka uring-uringan. Soalnya dia yang ngebet pengen jadi staff sedang sampai sekarang dia masih belum dapat promosi jabatan."

Ray melipat tangan di dada. "Terus dia lapor ke orang tua Aca?"

Cindy menggeleng. "Dia lapor ke mamanya,  ya cepu gitu. Ngadu-ngadu. Eh mamanya cepu juga ngepost berita fitnah itu di grup emak-emak. Dan mama si Aca kan liat. Dari situ kesebar deh. Ya, maklum Pak, kan orang tua Aca pemuka agama eh apa ya itu loh nggak tau apa namanya. Jadi ya ini tuh aib."

Ray mengusap wajahnya kasar.

"Makasih buat infonya, saya masih punya satu permintaan lagi, bisa bantu saya?"

"Soal apa, Pak?"

"Menuntut keadilan untuk Aca tentunya. Saya dengar tidak semua orang benci dia. Hanya kalangan tertentu yang tidak suka dengan cepatnya promosi jabatan dan besaran gajinya."

Cindy mengangguk. "Ya kan kaleng rombeng sebiji bisa bikin riuh sekampung Pak kalau ditabuh. Sebaliknya, meski ada orang seratus kalau pada diem ya nggak bakal ada suara, sekampung, sepi."

Ray mengeluarkan beberapa lembar uang. "Kamu pesan ojol ya. Saya pulang dulu. Ini buat bayar minumannya. Thanks buat infonya, Cindy."

Sesi ramah tamah selesai, Ray mengantongi cukup info pemuas rasa ingin tahunya. Dia mencoba menghubungi Hafsah tetapi tak kunjung dapat jawaban.

99 Nama-Mu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang