Malam tiba, bertemu bulan.
Kau menelusuri jalanan setapak yang kau buat sejak musim panas lalu.
Tumbuhan liar nyaris menutupi jalan setapak itu, sudah sebulan lamanya kau tak mendatangi tempat ini. Senter ponselmu mengarah ke punggungku; kepadaku yang duduk di atas batang pohon tumbang yang setengah menyatu dengan tanah bersama kedua kakiku yang terlipat dan memeluknya, kepadaku yang hanya dapat melihat langit malam yang ditemani bintang-bintang dan rembulan.
"Karin?"
Aku menoleh ke belakang saat kau memanggilku. Raut wajahmu yang khawatir berganti dengan sepasang sudut bibirmu yang tertarik hingga menampilkan sedikit deretan gigimu. Matamu pun membentuk lengkungan. Napasmu yang terengah pada akhirnya dapat berembus dengan tenang.
Bulan begitu penuh. Cahaya begitu terang. Kau dapat melihatku dengan jelas.
Kau menggenggam tanganku, membawaku keluar dari ladang ilalang tersebut. Membawaku keluar dari tempat di mana dulu adalah taman hiburan yang selalu kita singgahi saat berumur enam tahun sebelum dihancurkan hingga tak bersisa dan ditumbuhi para ilalang. Kau memboncengku dengan sepeda lipat yang dihadiahi ayahmu saat ulang tahunmu yang ke-14. Memboncengku melewati rumah lamaku yang sunyi dan gelap, lalu berhenti di halaman rumahmu yang hanya diterangi lampu teras depan rumah.
Sebelum kita masuk ke dalam rumah, kau menempelkan jari telunjukmu ke bibirmu, desisan terdengar. Itu semua ditujukan padaku, isyarat darimu agar aku tidak menimbulkan suara terlalu keras. Jadi, kau berusaha meminimalisir suara dari putaran anak kunci di pintu, mendorong daun pintu dengan hati-hati, menutupnya dengan perlahan dan menguncinya lagi, melepaskan sepatumu, kemudian naik ke lantai atas yang minim cahaya dengan mengendap-ngendap. Kita persis seperti maling yang baru saja membobol rumah orang.
"Ibuku akan marah kalau tahu aku keluar rumah malam-malam dan membawamu ke rumah."
Kau memberi alasan setelah kau menutup pintu kamarmu. Aku tahu itu. Aku hanya mengelilingi kamarmu. Mengamati sesuatu yang ada di sana, seperti lampu tidur bulan di atas nakas yang kuberi pada malam Natal dua tahun lalu, komik-komik kesukaan kita yang tersusun di rak buku, dan foto-foto kita yang bertenger di meja belajarmu. Sudah lama aku tak mendatangi kamarmu. Sebelumnya, aku hanya bisa melihatmu dari luar rumah, melalui jendela kamarmu.
"Aku masih tak tahu kenapa Ibu tiba-tiba tidak menyukaimu." Ujarmu, mendekatiku. "Setiap kali membicarakanmu, Ibu selalu marah dan berkata bahwa aku harus melupakanmu."
Tapi aku tahu alasannya.
"Bagaimana bisa aku melupakanmu hanya karena kau pindah ke kota lain, sementara kita telah bersama sejak TK?"
Kau turut melihat foto kita yang berada di puncak gunung di musim semi tahun lalu. Setelan parasut membaluti tubuh kita. Tas carrier berada di punggung kita. Senyum terukir di sana, menandakan suatu kebanggaan bahwa kita kembali berhasil menakluki gunung yang kita daki. Kita sangat suka mendaki, karena itu kita memilih klub Pecinta Alam saat menjadi murid SMA.
"Kau tak membalas pesan singkatku lagi..." katamu, "sebegitu ketatnya peraturan sekolah khusus perempuan sampai-sampai tak boleh bermain ponsel meski itu hari libur? Memangnya kau tak sedih meninggalkan kedua orangtuamu untuk tinggal di asrama sekolah itu?"
Aku hanya mengangkat bahu, masih menatap foto itu... Itu foto terakhir kita.
Aku berjengit saat kedua tanganmu melingkari pinggulku. Aku menoleh ke samping. Dagumu terjatuh di bahuku, wajahmu begitu dekat.
"Kapan-kapan kita mendaki lagi, bagaimana? Libur musim panas ini? Kalau tidak bisa, aku akan menunggumu sampai kau bisa."
Aku hanya tersenyum. Aku tak yakin bisa menepati janji itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Healing
FanfictionCerita pendeknya Sakurazaka46 yang agak melokal. [Ditulis menyesuaikan mood dan pengalaman]