Di Depan Ruang Dosen

137 16 11
                                    

Semenjak aku mulai mengerjakan skripsi, ruang dosen selalu menjadi tempat yang selalu kutuju setiap kali aku berada di kampus.

Kendati sering mendatangi ruang dosen, langkah kakiku jauh terasa lebih berat ke sana ketimbang sebelum aku menjadi mahasiswa semester akhir, seakan-akan menolak untuk terbiasa. Dosen yang menguji skripsiku terkenal sangat teliti dan suasana hatinya gampang berubah sehingga bisa melakukan bimbingan lebih dari sepuluh kali pertemuan agar skripsi dapat dibubuhi tanda tangan beliau. Tak sedikit pula memarahi bila ada setitik kesalahan sepele di skripsi, dan terkadang senang menolak para mahasiswa yang sudah menunggunya di depan ruang dosen untuk bimbingan sejak pagi.

Aku sudah melakukan bimbingan sebanyak tiga kali untuk revisi isi skripsiku. Beberapa kali dimarahi karena penjabaran penelitianku yang tak sesuai harapannya dan pernah sekali ditolak bimbingan sementara aku sudah menunggunya dari pukul sembilan pagi hingga dua siang. Inilah yang membuat langkah kakiku memberat ke sana. Nyaliku menciut untuk bertemu dosen penguji dan takut pula kedatanganku menjadi sia-sia. Walau begitu, aku tetap datang ke sana, bahkan setelah menyelesaikan revisi, besoknya aku segera datang ke kampus dan ikut mengantre untuk bimbingan di depan ruang dosen. Teman-teman dekatku sudah selesai menjilid skripsi mereka dan aku tak ingin ditinggal sendiri, apalagi pendaftaran wisuda sebentar lagi bakal dibuka, aku termotivasi karena itu.

Suatu hari, saat aku duduk di bangku tunggu depan ruang dosen bersama perasaan cemas sampai jantungku berdetak tak karuan karena memikirkan reaksi dosen penguji mengoreksi isi skripsiku, seseorang duduk di sampingku dan menepuk pundakku pelan. Aku menengok ke samping.

"Maaf Kak, mau tanya... Pak Tsuchida sudah datang belum, ya?"

Gadis itu punya rambut hitam pendek lurus bersama poni menyamping, mata monolidnya kecil dan gelap, wajah bulatnya tirus, kulitnya nyaris pucat, hidungnya mancung, dan bibir tipisnya hanya dipoles pelembap berwarna merah jambu. Ia mengenakan kaus polos putih lengan pendek yang ditutupi rompi crop kotak-kotak yang dipadukan dengan rok maxi beludru biru gelap berpola, sneakers kanvas berwarna ivory, dan tote bag hitam menggantung di pundaknya. Di pangkuannya terdapat map plastik tenteng berisi berkas-berkas.

Jujur, wajah gadis ini amat familier. Kuingat-ingat lagi kami sering berpapasan di lorong kampus setiap pergantian jam kuliah.

"Barusan datang. Kayaknya masih belum mau mulai bimbingan." Sahutku.

"Oh... oke, makasih."

Selama kami dilanda keheningan, aku menyesap susu karamel Ultra Milk yang sedari tadi di genggamanku. Dua mahasiswa yang lebih dulu mengantre dariku belum juga diperbolehkan masuk ke ruang dosen, kupikir ini bakal menunggu waktu lama. Aku melirik ke samping, gadis di sampingku ini tidak memiliki kesibukan apa pun--seperti main ponsel misalnya. Pandangannya terjatuh ke lantai, agaknya ia sedang melamun.

"Hei," panggilku.

Dia pun menoleh.

"Kamu ada keperluan apa sama Pak Tsuchida?"

"Bimbingan revisi proposal skripsi. Ini sudah kedua kali." Jawabnya. "Kakak?"

"Oh, Pak Tsuchida dosen pengujimu, ya? Beliau juga yang nguji skripsiku." Ucapku. Mengingat ia terus menyebutku "Kakak", yang mungkin saja kami sebenarnya seangkatan, jadi aku pun ingin memastikan, "Oh iya, kamu angkatan berapa?"

"Iya. Penguji kedua, Kak. Misalnya, sudah di-acc beliau, langsung minta acc sama Wadek Dua, Pak Sawabe." Sahutnya. "Kakak temennya Kak Habu, kan? Berarti Kakak satu tahun di atasku."

"Kenal Habu juga?"

"Iya. Kita satu UKM Pramuka."

Aku mengangguk-angguk paham. Cukup tak menyangka juga bahwa ia bisa mengenaliku.

HealingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang