Marino

144 14 0
                                    

Hikari meninggalkan kantornya pada pukul delapan malam akibat lembur.

Komplek perumahannya sudah sepi dan sunyi meski belum pukul sepuluh mengingat hanya enam rumah saja yang baru ditempati. Ditambah lagi komplek tersebut belum memiliki lampu jalanan yang hanya dapat mengandalkan penerangan dari lampu teras milik rumah-rumah orang. Biasanya ia akan pulang bersama Marino sehingga kesunyian nan mencekam pada jalanan menuju rumahnya tidak terasa seabadi seperti sekarang. Meski Marino agak irit bicara, ia bisa berbicara leluasa seperti mengeluhkan pekerjaannya yang selalu menumpuk atau sikap rekan kerjanya yang menyebalkan. Berbeda saat ia diantar-jemput oleh ojek online, di mana ia tak biasa berinteraksi dengan orang baru sehingga ia tak mau memulai pembicaraan, bahkan tak begitu mengindahkan basa-basian dari si pengendara ojek online. Omong-omong, teman serumahnya itu sedang ke luar kota dengan mengendarai motor Hikari, dan ia tak tahu kapan teman serumahnya itu pulang.

Lampu depan rumahnya gelap, namun samar-samar cahaya keluar dari jendela rumahnya yang tertutup gorden. Usai membayar ojek online, Hikari segera melewati halaman rumahnya yang lapang, kemudian memasukkan anak kunci ke dalam pintu dan memutarnya hingga pintu depan rumahnya terbuka. Hanya lampu ruang tengahnya saja yang menyala bersama tawa yang terdengar dari televisi.

Alih-alih lega karena Marino telah pulang, Hikari menghela napas mendapati punggung Marino. Wanita itu sedang duduk di depan televisi dengan memeluk kedua kakinya yang dilipat. Sebenarnya, rasa lelah yang menumpuk di punggungnya sudah membuat suasana hatinya memburuk. Sekarang, suasana hatinya bertambah buruk berkat Marino. Kebiasaan teman serumahnya itu bila pulang lebih dulu darinya ialah membiarkan lampu rumahnya tidak menyala, bahkan membiarkan teras depan rumahnya gelap gulita.

"Udah dibilangin berkali-kali, masih aja gak mau ngidupin lampu depan." Omel Hikari sembari menekan saklar lampu-lampu rumahnya.

Ia sudah menduga bahwa Marino tidak akan menyahut. Jadi, ia pun masuk ke dalam kamarnya, membersihkan riasannya yang sudah berantakan. Selesainya, ia berniat hendak merebahkan sebentar punggungnya yang berat ke ranjang sembari memeriksa akun media sosialnya. Belum juga ia merebahkan diri, seseorang mengetuk pintu kamarnya.

Hikari keluar dari kamarnya. Tidak ada siapa-siapa. Marino masih setia duduk di depan televisi. Ia mendengus kasar, masih memperhatikan gadis berpiyama merah itu.

"Napa sih Mar ngetuk-ngetuk pintu kamar orang?" tanyanya, masih merasa sebal.

Belum Marino menyahut, terdengar sesuatu dari dapur. Ia pun melangkah ke sana dan menemukan sendok yang sudah tergeletak di lantai. Saat mengembalikan sendok tersebut di tempat asalnya, ada secangkir teh hangat di atas meja. Barangkali sendok tersebut sebenarnya berada di atas cangkir tersebut... Mendadak senyumnya mengembang. Ia ingat, bila Marino melakukan kesalahan dan membuatnya mengomel, wanita itu akan segera menyogoknya dengan sesuatu, seperti teh melati ini. Teh kesukaannya.

Hikari meletakkan ponsel yang sedari tadi di genggamannya ke atas meja makan. Ia mengangkat cangkir, kepalanya sedikit menyembul keluar dari pembatas dapur untuk melihat punggung Marino di ruang tengah.

"Mar, kalo lu mau ngasi beginian, kenapa sih gak langsung anterin aja ke kamar? Sorry, gak sweet banget, Mar." Ejek Hikari, lalu duduk di kursi makan dan menyesap tehnya yang membantu rasa letihnya akibat berlembur perlahan berkurang.

Belum lama dari itu, notifikasi muncul di ponselnya. Sebuah pesan WhatsApp dari Marino.

'Pakaian yang gua cuci tadi subuh dah lu angkat belum?'.

Kening Hikari mengerut. Ia mengintip ke luar jendela. Di pelantaran, pakaian-pakaian mereka masih tergantung di tiang penjemur. Yang membuat Hikari cukup lama menatapi jemuran mereka, piyama warna merah milik Marino. Tiba-tiba ia ingat bahwa malam kemarin Marino memakai piyama tersebut, lalu memasukkanya ke mesin cuci di subuh hari.

Ia merasakan ada sesuatu yang tak beres.

Pesan dari Marino pun muncul lagi.

'Kebiasaan, cuman di-read doang. Gue belum bisa pulang sekarang, besok pagi baru bisa. Udah diangkat belum pakaiannya?'

Udara di sekitar Hikari mendadak menurun hingga membuat rambut halus pada lengannya meremang. Napasnya agak sulit dihirup dengan detak jantung yang berdentum tak karuan. Jemarinya yang menggenggam ponsel seketika mengeluarkan keringat dingin. Suasana sekarang sangat kontras dengan tawa dari televisi yang terdengar.

Hikari berbalik badan, berniat ingin mengintip siapa yang berada di ruang tengah, namun sosok tersebut sudah berdiri di pembatas dapur dan ruang tengah.

"Hikari, kenapa pakaiannya belum diangkat juga?"

Marino tanpa rupa membuat Hikari tak sadarkan diri.[]

-------------------

Ini adalah bab di mana w coba-coba nulis begini.... ya, mungkin agak kurang kesan-kesan horornya.

Oh iya, ngemeng-ngemeng, kalo ngeliat foto-fotonya marino ini pasti langsung keinget sama ikuchan wkwk. Kadang tuh agak-agak mirip, padahal kagak.

HealingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang