Malaikat Untuk Para Kucing Jalanan

163 18 8
                                    

Untuk kesekian kalinya aku melihat seorang gadis bersama sebuah kantong plastik hitam yang ia tenteng di tangan kanannya pada pukul tujuh malam, menelusuri sepanjang gang sempit milik Shinjuku yang terdapat salah satu izakaya kesukaan atasanku sehingga acara minum-minum sepulang kerja dari kantor selalu diarahkan ke sana.

Gadis itu memiliki tampilan sederhana: rambut lurus sedada agak kecokelatan berponi tipis, sweater zipper polos abu-abu yang menutupi kaus polo kuning, straight leg jeans biru membaluti kedua tungkainya sepanjang mata kaki, sneakers berwarna merah menjadi alas kakinya, dan tali pada tote bag kanvas berwarna beige menyangkut di pundaknya.

Kendati demikian, bukan karena penampilan sederhananya yang membuat perasaan tertarik sekaligus penasaran padanya terpantik dalam diriku. Melainkan hal yang ia lakukanlah yang membuatku berani meninggalkan acara minum-minum yang diadakan atasan dengan alasan ingin merokok di luar ruangan.

Tak perlu susah-susah bagiku menebak ke gang mana yang sedang ia telusuri, karena ia sudah berada di ujung gang kecil samping bangunan izakaya. Sembari merokok di mulut gang dengan punggung bersandar di dinding luar toko, pandanganku terpusat pada sekitarnya. Beberapa ekor kucing mengerumuninya, mengendus-endus kantong plastik hitam yang ia tenteng. Tak sekali mengeong-ngeong padanya. Kucing-kucing lain juga muncul dari mulut gang dan meloncat turun dari atap-atap bangunan, berlari ke arahnya. Gadis itu tak tampak risi. Ia malah menjatuhkan pandangannya bersama senyum yang tercetak di bibirnya, memperhatikan satu per satu kucing-kucing yang mengelilinginya. Ia sampai repot-repot memutar tubuhnya perlahan seraya mengangkat kantong itu di depan dada.

"Kalian sepertinya sudah tahu kapan aku bakal datang kemari sampai semuanya sudah berkumpul di sini... Oh, bahkan ada pasukan baru. Untung saja aku membawa banyak hari ini." Gadis itu berujar kepada kucing-kucing itu yang tampak selalu menantikan kedatangannya berkat benda yang ia bawa.

Gadis itu pun berjongkok, tangannya merogoh ke dalam kantong plastik yang berada di pelukannya, kemudian segenggam butir berwarna cokelat ia taburkan di atas jalan bersemen. Para kucing pun beralih mengerumuni benda yang ditabur gadis itu, sebelum bergerombol menjadi lima bagian di mana butiran-butiran berwarna cokelat tersebut gadis itu tumpukkan di beberapa titik.

Gadis itu sedang memberi kucing-kucing makan.

Ia masih berjongkok, memperhatikan para kucing yang tampak berisi dengan bulu yang mengkilat menyantap pemberiannya bersama senyum yang mengembang. Di dalam kantong hitamnya, tampak berkurang setengah. Saat ia mengangkat tubuh, lalu meninggalkan para kucing, kami berpapasan. Mata kami sempat bertemu, menimbulkan desiran di dada. Saat itu pula, aku bisa melihat wajah oval dengan pipi yang agak berisi dengan jelas. Mata bulatnya berwarna cokelat gelap dan bibir mungilnya yang agak tebal sedikit dipoles warna merah muda. Ia sempat mengulas senyum canggung sewaktu melewatiku seraya sedikit menunduk--entah barangkali ia tak enak hati menggangguku merokok seorang diri di sana karena kegiatannya tadi.

Gadis itu melanjutkan penelusuran ke gang berikutnya, memberi makan untuk kucing-kucing lainnya.

Aku tidak memiliki nyali untuk mengikutinya, terlebih menyapanya, berkat tidak ada alasan yang tepat untuk kedua itu. Aku tak suka berbohong, mengatakan bahwa aku juga tertarik pada binatang berbulu seperti kucing agar kami bisa saling mengenal, lalu mengikutinya menelusuri gang-gang kecil untuk menemui kucing-kucing kelaparan. Nyatanya, aku tidak pernah menyukai hewan berbulu sejak dulu. Mungkin lebih tepatnya tidak tertarik, bahkan merasa geli bila melihat makhluk itu lebih dekat dan menempel di kakiku. Karena itu pula, pada akhirnya aku hanya memperhatikannya memberikan makan kepada para kucing di dalam gang kecil samping izakaya sebelum sosoknya menghilang di pandanganku setelah ia keluar dari gang.

HealingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang