Kerupuk Rasa Plum

168 15 26
                                    

Aku menyayat pergelangan tanganku dengan cutter, menyebabkan darah mengucur ke lantai kamar hingga aku tak sadarkan diri dan tahu-tahu sudah keluar dari ruang operasi rumah sakit untuk dipindahkan ke ruang rawat inap yang terdapat enam ranjang tanpa pasien. Aku mengisi salah satunya, berbaring dengan badan yang lelah bersama perasaan yang sesal; badanku lelah karena aku kehilangan banyak darah, perasaanku sesal karena aku tak kunjung mati.

Seorang perawat menggeser sedikit pintu, melongokkan kepalanya dari celah.

"Yamasaki-san, sudah waktunya tidur. Aku matikan lampunya, ya?" wanita itu berujar sembari tersenyum ramah. Aku mengangguk, lampu utama pun dipadamkan. Perawat itu menarik kepalanya dari celah dan menutup rapat pintu.

Ruangan menjadi temaram. Cahaya redup dari lampu kecil berwarna kuning yang menempel di dinding ranjang hanya mampu mengelilingi sekitarku. Aku tak dapat terlelap walau tubuhku seakan tak berdaya. Aku telah banyak tertidur, baik di ruang operasi maupun pada siang hari di sini. Meski begitu, aku tetap menarik selimut hingga ke dada, kemudian menatap langit-langit ruangan.

Saat satu per satu memori sialan yang menyebabkanku menyayat pergelangan tanganku mulai menerobos masuk ke dalam benak, terdengar suara dari balik tirai yang berada di samping ranjangku. Sekonyong-konyong semua memori itu melebur entah ke mana, rasa penasaran dari balik tirai jauh menarik perhatianku. Selimut pun kuturunkan dari tubuh, mengangkat punggung, mengulurkan tangan, menyibak tirai tersebut.

Seorang gadis berambut sebahu kecokelatan sedang duduk berselonjor di atas ranjang. Punggungnya bersandar di kepala ranjang. Lengan kirinya memeluk sebungkus camilan. Tangan kanannya merogoh bungkusan tersebut. Pipinya mengembung dan bergerak perlahan. Ia balas menatapku, tampak kaget. Matanya yang bulat seketika membentuk lengkungan, tersenyum tak nyaman.

"Aku mengganggumu, ya?" tanyanya, usai menelan makanannya.

"Aku pikir tidak ada orang." Gumamku, terkejut.

"Aku sudah di sini selama dua minggu kok." Ujarnya. Kali ini senyumnya tampak lebih ringan. Kupikir gadis ini orang yang gampang tersenyum.

Ia mengambil sesuatu di dalam bungkusan, lalu mengunyahnya. Suara 'krukk, krukk' pun terdengar... Ah, suara itu!

"Kau mau?" tawarnya. "Tapi ini rasa plum. Mungkin terdengar aneh ada kerupuk rasa plum, dan mungkin lagi, kau ragu karena dibumbui plum—banyak orang yang tak suka plum, bukan? Tapi, kujamin kau bakal ketagihan meski kau tak suka plum."

"Oh, aku malah suka plum..." Ucapku, tanpa bermaksud meminta camilannya. Belum aku melanjutkan perkataanku, gadis itu sibuk membongkar nakasnya tanpa memindahkan posisi duduknya. Sebungkus camilan yang sama yang ia makan dikeluarkan dari sana. Dilemparnya benda tersebut ke arahku. Aku menangkapnya, lalu berkata, "Padahal tidak perlu. Tapi terima kasih."

Ia terkekeh sebelum kembali menikmati camilannya. Aku pun turut menikmati pemberiannya. Rasa gurih dan asam pada camilan renyah ini saling menyatu, membuatku tak henti-henti mengunyah. Benar katanya, kupikir aku memang ketagihan dengan camilan ini.

"Enak, kan?" ia ternyata memperhatikanku. Sepasang sudut bibirnya semakin tertarik. Aku mengangguk, mengulas senyum sesaat. Kali ini ia berbicara dengan lega, "Baguslah. Sudah banyak orang yang kutawari camilan ini. Teman-temanku, perawat di sini, dokter, lalu sepupuku. Reaksinya pun berbeda-beda. Kebanyakan dari mereka tak suka plum, tapi bisa makan kerupuk ini meski dibumbui plum. Sekarang, aku menawarkan ini ke pasien lain, dan kau suka! Senangnya... Aku kadang tak bisa menahan diri kalau makan ini, bisa tiga bungkus sehari sampai suaraku serak."

Aku tak tahu mau merespons apa selain menarik otot-otot wajahku dengan kikuk. Kalau boleh jujur, aku selalu merasa canggung berhadapan dengan orang yang baru kutemui. Agaknya, gadis itu berkebalikan denganku. Buktinya, ia bisa berbicara enteng dengan orang asing, seolah-olah aku adalah teman sebangkunya di sekolah.

HealingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang