Gengsi

167 17 16
                                    

Kau selalu merasa tidak senang setiap kali Hikaru datang ke rumahmu, mengantarkan camilan buatan ibunya yang senang memasak ke rumahmu yang hanya bersebelah dengan rumahnya, lalu berbicara cukup lama di ruang makan bersama ibumu. Padahal dua minggu lalu, kau menyatakan perasaanmu padanya yang perlahan lenyap karena Hikaru menganggapmu sedang mencandainya mengingat usia kalian terpaut empat tahun, dan dari mata Hikaru kau hanyalah bocah berusia 16 tahun yang lebih baik menangkap cicada di hutan belakang sekolah sepanjang musim panas saja ketimbang berpacaran dengan anak kuliahan. Padahal sebentar lagi kau bakal genap 17 tahun, bisa memiliki KTP dan SIM, yang itu berarti kau akan menjadi bagian dari masyarakat kendati perlu tiga tahun lagi untuk melakukan upacara kedewasaan dan minum minuman beralkohol.

Kali ini, Hikaru mengantar kue bolu ke rumahmu. Seperti biasanya, dia berbicara banyak dengan ibumu. Saat kau turun dari tangga dan berjalan menuju ruang tengah, ibumu memanggilmu. Kau terpaksa berhenti tanpa memandang ke wajah Hikaru—di sisi lain sebenarnya kau bisa bersembunyi di kamarmu di lantai atas agar kau dan Hikaru tak bertemu, tetapi kau sebenarnya juga ingin menemui Hikaru. Kau suka mata besar berbinarnya yang memiliki kantong mata alami, atau tahi lalat tipis di ujung hidungnya yang tidak disukainya, atau tubuh mungilnya yang membuatmu selalu menunduk untuk menatapnya setiap kali kalian berhadapan.

"Ten, Run-chan membawa kue bolu prem kering. Kau mau, Nak? Kemari."

"Nanti saja."

Kau menjawab sambil lalu, segera masuk ke ruang tengah, menghidupkan televisi, menekan salah satu tombol di PlayStation, memasukkan sebuah kaset gim video, mengambil stick, kemudian duduk di sofa. Selama kau bermain Ice Hockey, kau mendengar percakapan mereka.

"Siapa pemuda yang mengantarmu kemarin malam pulang?"

"Bukan siapa-siapa, Bibi. Haha."

"Dari raut wajahmu, Bibi tebak itu pacarmu."

"Eh... bukan. Sebenarnya dia pemuda yang kukenal melalui acara kencan buta."

"Oh... jadi, kalian sedang dalam masa pendekatan?"

"Haha... bisa dibilang begitu."

"Menyenangkan kalau masih muda, bisa pergi kencan buta dan berkenalan dengan banyak pria."

Kadang-kadang, kau merasa jengah dengan cara bicara ibumu, tetapi kau pun masa bodoh akan hal itu. Tak lama, Hikaru berkata ingin mengganggumu lebih dulu sebelum ia pulang. Ia pun sudah duduk di sampingmu, mengambil stick satu lagi yang tanpa kau tahu terselip di cela bawah punggung sofa.

"Ten, aku mau main juga." Pintanya.

Kau tahu Hikaru suka bermain gim Ice Hockey, jadi sudah pasti ia tergugah untuk ikut bermain bila melihatmu sedang memutar gim video tersebut. Kalian bahkan pernah bertarung dari pukul lima sore sampai sembilan malam. Namun kali ini kau tak menghiraukannya, tetap memusatkan perhatian pada layar televisi. Kalau sudah begitu, Hikaru akan mendorong tubuhmu sampai kau terhuyung ke samping. Kau berdecak dan menatapnya kesal, tapi ia menganggap kau layaknya bocah SD yang senang merajuk.

"Cepat ganti jadi dua player."

"Lebih baik kau pulang saja, Run."

"Aku harus main ini dulu sebelum pulang. Lagi pula ini belum jam makan malam."

Kau tak mau menyahut dan tetap bermain sendiri.

"Omong-omong, Ten, kapan turnamen tenis mejamu? Sebentar lagi, kan? Ah, kau juga sebentar lagi berulang tahun... Aku harus pakai dua alasan itu untuk menghindari tradisi keluargaku, pulang kampung ke rumah nenek selama akhir musim panas... Oh, dan, kau ingat dengan mesin kapsul Tropical Fruit Birds yang kubicarakan waktu itu? Aku mendapatkan informasi di mana edisi pertamanya berada, salah satu teman kuliahku yang senang berburu barang langka di mesin kapsul yang memberitahu... Figura Burung Melon-nya harus kita dapatkan, Ten!"

HealingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang