"Lepasin gue!" Jeno berusaha melepaskan cengkraman Jaehyun. Keduanya sama-sama seorang lelaki, tapi tenaga Jeno tidaklah sebesar Jaehyun. Akhirnya Jeno pula yang kalah.
Taeyong menatap kejadian di depan matanya dengan panik. Dia tidak mengira kalau pria itu hanya pura-pura tidur.
Jaehyun masih enggan melepas tangan Jeno walaupun pemuda itu terus berontak berusaha melepas diri.
"Saya akan lepasin kamu kalau kamu mau tenang dan duduk." Ucap Jaehyun tenang.
Jeno melirik kakaknya yang mana perbuatannya itu membuat Jaehyun sadar. Sadar kalau Jeno berinteraksi dengan sosok yang tidak bisa ia lihat.
Akhirnya Jeno menyerah dan memilih menuruti ucapan Jaehyun. Melawan hanya membuang tenaganya saja.
"Jadi, kenapa? Gue nggak punya waktu banyak buat ngobrol sama lo." Ucap Jeno ketus.
Taeyong yang duduk di single sofa hanya bisa memperhatikan dengan perasaan yang tidak karuan.
"Kenapa kamu bisa masuk rumah saya?" Tanya Jaehyun.
"Lewat pintu rahasia." Balasan Jeno membuat Jaehyun terkejut. Pintu rahasia, sudah jelas namanya "rahasia" tapi bagaimana bisa ada orang yang mengetahui selain dirinya.
Jaehyun tidak pernah memberitahukan tentang pintu rahasia itu kepada siapapun. Hanya dirinya dan──
"Gue tau dari Kak Taeyong." Celetuk Jeno kemudian.
Taeyong yang mengetahui tentang pintu rahasia di sebelah rumahnya.
"Nggak mungkin, Taeyong udah mati."
Jeno memukul meja kayu di hadapannya. "Gue nggak boong!"
Jaehyun menatap ke dalam mata kelereng hitam Jeno, berusaha mencari sepercik kebohongan disana. Tapi tidak ada, pemuda ini jujur.
"Tadi pagi kamu di kamar saya, ngomong sama siapa?"
Jeno menatap kakaknya spontan. Jadi yang tadi pagi itu diketahui oleh Jaehyun?
"Kak Taeyong."
Taeyong tersenyum kecil. "Jaehyun." Gumamnya.
"Kak Taeyong masih ada di dunia ini, dia nggak bisa──"
"Jeno!" Pekik Taeyong, "jangan kasih tau apapun sama Jaehyun."
Jeno menghela napasnya. "Intinya kakak gue masih ada di dunia ini. Dia lagi duduk di sofa itu." Ucap Jeno.
Jaehyun menatap kepada single sofa miliknya. Taeyong tertawa kecil karena pandangan mata Jaehyun tidak menatapnya melainkan pundaknya.
•••
Jeno menggerutu sepanjang perjalanan menuju rumah. Sedang Taeyong hanya tertawa kecil menanggapi.
"Sakit banget tau tangan gue." Adu Jeno manja pada kakaknya.
"Apa sih lebay kamu, orang merah doang itu. Besok juga udah ilang." Balas Taeyong jenaka.
"Sini lo gue pegang tangannya biar merah juga."
Taeyong terbahak-bahak. "Mana bisa, aku kan hantu!"
"Dasar setan!"
"Jeno!"
Kemudian keduanya tertawa lepas. Sembari Jeno jatuhkan tubuhnya ke ranjang empuk bersama dengan Taeyong yang duduk di ujung ranjang memperhatikan adiknya yang tertawa begitu lepas.
Indah sekali. Jeno, sudahkah kamu merasa bebas?
Jeno mengusap dadanya setelah tertawa lumayan lama. Matanya menatap sang kakak yang juga sedang memandangnya. "Kak."
"Hm, kenapa?" Balas Taeyong lembut.
"Makasih."
Taeyong memandang adiknya bingung.
"Makasih udah hadir di hidup gue dan jadi hadiah ulang tahun terbaik."
Taeyong tersenyum sekali lagi, tidak bisa menahan air matanya yang hampir menetes yang berusaha ditahannya.
Jeno ikut tersenyum. "Boleh minta peluk nggak?"
Mengangguk, Taeyong majukan tubuhnya tuk peluk sang adik. "Mungkin kakak nggak bisa gendong kamu waktu kamu bayi, tapi kakak seneng karena bisa peluk kamu kaya gini."
Jeno tenggelamkan wajahnya pada pundak sang kakak. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, tapi mana bisa, pelukan Taeyong adalah pelukan paling hangat. Sama persis seperti pelukan bunda.
Taeyong tadinya tidak mau menangis, dia tidak ingin menangis dan membuat Jeno ikut menangis pula. Tapi rupanya adiknya ini malah lebih cengeng sehingga ia jadi tertular.
Jeno tertawa dalam tangisnya. "Lo ngapain nangis segala?"
"Gara-gara kamu!" Pekik Taeyong tidak terima. Masih dalam keadaan berpelukan. "Jeno, kakak sayang banget sama kamu."
"Gue juga. Makasih udah jadi kakak gue."
"Makasih udah lahir ke dunia ini dan jadi adik kakak, di kehidupan selanjutnya kakak janji akan hidup buat kamu."
"Janji?"
"Um!"
•••
"Lee Jeno!" Panggil seorang murid bernama Bangchan.
"Ya?"
Bangchan tersenyum. "Kemaren gue liat cara main basket lo keren dan berpotensi jadi pemain yang bagus. Lo berminat ikut club basket kita? Kalo iya gue dan anggota yang lain bakal berterimakasih banget."
Jaemin di samping Jeno menatap takjub. "Gila loh! Ditawarin sama ketuanya langsung! Terima!"
Jeno menatap Jaemin kesal. Berisik banget padahal masih pagi.
"Gue pikir-pikir lagi, bang." Balas Jeno.
"Nggak apa-apa, kalau gitu ini selebaran buat lo. Ada jadwal latihan dan informasi lainnya, nomor gue juga ada disana. Jadi lo kalo minat atau mau tanya-tanya langsung chat gue aja, ya."
"Iya, makasih."
Bangchan tersenyum kikuk, walaupun Jeno dingin dan cuek setidaknya pemuda itu tidak mengusirnya atau yang paling parah tidak mau mendengarkan penjelasannya.
"Huft, padahal dulu gue pengen banget ikut basket."
"Kenapa nggak ikut?"
"Nggak dibolehin Mama gue."
Jeno menatap Jaemin penasaran. "Kenapa?"
"Katanya gue lebih cocok ikut ekskul masak supaya bisa masakin lo tiap hari." Balas Jaemin dengan senyum jenaka.
"Orgil."
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
Do You Remember Me?✅
Fanfiction[ON GOING] Diulang tahunnya yang ke-17 Jeno mendapatkan kemampuan untuk melihat arwah kakaknya yang sudah meninggal. © kelonin, 2021. ⚠ BxB, Angst, Hurt, Death Character, Attempted Suicide. Inspired by Happy Birthday Series.