Setelah ditawari club basket oleh kakak kelasnya, Jeno menjadi lebih bimbang. Haruskah ia mengikuti atau tidak? Dia belum mengatakan hal ini kepada orang tuanya, dia takut ayah atau bunda tidak memberinya ijin.
Taeyong melirik adiknya, tersenyum kecil kemudian. "Kalo hatinya yakin ya ikut aja nggak apa-apa, kalo suka kenapa enggak?"
Jeno menghela napas. "Gue perlu ijin ke bunda dulu nggak?"
Taeyong mengangguk.
Jeno meraih ponselnya dan menekan ikon nomor 1. Sambungan langsung kepada bunda.
"Halo."
"Mau ikutan denger." Bisik Taeyong.
"Oke."
"Halo? Jeno, kenapa nak?"
Taeyong tersenyum haru, mendengar suara bunda membuat hatinya senang sekaligus sesak. Dia ingin sekali menyahuti bundanya, dia ingin bundanya tahu bahwa dirinya ada di dunia ini. Masih bersama mereka selama tujuh belas tahun terakhir. Tapi itu tidak mungkin terjadi, sekeras apapun dirinya berteriak. Tidak akan ada orang yang mendengarnya.
"Bunda, apa kabar?"
Terdengar tawa dari seberang sana, merdu sekali. "Bunda baik aja disini, kamu gimana disana? Maaf ya bunda belum bisa pulang, ayahmu lagi banyak kerjaan disini."
"Nggak apa-apa bun."
"Jeno mau bilang apa sama bunda? Tumben banget telpon malem-malem."
"Jeno kangen bunda."
Yoona terdiam beberapa saat kemudian. Tak sanggup tuk balas ucapan sang putra yang merindukannya, merindukan sosok ibu yang tidak selalu hadir dalam saat-saat penting anaknya. "Bunda juga kangen Jeno, kangen banget. Bunda selalu pikirin Jeno disini, disana Jeno baik-baik aja kan? Makannya teratur?"
Taeyong yang turut mendengarkan percakapan sepasang sosok ibu dan anak itu tersenyum. Mengusapi punggung adiknya yang mulai bergetar. Mungkin Jeno adalah pemuda yang kuat, tubuhnya besar dan gagah, tatapannya tajam, dia bahkan mengaku bisa hidup tanpa seorang pun disisinya. Tapi ketika dihadapkan oleh sosok bundanya, Jeno kalah telak. Jeno rela dikata cengeng, dia sungguh tidak bisa menahan air matanya untuk jatuh setelah mendengar suara sang ibunda sejak pertama telepon tersambung.
Taeyong tahu, bunda dan Jeno sama-sama tersakiti. Mereka berdua berjuang bertahan dengan ayahnya yang keras beberapa tahun terakhir ini. Ayah bukan tanpa sebab menjadi orang yang keras, itu karena hatinya yang baik disakiti oleh orang yang paling dia cintai dan ia percayai. Bahkan, ayah harus kehilangan putra pertamanya tanpa kata.
"Jeno baik disini bunda. Jeno nggak sendirian lagi, bun, nggak kesepian lagi."
"Oh ya? Jeno udah punya temen?" Tanya Yoona antusias. Jelas sekali suara wanita itu serak sehabis menangis.
"Hm, Jeno punya temen baru di hari ulang tahun Jeno kemaren." Ucapnya sembari menatap sang kakak di sebelahnya. Taeyong tersenyum.
"Ini Taeyong, bunda." Lirih Taeyong.
Jeno menatap menggenggam tangan sang kakak lembut. "Katanya halo bundanya Jeno."
"Mana? Kok nggak kedengeran suaranya? Sini deketan." Ucap Yoona.
Taeyong tersenyum lucu. "Maaf ya bunda, yang bisa denger suaraku cuma Jeno."
Jeno tertawa. "Lagi sakit tenggorokan bun, besok kalo dia udah sembuh pasti dia ngobrol kok sama bunda."
"Bunda tungguin ya, bunda pengen denger suara orang yang berhasil bikin anak bunda jadi ceria."
"Ceria? Emangnya sebelumnya murung terus?"
"Hmm~ rasanya suara kamu pun udah berubah, Jeno. Kamu kaya lagi seneng banget, iya?"
"Banget bunda. Hari ini Jeno ditawarin ikut club basket di sekolah, makanya Jeno mau bilang ini ke bunda. Bunda kasih ijin Jeno untuk ikut?"
"Pasti bunda ijinin, bunda seneng akhirnya Jeno mau ikut kegiatan. Cari temen yang banyak ya biar bisa main."
Jeno tertawa. "Iya pasti."
•••
Pagi itu ketika hari masih gelap. Jeno tidak sengaja terbangun awal, dengan wajah khas baru bangun tidur ia mendapati ponselnya berdering tanda telepon masuk.
Rupanya itu dari si tetangga sebelah, Jaemin yang menelponnya pagi-pagi sekali. Entah apa yang pemuda itu rencanakan.
"Halo?"
"Hai, pagi!" Sapa suara ceria dari seberang.
"Ada perlu apa?"
"Buset ngegas bener."
"Buruan, gue sibuk."
"Oke santai, gue mau ajak lo jogging. Minat?"
"Jam berapa?"
Terdengar pekik dari seberang. "Jam 7 pagi ya?!"
"Ok." Setelahnya sambungan dimatikan oleh Jeno. Sungguh, dia tidak mau terlibat urusan dengan Na Jaemin lebih dari ini. Pemuda itu sangat berisik dan merepotkan.
Ketika dirinya berniat akan kembali tidur, tanpa sengaja matanya menatap sosok pria tinggi berdiri tepat di depan gerbang rumahnya.
Jeno mengusap matanya, takut-takut hanya salah lihat mengingat dirinya baru saja bangun tidur. Tapi walaupun sudah membersihkan matanya, sosok itu masih tetap berdiri di sana dan tidak berpindah sedikitpun.
Jeno jadi takut, bulu kuduknya berdiri. Daripada hantu, itu lebih terlihat seperti manusia.
Dengan terburu-buru Jeno meraih tongkat baseball yang ada di belakang pintu kamarnya. Membawanya turun ke lantai satu dan mendatangi pagar rumahnya.
"Siapa lo?" Tanya Jeno. Setelah didekati sosok itu juga tidak berlari atau kabur. Berarti bukan maling. Terus apa? Psikopat?
Jeno menggerutu, dia ingin berteriak tapi rasanya kaku. Disaat seperti ini kakaknya dimana sih?!
"Jeno, ini saya." Ucap sosok itu.
Setelah mendengar suara yang amat dikenalnya Jeno langsung terdiam. "Bang Jaehyun?" Panggilnya.
"Iya, ini saya Jaehyun." Ucapnya sembari membuka tudung hoodie.
"Ngapain lo kesini pagi buta, mana pake hoodie kaya maling aja. Mendingan langsung pencet bel jangan berdiri gitu, gue hampir teriak maling tadi!" Ucap Jeno panjang lebar.
Jaehyun tertawa menyaksikan Jeno yang selama ini ia ketahui pendiam dan cuek menjadi sangat cerewet begini.
"Maaf ganggu pagi-pagi begini."
"Nggak usah minta maaf kalo tau salah." Ketus Jeno. "Ada urusan apa kesini?" Tanyanya setelah membuka pintu gerbang untuk tamu tak diundang tersebut.
"Saya pengen ketemu Taeyong."
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
Do You Remember Me?✅
Fanfiction[ON GOING] Diulang tahunnya yang ke-17 Jeno mendapatkan kemampuan untuk melihat arwah kakaknya yang sudah meninggal. © kelonin, 2021. ⚠ BxB, Angst, Hurt, Death Character, Attempted Suicide. Inspired by Happy Birthday Series.