"Iya maaf...kenyataanya gini, Nathan." Jawab dokter itu dengan mata yang berkaca-kaca, tapi sang dokter masih berusaha untuk memberi sebuah senyum.
Ia tertunduk menapat ujung sepatunya sembari menahan tangis. "Kak, aku mohon sama kakak jangan kasih tau siapa-siapa soal ini apa lagi Kezia." Mohonnya.
Dokter itu berdiri menepuk pelan bahu lebarnya, "Akan kakak jaga, Kakak paham keadaan kamu sekarang." Tari tersenyum getir, sebenarnya ia pun sudah tidak tahan untuk menahan tangisnya.
Nathan berdiri dari kursinya. "Terimakasih, kak. Aku izin pamit." Ia berjalan keluar dari ruangan dokter itu. Berjalan pergi meninggalkan Rumah Sakit ini.
Ia memandang langit dengan sebuah perasaan yang sangat-sangat hancur.
"Aku harap Tuhan kasih waktu yang lebih panjang."
***
Aku duduk di anak tangga, di tempat yang sama seperti dulu aku menangis di pundak Nathan untuk melepas semua penat tentang pahitnya kehidupan. Tempat itu menjadi tempat favorite ku dan Nathan, kami sering mengunjunginya. Tempat untuk melepas kesedihan dan kebosan hanya dengan memandang birunya laut. Dengan itu semua keluh kesah tentang dunia akan hilang sesaat.
Malam ini bulan purnama bersinar begitu terang, bintang banyak berhamparan di langit luas.
"Dulu kalau aku ga ketemu Nathan mungkin udah beda alam kali ya," kekeh ku pelan.
"Dulu kalau ga di tenangin Nathan pas kejadian malam itu mungkin aku udah loncat ke laut kali ya." Aku kembali mengingat bagaimana lelaki itu datang saat aku sudah putus aja.
"Nathan Nathan Nathan."
"Apa."
Suara yang datang itu sangat mengejutkan ku. Aku disana sendirian, namun tiba-tiba ada yang menyaut? Spontan aku langsung berdiri, melotot terkejut dengan kehadiran Nathan yang kini telah berdiri di samping ku.
Aku mengucek-ucek mata ku seakaan itu cuma halusinasi ku, "Beneran kamu?" Aku memukul pundak nya.
Tiba-tiba...
Srebb..
Dia memelukku erat. Erat se erat mungkin, seperti orang yang tidak ingin aku pergi jauh. Aku membalas pelukan itu.
Disaat itu aku dengar sebuah isakan dari seorang Anathan, lelaki yang tak pernah menangis di hadapan ku, ini kali pertamanya ia menangis terisak seperti itu. Aku mengelus pundaknya, menyalurkan sebuah energi untuk menenangkannya.
Aku membiarkan ia menangis dalam pelukan itu, kini gantian. Dulu aku yang pernah menangis di seperti ini.
Aku tidak tahu hal apa yang membuat seorang seperti dia bisa menangis terisak. Dulu dia tak pernah menangis sehebat ini di depan ku.
Ia melepas pelukan itu.
"Duduk dulu." suruhku.
"Kamu kenapa?" tanyaku.
Dia hanya menggeleng menatap lurus pada laut biru di malam hari ini.
"Minum dulu ni." Aku memberikan sebotol air mineral itu kepadanya. "Tenangin diri kamu dulu, sini cerita sama aku." sambungku.
Ia mengambil air itu, menarik nafas berat. Berusaha menenangkan dirinya, aku menggengam erat dan mengelus punggung tanganya, menatap matanya yang basah.
Aku bingung harus ngapain!!
Ia mulai bersuara dan berkata, "Kezia aku sayang banget sama kamu." Ia balik menatapku.
Aku mengerutkan kening ku agak bingung dengan sikap dia malam ini. "Iya aku juga tau, aku juga sayang banget sama kamu." Aku tersenyum bahagia ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Dan Pelangi [END]
Teen FictionUntuk dia pemberi tawa namun menyimpan banyak luka. "Jia, kebahagian itu cuma diri kamu sendiri yang bisa ciptakan bukan orang lain."-Nathan. "Tapi kamu kebahagian aku."- Kezia. ©Gemimi08, 2022 Start: 25 Mei 2022- 24 Maret 2023(Rewrite) Finish: 17 J...