Sekitar pukul 7 pagi, Kael dan Derstan sudah berada di bawah pohon tempat biasa mereka bertemu. Taman masih terlihat sepi karena hari yang masih pagi. Pagi ini, mereka akan melakukan sesuatu yang Derstan ucapkan kemarin, yaitu menulis angka terakhir.
"Jadi bagaimana?" tanya Kael.
Derstan tersenyum tipis lalu menunjukan kertas dan bolpoin yang ia bawa.
Kerutan tipis muncul di kening Kael. "Apa yang akan kita lakukan dengan itu?" tanyanya bingung.
"Kita akan menulis angka terakhir kita, lalu menguburnya di bawah pohon ini," jawab Derstan.
"Kenapa harus menguburnya?"
Senyum Derstan kini melebar. Kael dengan jiwa penasarannya benar-benar lucu di mata Derstan. "Tidak apa-apa. Mari kita lakukan," ucapnya, seraya memberikan satu lembar kertas dan satu bolpoin pada Kael.
Dengan senang hati Kael menerima kedua benda itu dari Derstan. Namun saat hendak berjongkok mengikuti Derstan, ia bertanya. "Tunggu, bagaimana cara menulis angka terakhir?"
Derstan yang sudah dalam posisi berjongkok, menengadahkan kepalanya lalu terkekeh. Astaga, ia lupa menjelaskan hal itu. "Tulislah sesukamu, apa pun itu, tetapi menggunakan biner. Jangan lupa jumlahkan angkanya," jelasnya, sambil menarik pelan pergelangan tangan Kael agar gadis itu berjongkok di hadapannya.
Penjelasan Derstan mungkin singkat, tapi membuat senyum Kael mengembang.
"Mmnn, baiklah," ucapnya sambil membenarkan posisinya dan mulai menulis apa yang ingin ia tulis.
Berbeda dengan Kael, alih-alih mulai menulis, Derstan justru malah memperhatikan wajah Kael yang nampak serius. Posisi kepalanya yang menunduk membuat ia dapat dengan jelas melihat panjang dan lentiknya bulu mata Kael.
Cantik, ucapnya dalam hati.
Kael yang merasa tengah diperhatikan lantas mengangkat pandangannya, membuat maniknya dan manik Derstan saling bertemu untuk beberapa saat.
"Ada apa?" tanya Kael.
Derstan tersenyum kecil, lalu menggulingkan kepalanya. "Enggak papa," jawabnya, sambil mulai menulis.
Melihat tingkah Derstan, Kael merasa bahwa lelaki di hadapannya ini tengah salah tingkah. Terlihat dari gelagatnya yang cukup kaku. Hal itu membuat Kael tersenyum dan melanjutkan tulisannya.
"Ini untukmu, pengirim pesan. Dan angka terakhir untukmu adalah, tidak, maksud ku angka terakhir sebelum aku benar-benar sembuh adalah 2545 'Aku ingin bersamamu, selamanya.'."
Kael menulis menggunakan huruf latin, kecuali pada kata 'aku ingin bersamamu, selamanya', ia mengunakan angka biner.
"Sudah?" tanya Derstan.
Kael mengangguk. "Mmnn, sudah."
Derstan ikut mengangguk. "Baiklah, sekarang kita kubur di sini," ujarnya, seraya mengambil sekop kecil untuk menggali tanah.
Kael memperhatikan Derstan yang mulai menggali tanah dengan senyum yang tak pernah luntur di bibirnya. Entahlah, ia hanya merasa bahagia saat ini, benar-benar bahagia.
"Sini kertasmu," pinta Derstan pada Kael.
Deras memasukan kertas keduanya ke dalam sebuah plastik lalu menguburnya. Selesai mengubur kertas berisi angka terakhir masing-masing itu, Kael dan Derstan menyatukan kedua tangannya dan mengucap doa dalam hati.
Kabulkanlah permintaanku, itu tidak susah. Aku hanya ingin bersamanya, selamanya. –Kael
Buatlah dia bahagia. Jangan pernah membuat dia mengeluarkan setetes air matanya, meskipun aku tidak bisa bersamanya. Aku benar-benar mencintanya. –Derstan
KAMU SEDANG MEMBACA
796 Angka Terakhir [Tahap Revisi]
Cerita Pendek[END] Kisah dua orang yang menderita penyakit mematikan. Keduanya dipertemukan oleh sebuah angka biner, namun dipisahkan oleh kematian. Angka terakhir dan pesan suara dari sang kekasih menjadi penutup semuanya. "796 adalah angka terakhir yang kau be...