Selesai meeting, Willy dan Gerald menyempatkan untuk makan siang bersama. Mereka memang bekerja di satu perusahaan yang sama yaitu milik Willy sendiri. Makanya mereka sering bagi tugas. Mereka memutuskan untuk makan di kafe dekat area kantor.
" Hari ini untung klien setuju dengan pengajuan proposal kita," ujar Willy dengan menaruh sendok nya setelah makanannya habis dipiring. Maklum kafe disini termasuk bintang lima jadi sajian nya sedikit meskipun mahal. Bukan begitu?
" Yah, semua berjalan dengan lancar. Aku senang bisa menaklukkan klien kita yang sedikit ulet dan keras kepala itu" jawab Gerald sesaat setelah menyeruput kopinya. Makannya? Tentu sudah habis.
" Itulah pentingnya mengenal karakter klien. Ayah pikir dia akan marah setelah kamu datang terlambat. Tapi jika pun begitu, tidak masalah. Kita masih bisa mencari kolega yang ingin bekerja sama dengan perusahaan kita. Ayah tahu dia tipe orang yang rumit"
" Oh iya Yah! Tadi aku hampir telat karena Yasa kambuh! Dia mogok makan dan minum obat. Katanya gara gara Ayah tidak mendaftarkan dirinya sekolah"
" Apa?! Tapi sekarang dia sudah tidak apa-apa kan?" Willy tampak begitu kaget
" Iya tadi setelah aku menolongnya sih dia sudah mulai normal lagi. Tapi Yah, kenapa sih Ayah tidak mendaftarkan dia saja, jujur aku khawatir tapi terus menerus menjanjikan hal yang tanpa pernah bisa diwujudkan itu sama saja kita telah membohonginya. Aku pikir kita harus belajar memberinya kepercayaan, agar dia dapat menjaga kondisi nya sendiri. Dia juga butuh pergaulan yang sedikit lebih luas, dari pada dia juga terus menerus mengancam kita begini dengan acara mogok makan dan sebagainya"
" Ayah hanya takut, dia bertindak diluar batas nya"
" Maka dari itu kita harus belajar percaya padanya, biarkan dia menikmati masa muda nya."
" Akan Ayah pikiran, mungkin sehabis ini Ayah akan bicarakan hal ini pada teman SMA Ayah yang memiliki Yayasan sekolah swasta di kota ini. Menjelaskan kondisi Yasa sekaligus mendaftarkan dia kesana"
"Aku rasa Begitu juga tidak buruk" jawab Gerald.
Percayalah jika Yasa mengetahui hal ini pasti dia akan berjingkrak kesenangan, Ah! Pokoknya lupa kondisi lah! Dan pasti dia akan sangat sangat berterima kasih kepada Abang nya itu. Sedingin dinginnya Gerald dia tetap Abang yang paling peka dan perhatian. Dia juga khawatir jika Yasa sakit. Tapi juga tidak tega melihat Yasa begitu.
Sore menjelang malam, tumben sekali mobil Tuan besar itu sudah memasuki garasi rumah. Dia membawa beberapa paper bag dikedua tangan dan jas dipundaknya. Tanpa pikir panjang dia melangkah menuju kamar Yasa. Ketika sampai diruang tengah, ternyata sang anak sedang belajar bersama guru privat nya.
" Yasa! Ayah pulang, sore Bu Intan!" sapa Willy disenyumi oleh wanita muda itu. Tapi justru anaknya itu tampak tidak menghiraukan sapaannya.
" Yasa, Ayah membawa berita gembira untuk mu"
" Mungkin untuk Ayah saja, bukan untukku. Ayah kan selalu ingkar janji" jawab Yasa tanpa melihat kearahnya Sama sekali. Jawaban Yasa tepat menohok perasaan Willy didepan guru itu yang tampak canggung.
"Baiklah, kalau kamu tidak ingin mendengar nya, tapi untuk Bu Intan. Mulai besok, Ibu tidak Perlu rutin kerumah datanglah jika perlu bantuan dan jika ingin bertemu dengan Yasa. Karena mohon maaf sekali, lusa Yasa sudah masuk ke sekolah umum, di sekolah Satria Bangsa." Ujar Willy yang seketika membuat Yasa melotot dan berlari memeluk nya.
" Ayah serius??" matanya penuh binar bertanya kepada Willy
" Hei, katanya tidak ingin mendengar ini, ini kan hanya untuk Ayah saja berita nya," ledek Willy pada sibungsu
" Ayah!"
" Iya- iya, makanya jangan ngambek terus, ini keperluan mu, buku tas sepatu bahkan seragam mu Sudah ayah belikan. Besok tinggal berangkat! Senang tidak?!"
" Tentu saja!!"
" Tapi harus janji, jaga kondisi mu ya. Tidak mau kan ayah menarik ulang keputusan Ayah?"
" Siap kapten!"sigapnya
" Bu intan, sekali lagi terimakasih banyak atas Waktu dan ketelatenan nya mengajari Yasa, maaf sekali lagi jika keputusan nya begitu mendadak. Dan ini ada uang gaji Ibu sisa beberapa Minggu terakhir dan serta pesangonnya" Willy menyerahkan amplop coklat itu kepada Bu Intan.
" Iya pak tidak apa-apa, saya senang kalau Yasa bisa mengikuti sekolah umum sebab lingkungan pergaulan yang begitu sempit juga tidak baik, bisa membuatnya tertekan. Untuk itu Yasa jaga kondisi, sekolah yang rajin dan jika ada yang ingin ditanyakan atau ada yang Yasa tidak mengerti di pelajaran sekolah, bisa tanyakan ke Ibu oke?"
" Baik Bu Intan" senyum merekah terukir diwajahnya
" Terimakasih juga Pak Willy telah mempercayakan Yasa pada saya, kalau begitu saya pamit ya Pak, Yasa!" Bu Intan undur diri.
" Iya Bu, " jawab keduanya kompak.
" Ya sudah, Yasa mau memberi tahu Bi Sumi dulu. Mau pamer hehehe" bocah itu ada ada saja, membuat Willy menggeleng. Tidak tahu menurun dari mana sifatnya yang seperti itu. Dalam hati juga senang sih melihat nya segembira itu. Rasanya jarang sekali dia melihat senyum manis Yasa yang semakin mirip almarhumah ibunya, manis sekali seperti kembang gula.
Dengan girang nya bocah yang habis marah dan mogok makan siang tadi itu, berjalan menuju dapur hanya untuk memberi tahu Bi Sumi yang sedang memasak untuk makan malam.
" Bi! Bi! Bi Sumi! Lihat deh, Yasa bawa apa" dia mengangkat paper bag nya tinggi
" Ada apa sih Mas, sebentar ya, Bibi lagi memasak nih" Sumi mana sempat memperhatikan Yasa, dirinya sedang menggoreng telur, nanti gosong bagaimana. Pokoknya baik Tuan besar nya pulang tidak pulang, makan tidak makan, dia tetap memasak untuk mereka dengan porsi yang tidak terlalu banyak memang dia tahu ukuran Makan tuannya, bahkan menu khusus untuk Yasa juga dia buat. Karena itu kewajiban nya atas pekerjaannya. Jadi jika tiba-tiba majikannya pulang seperti sekarang ini dia tidak akan kena marah. Meskipun nyatanya selama bekerja disini tidak sekalipun dia kena marah salah satu majikannya. Kalaupun tidak dimakan oleh majikannya, biasanya yang makan yah supir, satpam dan dia sendiri. Itu sih perintah tuannya.
" Bi Sumi mah!" kesalnya.
" Ada apa sih Mas, hmmm" Sumi menoleh setelah sebelumnya mematikan kompor
" Lusa Yasa jadi sekolah! Ini lihat, keperluan nya sudah Ayah belikan" sudah dia bilang kan dia mau pamer.
" Wah syukur deh, Tuh kan apa Bibi bilang pasti Bapak akan memenuhi permintaan Mas Yasa!"
" Iya deh, Bibi benar kali ini hehe, udah lah Yasa mau unboxing dulu" Yasa melenggang pergi ke kamar
Begitulah tingkah Yasa yang kadang membuat seisi rumah geleng-geleng kepala. Ada ada saja, rasanya begitu mengherankan, tapi itu masih mending, daripada dia yang marah-marah dan mengancam ini itu.
Pagi, Yasa datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Is It Too Good To Be True?
FanfictionAku hanya ingin, dimengerti, menjadi perhatikan seutuhnya. Tidak selamanya, hanya sampai sejauh aku bisa bertahan. Tapi bahkan tidak ada dari kalian yang meyakinkanku untuk berharap itu. Apa itu terlalu mustahil untuk diwujudkan?