5#

195 32 8
                                    

Pagi ini, dia keluar dengan seragam sekolah yang telah dibelikan Ayahnya kemarin. Dari sekian tahun lamanya sejak kepergian sang ibu, mungkin ini kali pertama senyum paling bahagia nyata terpatri di wajah polos Yasa. Beberapa buku telah dimasukkan kedalam tasnya. Termasuk obat nya. Kemudian dia keluar kamar menuju meja makan. Tapi, tidak ada siapapun disana. Selain, Bisa Sumi yang sedang menyiapkan makanan untuk nya.

" Loh, Ayah dan Abang udah berangkat Bi?" remaja itu menarik kursi

" Sudah Mas, tadi pagi pagi sekali. Ada pertemuan klien dan tidak mau terlambat begitu katanya"

" Oh, aku kira Ayah mau mengantar Yasa ke sekolah" Yasa terlalu berharap seperti nya.

" Tapi,Tuan Willy tadi bilang. Nanti Mas Yasa akan di temani wali kelas untuk menunjukkan kelas Mas Yasa. Katanya sih, Mas Yasa harus keruang kepala sekolah dulu, dan pulang pergi nya nanti diantar Pak Burhan seperti biasa." Bi Sumi menyiapkan Obat Yasa yang harus diminum pagi itu di piring kecil.

" Iya Bi, Yasa paham" senyum Yasa. Sebenarnya dia itu ingin sekali diantar Willy dihari pertama nya ini. Tapi mereka tidak mengerti, tidak, mereka memang tidak pernah mengerti apa yang diinginkan Yasa sepertinya.

" Obat-obatnya Mas Yasa sudah dibawa?"

" Harusnya mereka yang bertanya seperti itu Bi, " desis Yasa pelan sekali. Memang mestinya sih keluarganya yang menanyakan hal itu, tapi Justru ini Bi Sumi yang notabennya bukan siapa-siapa untuk Yasa. Tapi Yasa beruntung dan tetap bersyukur setidaknya masih ada Bi Sumi yang begitu peduli padanya.

" Bagaimana Mas??"

" Hah?! Tidak-tidak, Yasa sudah memasukkan nya ke tas Bi," Yasa melanjutkan sarapan.

Dari pada harus berlarut larut memikirkan keluarganya yang tidak bisa mengerti dirinya, bukankah mengatur mood dan memfokuskan diri ke sekolah lebih tepat untuk saat ini? Yasa menyantap makanan sembari mengatur mood nya kembali. Mengembalikan emosi dan mentalnya.

Hari pertama masuk dan menginjakkan kakinya di sekolah yang tidak sama sekali ia bayangkan ia berjalan sendiri menunju ruang guru. Matanya menelusuri setiap bangunan sekolah yang nampak disekitarnya.

"Pagi Bu, "Yasa menemui beberapa guru dikantor.

" Iya ada apa ya??" jawab seorang guru perempuan.

"Saya mau bertanya ruang kepala sekolah nya dimana ya?"

" Oh kamu murid baru itu ya?" tanya guru itu pada Yasa

" Iya "

" Oh, kebetulan kepala sekolah sedang ada urusan diluar. Beliau kebetulan berpesan kepada saya untuk mengantar kamu ke kelas. Dan kamu masuk ke XI MIPA 2. Saya wali kelasnya . Mari saya antar"

" Baik Bu! Terimakasih"

Bersama dengan guru itu, dia diantar ke kelasnya.

Sampainya dikelas ternyata sudah ada guru Fisika yang baru saja memulai pelajaran. Melihat Yasa dan wali kelas mengetuk pintu kelas yang sebenarnya terbuka itu, Lalu guru Fisika pun mempersilahkan masuk. Kemudian Guru-guru itu memperkenalkan siapa Yasa, dikelas barunya. Setelah itu Yasa dipersilahkan duduk dikursi baris kedua dari belakang dan berada didekat jendela. Dan wali kelasnya pun pergi setelah mengantarkan murid barunya.

Gugup, itu yang sedang dirasakan Yasa. Sebab pertama kali untuknya belajar diruang kelas dengan banyak teman. Dia fokus ke arah guru fisika itu. Semua teman -temannya juga begitu, hanya beberapa orang saja yang terlihat asik bermain kertas atau menggambar sendiri dibukunya.

Bel berbunyi, untuknya yang baru, kantin yang menjadi serbuan siswa-siswi bukanlah tempat yang biasa Yasa kunjungi, bahkan tidak pernah sebelumnya. Jadilah dia mengeluarkan sebuah kotak nasi dengan nasi merah dan beberapa sayuran yang sudah disiapkan oleh Bi Sumi. Sebenarnya bosan, tapi kalau makan sembarangan namanya bermain-main dengan kehidupannya sendiri.

Sepasang mata itu menatap ke arah Yasa. Rupanya murid baru yang dia abaikan tadi, tidak kekantin dan justru membawa bekal sendiri. Apa teman-temannya yang lain juga tidak ada yang menemaninya atau mengajaknya kekantin? Tapi, dia sendiri sudah menyiapkan bekal. Apa tidak punya uang untuk membeli jajan? Tapi, dilihat-lihat dari ujung kaki hingga ujung kepala, dari apa yang dia pakai, dari wajahnya yang bersih seperti tidak pernah terkena debu jalanan. Dia itu bukan dari keluarga kekurangan. Begitu pikir pemuda yang memiliki tahi lalat dibagian bawah mata sebelah kanan.

"Nggak kekantin?" tanya pemuda ini yang akhirnya memutuskan untuk menghampiri Yasa.

" Ngga, udah bawa bekal. Mau?" tawar Yasa

" Ngga" jawab tegas pemuda ini, setelah melirik bekal Yasa yang berisi nasi merah dan sayuran. Itu bukan seleranya.

"Yasa Yudistira." Yasa mengulurkan tangannya dengan senyum lembut dan matanya hampir hilang karena senyumannya sendiri.

"Garda Alvian" pemuda itu membalas.

Garda duduk di bangku salah satu siswa yang sedang ditinggal kekantin. Dia memandang Yasa yang sedang memakan bekalnya. Dipikirannya sekarang, apa enaknya bekal Yasa itu. Benar-benar jauh dari selera Garda yang hobi makan makanan cepat saji dan bercita rasa pedas dan gurih.

" Pindahan dari mana?" tanya Garda ketika Yasa baru menyelesaikan makan.

" Dari rumah" jawab singkat Yasa yang sedang sibuk membereskan kotak bekal dan mengeluarkan botol minumnya.

" Serius gue nanya, ngga usah becanda" lirik kesal Garda pada Yasa

" Iya serius. Gue homeschooling, jadi baru sekolah umum pertama kalinya"

" Kenapa?"

" Kata Ayah, agar lebih fokus dan bebas bertanya"

" Memang kalau sekolah umum tidak fokus? Dibatasi untuk bertanya?"

" Kalo dibatasi bertanya sih nggak terlalu jelas, tapi temen-temen pasti bakal berpikir yang nggak-nggak, kan? Kalo gue terus menerus tanya"

" Masuk akal, tapi ngapain musti denger omongan orang lain. Cuek aja kan bisa"

" Entahlah, Ayah maunya gitu sih dulu."

" Lu penurut banget ya? Makan pake bawa bekal, minum bawa sendiri. Dan mau maunya disuruh homeschooling, ngga bebas tau. Malah keliatan manja"

" Iyakah?"

" Menurut gue"

" Lu aja yang belum kenal gue, makanya ayo berteman, biar lu bisa tau gue sebenarnya kayak apa" senyum Yasa

" Kasih gue alasan kenapa musti gue berteman sama lu? Dan kenapa gue musti tau tentang lu? " Garda berdiri dengan tatapan sinis

" Biar nggak suka nilai orang sekilas aja."

Jawaban Yasa membuat Garda termenung, kemudian meninggalkan Yasa begitu saja. Menurut Garda jawaban Yasa cukup berani dan cerdas, dan membuat dirinya sadar bahwa dia telah melakukan Kesalahan kali ini. Terlanjur gengsi untuk kembali kebangku Yasa hanya untuk menerima tawaran Yasa.





Garda Alvian

Halo semuanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Halo semuanya

Terimakasih kesabaran nya. Yasa Dateng! Selamat membaca, semoga terhibur. Thanks untuk voment temen temen. Jaga kesehatan dan jangan lupa makan. 

Is It Too Good To Be True?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang