Desty, dia tahu bahwa tidak selamanya dia bisa bekerja di perusahaan itu. Ada sepersekian kemungkinan yg membuat nya takut kehilangan pekerjaan dan membiarkan kehidupan penuh penderitaan melingkupi nya dan adiknya sebagai satu-satunya keluarga yang bersamanya. Akibat rusaknya hubungannya dengan Ayahnya, yang berakhir begitu buruk dan menyisakan rasa benci dan saling acuh antara Desty, Adiknya dan Ayahnya. Ibunya, sudah meninggal sejak beberapa tahun lalu.
Ayahnya sekarang juga tidak tahu dimana, dia pergi dan sibuk dengan kehidupannya sendiri. Tanpa memikirkan dia dan Adiknya yang kini masih terluka. Bahkan adiknya harus bekerja apapun untuk mendapatkan uang untuk biaya sekolah nya sendiri sementara kebutuhan kehidupan sehari-hari mereka itu masih menjadi tanggung jawab Desty sebagai Kakak.
" Bagaimana Des?"ucap lelaki didepannya dengan menggenggam tangannya diatas meja di kafe bernuansa romantis ini.
"Tapi mas, Gerald dan Yasa bagaimana?" tanya nya.
"Aku akan bicarakan ini dengan mereka, aku yakin mereka akan menerima hal ini. Yang penting kamu menerima lamaran ku?"
"Bagaimana kita lihat respon Gerald dan Yasa dulu?"
"Baiklah, aku berharap kita bisa bersama Des, aku ingin Yasa mendapatkan seorang Ibu yang bisa selalu menemani dirinya saat aku tidak bisa. Begitu juga Gerald. Dan aku yakin kamu bisa menjadi sosok itu."
Desti hanya tersenyum dan mengangguk mendengar perkataan Willy. Dia tidak perduli jika nantinya dia harus menjadi Ibu yang memiliki dua anak laki-laki, dengan suami yang berumur satu dasawarsa di atasnya. Yang dia peduli setidaknya kehidupannya dan Adiknya bisa terus stabil. Toh upaya nya bersikap baik selama ini juga untuk mendapatkan hati bosnya itu.
"Semoga ya Mas."
Senyum Willy seketika merekah mendengar ucapan Desty yang ternyata mengharapkan hal yang sama juga.
Sementara itu, disisi lain Yasa menyodorkan sebotol air mineral pada Garda yang duduk diatas meja setelah keluar dari ruang BK. Wajahnya tampannya tampak kusut dengan sedikit memar disudut bibirnya. Matanya terus memandang kearah musuhnya. Yasa tahu dia masih kesal, otak Yasa mencari alibi mengalihkan perhatian Garda.
"Da, pernah bolos?" tanya Yasa.
Pandangan Garda tidak lepas dari objek perhatiannya itu, meskipun mulutnya berkata dan tangannya bergerak memutar segel tutup botol minumnya.
"Pernah," singkat Garda.
"Sekali-kali gue pengen coba,"
Ucapan Yasa membuat Garda menoleh seketika. Memandang Yasa dari atas sampai bawah , ada apa dengan Yasa hari ini? Mungkin itu yang membuat Garda kaget.
"Sehat?,"
Yasa mengangguk beberapa kali, dan nampak begitu yakin.
"Kenapa?"
"Nggak, Cuma pengen,"
Yasa berkata seolah tidak khawatir sama sekali dengan konsekuensinya, dia berjalan menuju bangku dan mengambil tasnya yang dia cangklong dikedua pundaknya. Lalu kembali menuju kearah Garda lagi. Garda masih tidak bisa mencerna apa yang terjadi pada Yasa.
Yang jelas, dimata nya sekarang, dia melihat Yasa yang seperti Begitu yakin untuk membolos. Mau tidak mau dia ikut mengambil tasnya. Dia berjalan menuju jalan rahasia menuju pintu keluar sekolah yang luput perhatian petugas, meninggalkan motornya yang bisa diambil saat jam pulang sekolah seperti yang sudah -sudah.
Barangkali ajakan bolos dari Yasa ada baiknya, pikiran dan suasana hatinya kurang baik hari ini. Daripada harus memaksa belajar pun tidak akan masuk.
Yasa berjalan mengikuti Garda, mereka begitu berhati-hati agar dapat keluar sekolah dengan selamat. Hingga mereka bisa bernafas lega ketika sudah keluar area sekolah. Mencari bus atau kendaraan umum lainnya.
"Kita mau kemana Yas?" Tanya Garda pada Yasa yang sibuk menoleh kesana- kemari mencari tranportasi.
Pertanyaan itu membuat Yasa berhenti bergerak, pandangannya jatuh ke aspal hitam jalanan.
" Kemana aja setau lu, yang penting tenang dan nyaman"
"Oke."
Garda memutuskan untuk mengarahkan tujuan mereka kesuatu tempat yang sesuai dengan keinginan Yasa. Meskipun Otaknya masih bertanya tujuan Yasa kali ini.
Hai!!!
Minal aidzin wal Faidzin ya semuanya. Maafkan author kalau El ada salah sama kalian. Btw, belum telat, kan ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Is It Too Good To Be True?
FanficAku hanya ingin, dimengerti, menjadi perhatikan seutuhnya. Tidak selamanya, hanya sampai sejauh aku bisa bertahan. Tapi bahkan tidak ada dari kalian yang meyakinkanku untuk berharap itu. Apa itu terlalu mustahil untuk diwujudkan?