Seminggu sudah, Yasa dirawat dirumah sakit. Dia sudah sadar, tapi kondisinya belum stabil. Bahkan entah berapa banyak peralatan masih melekat di tubuhnya. Kondisinya Sangat lemah, untuk berbicara pun dia masih kesulitan. Di kamar itu, hanya ada Gerald yang menemani Yasa.
Ayahnya sempat menemani Yasa saat Yasa pertama dibawa kerumah sakit, sampai hari ketiga dimana Yasa baru terbangun. Kemudian dia digantikan Gerald, katanya ada urusan penting.
Willy tidak banyak berkata-kata saat bersama Yasa. Selain kondisi Yasa yang masih sulit untuk diajak berbicara, Yasa juga sepertinya belum mau berbicara panjang lebar dengan Willy.
"Bang..." ucap pelan Yasa
Gerald sontak menaruh ponselnya disaku, setelah mendengar panggilan Yasa. Fokusnya juga jatuh pada adiknya kali ini.
"Kenapa"
"Waktu gue nggak sadar .... beberapa hari lalu,.... apa ngga ada temen gue.... yang jenguk?" tanya Yasa dengan terputus-putus.
"Nggak ada."
Yasa mengangguk mengerti. Yang ada di isi kepala Yasa saat menanyakan hal ini adalah harapan. Dia pikir Garda sempat menjenguk nya saat dia tidak sadar, jika benar maka mungkin besok dia akan kembali menjenguk dirinya. Karena setelah dia sadar dia tidak pernah mendapati Garda datang, padahal dia selalu berharap akan hal itu. Barang kali datang dengan wajah khawatir nya. Karena dia ingat betul dia drop tepat didepan mata Garda waktu itu.
Tapi ternyata tidak, dia bahkan tidak sekalipun datang. Padahal ada banyak hal yang ingin dia bicarakan dengan Garda. Apa Garda masih salah paham dengan masalah kemarin? Apa Garda benar-benar sudah tidak lagi menganggap Yasa temannya? Apa Garda sungguh tidak peduli lagi dengan Yasa?
"Abang kapan mulai kerja?" tanya Yasa lagi
"Gue nggak tau,"
"Abang bisa.... tinggalin Yasa.... kalau Abang lagi sibuk."
"Gila, mana mungkin."
"Kenapa?"
"Lu adik gue satu-satunya. Gue nggak tahu lu udah dikasih info ini sama dokter atau belum. Tapi dokter bilang, lu harus secepatnya dapet cangkok jantung. Kondisi jantung lu semakin memburuk Yas,"
"Gitu ya?" Yasa menaikkan alisnya " Thanks kalo gitu" senyum samar terlukis di wajahnya.
Setelah itu hening kembali menyusupi ruang rawat Yasa. Yang ada hanya suara mesin EKG.
Dalam hati Yasa rasanya begitu sesak. Dia tahu kondisi jantung nya semakin buruk, dia bisa merasakan hal ini. Yang membuat sakit perasaan nya adalah ketika dia berpikir bahwa pantas saja Ayahnya mau menemani dirinya hingga menginap beberapa hari lalu, mungkin karena itu alasannya. Mungkin juga begitu dengan Gerald. Buktinya sekarang, ayahnya kembali tidak ada disampingnya ketika Yasa sudah sadar, bahkan kondisinya belum bisa dikatakan baik.
Apa Yasa harus terus bergelut sengit dengan kematian dulu baru mereka akan peduli dan perhatian kepadanya?
Yasa benar-benar putus asa dengan semua orang yang ada disekitarnya. Bahkan Garda pun sama saja, dia tidak memahami Yasa. Dan mungkin kini dia sedang sibuk dengan teman barunya. Apa Yasa Begitu tidak pantas mendapatkan teman dan merasakan hidup seperti anak-anak lainnya?
Apakah sulit sekali untuk memahami Yasa? Begitu pikir Yasa, yang membawa pertanyaan panjang dikepalanya.
Gerald, sejak kejadian malam itu satu-satunya teman Yasa yang dia tahu adalah Garda. Dia pun meminta bantuan kepada Desty untuk dapat membawa garda kerumah sakit lewat pesan singkat. Agar Yasa bisa sedikit terhibur.
"Yas, lu tau nggak?" ucap Gerald membuka suara.
"Hemm"
"Ayah udah putusin bahwa dia akan membatalkan rencana pertunangan nya sama Desty"
KAMU SEDANG MEMBACA
Is It Too Good To Be True?
FanfictionAku hanya ingin, dimengerti, menjadi perhatikan seutuhnya. Tidak selamanya, hanya sampai sejauh aku bisa bertahan. Tapi bahkan tidak ada dari kalian yang meyakinkanku untuk berharap itu. Apa itu terlalu mustahil untuk diwujudkan?