19#

328 31 9
                                    

Tidak ada yang baik-baik saja dalam perpisahan antara dua kehidupan seperti ini. Willy bahkan sempat menolak untuk diajak pulang ketika dihari pemakaman. Dia ingin menemani Yasa yang sudah beristirahat di samping makam Bundanya.

Tapi beruntung Gerald, berhasil membawa Willy pulang. Tapi kondisi Willy masih sungguh tidak baik-baik saja. Dia jatuh sakit akibat enggan untuk mengisi perutnya. Tidak bernafsu untuk sekedar makan sesuap nasi pun katanya.

"Yah, ayo makan..." semangkuk bubur ditangan Gerald dan sesendok bubur itu diarahkan kepada Willy.

Willy tidak mau membuka mulutnya. Dia hanya memandang kearah langit yang mulai mendapatkan sinar matahari pagi dengan tatapan kosong. Entah untuk keberapa kalinya pagi ini, Gerald mencoba membujuk Willy untuk makan tapi dia tidak kunjung mau menelan bubur itu.

Bukan hanya tidak mau makan, tapi juga tidak ada semangat yang tersirat dari mata Ayahnya yang sayu. Lingkar mata yang hitam menunjukkan bahwa Willy mungkin sering kali tidak tidur karena memikirkan belum bisa melepaskan kepergian Yasa.

Akhirnya Gerald menaruh bubur itu diatas meja. Tepat disamping Willy berada.

" Ya sudah, kalau ayah belum mau makan sekarang. Tapi Gerald harap Ayah mau mengisi perut Ayah. Agar Ayah tidak sakit dan lemas. Disini Gerald taruh buburnya. Ayah minum juga ya vitaminnya. Gerald harus kekantor sekarang. Gerald akan pulang siang nanti untuk mengecek keadaan Ayah. Apa Ayah ingin sesuatu untuk dimakan nanti siang? Nanti Gerald belikan. Dan kita makan bersama."

Willy hanya menggeleng lemah. Lantas, Gerald hanya tersenyum, dia kemudian keluar meninggalkan Willy sendiri lagi.

Karena Gerald, harus mengambil alih semua. Dia sadar kehidupan terus berjalan. Tentu dia juga masih hancur. Tapi dia juga tidak mau terkurung dalam kondisi demikian untuk selamanya. Dia kini menjadi anak satu-satunya yang dimiliki oleh Willy. Dia sadar dia harus kembali menguatkan bahunya.

Dia harus menguatkan diri demi Willy dan kehidupan mereka. Oleh karena itu sebisa mungkin dia meluangkan waktu untuk sekedar mengetahui kondisi Willy. Dia tidak mau mengulang kebodohan dengan mengabaikan keadaan anggota keluarganya, seperti yang pernah dia lakukan pada Yasa dulu. Meskipun dia dalam kondisi sibuk karena Dia mengambil alih semua tugas dan pekerjaan yang sempat terbengkalai dan ditinggal oleh Willy.

Sembari memikirkan bagaimana cara membuat Ayahnya kembali kuat. Kembali bisa mengikhlaskan kepergian orang tercinta mereka.

.

.

.

Garda, hampir seminggu dia tidak berangkat ke sekolah. Yang dilakukan semenjak dia mengetahui kabar kepergian Yasa adalah, mengurung diri. Tidak kemana pun selain hanya untuk mengisi gelas dengan kopi, dan bahkan nafsu makannya turun drastis. Dia lebih memilih mengurung diri sendiri dan  merenungi segalanya. Bahkan melayat saja tidak, meskipun Desty telah mengajaknya. Dan berakhir harus berangkat melayat sendiri sebab Garda tidak menggubris sama sekali.

Justru Garda benar-benar tidak menyangka, dirooftop yang terakhir dia kunjungi ini, dia melihat Yasa duduk ditempat yang sama seperti saat mereka membolos terakhir kali. Matanya hampir saja melotot karena terlalu tidak percaya. Dia melihat Yasa berdiri berbalik arah melihat ke arah dirinya dan tersenyum. Sinar terang yang mengenai wajah Yasa membuat senyum manis dengan matanya yang menyipit itu begitu cerah dan damai Dimata Garda.

"Da! Sini!" panggil Yasa melambai padanya.

"Yasa!? Ini bener Lo!??" Garda berlari mendekati Yasa.

"Iyalah gue, lu pikir siapa? Diaz?"

"Lu kok bisa disini?"

"Heh! Gue itu masih nunggu lu tau! Ih mah tega lu nyuruh gue nungguin lu lama!" Yasa memukul bahu Garda pelan.

Is It Too Good To Be True?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang