Ada yang percaya bahwa keberuntungan itu, nyata. Tapi, ada pula tidak ada yang namanya keberuntungan, yang ada hanyalah kerja keras. Kegagalan bukan karena keberuntungan yang sedang tidak memihak tapi karena kerja keras yang kurang maksimal.
Yasa, tidak terlalu memikirkan keduanya. Dia hanya berusaha dan mengharapkan keberuntungan mengunjungi usahanya, agar keinginannya dapat tercapai. Seperti kali ini, sepulang dari rumah sakit. Matahari masih menyiratkan sedikit warna oranye nya di ufuk timur. Dia masuk kedalam rumah dengan diikuti Willy yang menjinjing tas ransel yang berisi keperluan sehari lalu, baik miliknya atau milik Yasa.
" Bi! Bi Sumi! " panggil Willy, yang tidak lama kemudian Sumi datang dengan sedikit berlari.
" Ada apa Tuan?"
" Ini baju kotor saya dan Yasa didalam semua. Nanti tolong di bereskan ya Bi!"
" Oh iya baik, Tuan"
" Bi,Bisa tolong siapkan air hangat tidak? Aku ingin mandi" Kini Yasa yang meminta.
" Mau kemana?" tanya Willy melirik anak bungsunya dengan tatapan tajam.
" Ya mau mandi, lengket seharian kemarin tidak mandi"
" Iya, saya siapkan dulu ya Mas Yayas." Ucap Bi Sumi yang diangguki oleh Yasa.
Yasa tidak menghiraukan ayahnya yang sedang menatap nya . Dia berjalan begitu saja menuju kamar. Dia masuk kekamar tak lama setelah Bi Sumi masuk terlebih dahulu menyiapkan air. Yasa bergerak menuju meja belajarnya. Mengambil beberapa buku dan memasukkan nya kedalam tas.
Bi Sumi sempat kaget dengan kegiatan Yasa kali ini. Dia yang baru saja keluar dari kamar mandi, menghentikan langkahnya dan mengernyitkan dahinya.
"Mas Yasa mau sekolah?"
"Iya Bi, Ngga enak masih jadi anak baru tapi sering izin"
Yasa memilah-milah buku sembari mengurutkan dengan jadwal di depan nya.
"Memang sudah boleh? Tuan sudah mengizinkan?"
Yasa beralih ke lemari mengambil seragam sekolahnya yang lain.
"Kalau hanya menunggu izin Ayah ya, pasti tidak akan boleh. Tapi aku, kan sekarang menjadi seorang siswa jadi ada kewajiban dan aturan yang harus di patuhi"
"Aih, nanti ada apa-apa mas, Mas Yayas kan baru pulang"
"Bi Sumi tenang saja, Yayas bisa jaga diri"
Mata Yasa menyabit dan lengkungan bibir melukis garis senyum manis, ketika mendengar kekhawatiran dan perhatian Bi Sumi.
"Ya sudah. Itu airnya sudah siap. Bibi buatkan sarapan dulu. Nanti jangan lupa makan dulu ya kalau sudah selesai bersiapnya."
"Oke , terima kasih ya Bi,"
Bi Sumi kemudian meninggalkan ruangan kamar Yasa dan berjalan menuju dapur untuk menyiapkan makanan untuk tuan-tuannya yang sedang ada dirumah semua.
--*---
Yasa memutar kenop pintu dan membukanya. Keluar dengan rapi dan menggendong tas ransel sekolah miliknya. Dia berjalan menuju dapur untuk sarapan dulu dan minum obat.
Belum ada siapapun dimeja makan, selain Bu Sumi yang sedang menata peralatan makan. Dia menarik kursi dan duduk.
"Loh mas Yayas sudah siap? Haduh makanannya belum siap, mas masih ad didapur belum Bibi bawa kesini. Sebentar ya, bibi ambilkan dulu yang untuk mas Yayas"
Yasa hanya mengangguk dan tersenyum menanggapi ucapan Bi Sumi, dia tidak marah, dia sadar betul bahwa seberapa sibuk pekerjaan yang harus dilakukan BI Sumi, mulai dari mengurus rumah, mencuci baju, mencuci piring dan masih banyak lagi yang lainnya. Belum lagi jika Yasa atau Ayah dan Abangnya meminta untuk melakukan hal yang lain yang harus diutamakan.
Sumi berjalan cepat menuju dapur untuk mengambil masakan yang khusus untuk Yasa.
"Ini mas, silahkan"
Sumi kembali dengan membawa makanan yang disiapkan untuk Yasa, " Bibi ambil yang lain dulu ya untuk Tuan Willy dan Mas Gerald" lanjut Sumi yang berjalan kembali menuju dapur menyiapkan makanan yang lainnya.
Yasa mengangguk dan membuka piring, menyantap makanan yang telah disiapkan oleh Bi Sumi.
Willy yang baru saja selesai bersiap dan hendak sarapan kaget, matanya terbuka lebar ketika mendapati Yasa sudah berseragam sekolah dan sarapan. Dia berjalan mendekati anaknya itu.
"Siapa yang mengizinkan kamu sekolah, Yasa?"Willy menarik kursi dan menyeruput kopi yang Bisa Sumi siapkan ketika melihat melihat dia datang.
"Yah, aku ini seorang siswa sekarang, jadi aku memiliki kewajiban dan peraturan yang harus dilakukan"
Yasa menaruh sendoknya. Dan menatap Ayahnya dengan nanar.
"Ayah tahu, tapi apa kamu sudah lupa ucapan Ayah sebelumnya?"
"Yah, aku mohon jangan lakukan itu, aku tidak mau home schooling lagi"
Alis mata Yasa melengkung turun.
"Apa jaminannya kamu bisa menjaga kondisi kesehatan mu sendiri, termasuk izin dulu hari ini?" Willy mengaduk kopinya.
"Yah...."
"Bisa tidak? Kalau tidak mau, ya sudah. Kembali saja home schooling"
Yasa menundukkan kepalanya, menatap piring nya yang sudah bersih, dia bimbang.
"Iya, aku tidak berangkat sekolah hari ini. Dan akan lebih hati-hati kedepannya. Tapi Ayah jangan buat aku harus home schooling lagi"
"Baiklah Ayah beri kesempatan." Senyum Willy.
"Ya sudah aku kekamar dulu. Jangan lupa izinkan aku ke sekolah hari ini."
"Ayah sudah melakukan hal itu sejak tadi pagi."
Akhirnya, segala persiapan Yasa pagi ini untuk pergi ke sekolah justru hanya sia-sia saja. Pada dasarnya dia tahu betul bagaimana perangai Ayahnya jika sudah bertitah. Dia sangat sulit untuk merubah keputusannya. Rupanya Dewi Fortuna belum memihak pada usaha Yasa kali ini, sehingga dia harus menelan kekecewaan, dan menggugurkan niat. Dari pada dia kembali harus kembali home schooling, keputusan kali ini mungkin satu-satunya yang bisa dia ambil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Is It Too Good To Be True?
FanfictionAku hanya ingin, dimengerti, menjadi perhatikan seutuhnya. Tidak selamanya, hanya sampai sejauh aku bisa bertahan. Tapi bahkan tidak ada dari kalian yang meyakinkanku untuk berharap itu. Apa itu terlalu mustahil untuk diwujudkan?