Garda bukan lah anak yang bandel, dia juga tidak terlalu suka membuat masalah. Tapi dia juga bukan seorang siswa yang terlampau rajin dan patuh. Dia selalu sadar begitu penting pendidikan untuk kehidupan nya, tapi juga kadang dia terlalu bosan untuk menjalani kehidupan yang begitu monoton hingga kadang dia tidak bisa menahan jiwa mudanya yang menuntut banyak hal.
Matanya menatap bentangan langit yang berbatasan dengan bangunan pencakar langit di hadapannya. Kedua tangannya menyangga tubuhnya yang duduk didekat pembatas terbuat dari beton. Terlalu menikmati pemandangan, dia lupa bahwa dia tidak sendiri disini. Matanya merotasi, melihat disampingnya ada Yasa yang duduk dengan lutut nya yang ditekuk dan tangannya memeluk kedua lutut.Matanya tampak memandang kearah yang sama dengannya tadi dengan tatapan kosong. Dia seperti begitu menikmati keindahan pemandangan dan angin yang membelai rambut nya yang lembut itu.
"Yas, lu Oke?"
Yasa menoleh sebentar, lalu kembali melempar pandangan ke arah semula.
"Gue Oke, Da. Lu yang kenapa?, Baru kali ini gue liat lu semarah itu. Ada masalah apa lu sama Diaz sampe lu segitu marahnya? Dia bikin ulah apa?"
Garda tidak bergeming, pikiran nya kosong seolah bingung dan kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan Yasa. Dia menunduk dan pandangannya jatuh pada lantai semen kasar seperti yang dia duduki sekarang.
"Gue ajak lu kesini dan bolos, itu biar perhatian lu lepas dari Diaz. Gue nunggu lu cerita dari tadi, atau kalo lu gak mau cerita lu bilang aja juga nggak apa-apa. Bukan malah diem aja," ucap pelan Yasa yang kini menatap Garda.
"Diaz itu saudara jauh gue, ayahnya kerabat Papa. Tapi hubungan Papa dan Ayahnya itu sejak ada masalah beberapa tahun lalu memburuk dan sampe sekarang juga masih begitu. Ada banyak masalah dikeluarkan gue Yas, dan salah satunya Kakak gue yang dikira ada hubungan sama Bos nya. Dan dituduh yang nggak-nggak. Diaz dan keluarga Diaz juga tahu hal itu. Dia tadi bahas itu, meskipun gue udah nahan emosi tapi ada kata-katanya yang kelewat batas kesabaran gue. Jadi, gue lepas kendali."
Garda bercerita tanpa melepas pandangan dari lautan bangunan yang berjajar didepannya. Dia tidak tahu apa menceritakan hal ini kepada Yasa merupakan keputusan yang tepat atau tidak. Yang jelas, ucapan Yasa tadi seperti berhasil membuat mulutnya bergerak dengan nyamannya.
" Oh gitu? Tapi lu yakin Kakak lu ngga kayak yang mereka tuduh?"
"Gue ngga tau pasti. Gue nggak pernah nyangkal kalo Kakak gue kadang pulang malem karena urusan yang berkaitan dengan Bos nya. Tapi Kakak ngga pernah jawab detail urusan apa itu, ketika gue tanya."
"Lu ngga coba kasih saran?"
"Gue udah pernah kasih saran sekali, tapi dia bilang semuanya yang dia lakuin itu buat gue juga,"
Mata Yasa dan Garda tidak saling bertemu meskipun obrolan itu hanya melibatkan mereka berdua. Mereka terpaut pandang pada langit biru dengan gedung-gedung dibawah nya.
"Kenapa nggak bilang lagi?"
"Hubungan gue dan Kakak gue gak baik dan harmonis, entah ada hal apa antara gue dan Kakak gue, rasanya kayak ada tembok besar yang sulit banget ditembus untuk saling ngobrol lebih lama dan jauh,"
Seketika mendengar jawaban Garda baru saja membuat Yasa menoleh saat itu juga, jawaban yang membuat Yasa jadi penasaran setengah mati, tentang Garda.
"Papa lu? Kenapa Papa lu ngga kasih tau?"
Seketika mata Garda memanas, ada rasa sesak di hati Garda setelah mendengar celetukan mulut Yasa. Matanya berkaca, dan air mata itu mati-matian ditahan agar tidak terjatuh oleh Garda.
"Papa itu ngga ada peduli sama gue dan Kakak, Papa itu terlalu pemaksa dan keras, apalagi setelah Mama meninggal beberapa tahun lalu. Pokoknya keluarga gue itu hancur Yas,"lirih Garda tapi masih jelas terdengar di telinga Yasa.
Yasa sungguh tidak beralih pandangan dari Garda terlebih ketika, sahabatnya itu menceritakan kehidupan nya yang juga terlampau menyedihkan. Matanya dapat menangkap perasaan sakit yang tersirat dari tatapan Garda kedepannya.
"Maaf," Yasa menepuk pundak Garda, merasa bersalah atas perkataan yang kembali membuka luka besar Garda, yang membuat Yasa ikut merasakan perihnya.
"Gue ngga apa-apa Yas, gue juga nyaman cerita sama lu. Karena gue percaya sama lu Yas," Garda menoleh kearah Yasa yang menatapnya.
"Lain kali, lu ngga boleh bertindak gegabah, pendidikan lu itu penting. Jangan sampai lu dikeluarin dan dapat masalah baru karena emosi sama omongan mereka. Minimal Lu bisa abaikan dan tinggal pergi aja, jangan pernah anggep mereka aja, kalo lu ngga bisa nahan emosi. Dan gue selalu siap untuk denger setiap cerita lu butuh tempat untuk bercerita."
"Thanks,Yas," Garda tersenyum dan mengangguk mendengar ucapan Yasa yang begitu tulus.
Yasa dan Garda nyatanya bertambah akrab setelah hari dimana Garda memutuskan untuk berteman. Dari begitu menyebalkan Yasa dipandangan Garda saat awal-awal berinteraksi dengannya, ternyata Yasa jauh lebih tulus dari teman-teman yang pernah Garda temui dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Is It Too Good To Be True?
FanfictionAku hanya ingin, dimengerti, menjadi perhatikan seutuhnya. Tidak selamanya, hanya sampai sejauh aku bisa bertahan. Tapi bahkan tidak ada dari kalian yang meyakinkanku untuk berharap itu. Apa itu terlalu mustahil untuk diwujudkan?