15#

129 29 7
                                    

"Garda! Denger Kakak dulu! Ini semua demi keberlangsungan hidup kita!" Desty menarik tangan Garda yang berjalan cepat menuju kamar.

"Lepas!"-garda melepaskan tangannya Desty dengan kasar -" Aku bisa urus hidupku sendiri! Dan bahkan berhenti sekolah juga nggak masalah, untuk cari uang untuk hidup kita. Aku tahu Kakak lakukan itu Cuma untuk uang kan!"

"Tapi kakak ngga mau kamu putus sekolah dan hidup susah!"

"Itu akan lebih baik daripada aku harus liat Kakak kerja sama Om bejat itu! Makanya kakak sering banget pulang malem dan kerja lupa waktu Cuma untuk dapetin ini semua!"

"Kamu salah paham Da! Kakak kadang pulang malem karena harus mengurus Yasa yang sakit-sakitan! Demi mengambil hati Mas Willy"

Garda tersenyum sinis, menggeleng cepat, menatap langit-langit ruangan, dia tidak menyangka Desty akan berkata sedemikian. Garda tidak percaya dengan semua itu, tentu saja. Yang dia tahu Yasa itu selalu baik-baik saja. Kenapa musti beralasan dan mengatakan hal seperti itu?

"Kakak masih bisa-bisanya berkelit, segitu inginnya menikahi Om-om itu! Sia-sia aku ribut dengan Diaz dan membela Kakak mati-matian."

"kakak ngga bohong Da, Yasa itu punya kelainan jantung"

"Omong kosong!" Garda tidak percaya sama sekali.

Garda masuk kedalam kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Bahkan menguncinya. Dia tidak habis pikir semuanya akan seperti ini.

Tubuhnya lelah, emosinya terkuras, dia melempar jaketnya sembarangan. Merebahkan diri dan menyumpal kedua telinganya menggunakan earphone tidak mau mendengar suara desty yang masih terus membujuk dari luar dengan suara samar-samar.

Dengan alunan instrumen piano yang dulu Ibunya sering dengar, dia kembali tertarik kedalam pikirannya sendiri, merasa bersalah dan marah pada dirinya sendiri.

Merasa gagal menjadi anak dan adik untuk melindungi keluarga dan Kakaknya.

Berkali-kali dia meminta maaf kepada Ibunya karena telah gagal menjaga Kakaknya. Merutuki kebodohan diri sendiri dan berujung kekesalan pada Papanya.

Bantal itu menjadi saksi remaja lelaki itu menangis, menerima jatuhnya hujan air mata dari sang pemilik yang terlihat tegar dari luar.

Disisi lain, Yasa yang baru saja selesai membersihkan diri, merebahkan tubuhnya. Jujur saja sebenarnya dia begitu lelah. Tapi pikirannya penuh, perasaan nya hancur. Dimatanya, Ayahnya ternyata benar-benar tidak pernah peduli dan perhatian dengan dirinya dan perasaannya.

Mengingat Ayahnya yang sering kali memaksakan kehendak dan suka mengambil keputusan tanpa memberi tahu dirinya seperti ini. Tanpa perduli apakah dia akan terima atau tidak, apakah dia akan sakit atau baik-baik saja. Ayahnya tidak pernah seperhatian itu hingga dia tidak sadar apa saja hal yang Yasa inginkan dan yang tidak Yasa hendaki.

Apalagi mengenai pernikahan seperti ini, Yasa tidak akan pernah mau mengganti posisi Bundanya dengan siapapun. Hanya Bundanya yang bisa menjadi Ibu dan menempati posisi sosok wanita tersayang dihati Yasa. Karena Bunda yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan dia bahkan mengurusnya sampai diakhir hidupnya. Bunda yang selalu bisa mengerti Yasa dan dengan sabar mengurus Yasa yang sakit-sakitan. Meskipun Tanpa Yasa tau saat itu Bundanya juga sedang sakit.

Makanya Yasa tidak pernah mau mencari Ibu sambung, lebih baik dia hidup bertiga tanpa Ibu dari pada memiliki Ibu baru.

Tapi Willy Yang ada hanya melakukan apapun yang menurutnya benar, itu saja. Sampai lelah sekali rasanya jika terlalu memikirkan hal itu.

Matanya yang basah sebab air matanya mengalir, perlahan tertutup tanpa sadar. Meninggalkan kesadaran dan membawa Yasa meninggalkan segala rumitnya pikiran. Melepaskan Yasa dari lelah yang mendera.

Sejak saat itu, disekolah, meskipun Yasa dan Garda beberapa kali sempat bertemu tatap mata secara tidak sengaja. Tapi keduanya sama sama bungkam.

Tidak ada perbincangan ringan, saling tegur sapa atau hal lainnya yang waktu lalu sempat mereka jalani. Hanya beberapa menit malam itu dapat menghancurkan hubungan yang terbangun beberapa Minggu, mencabut hubungan dari akar-akar nya, padahal baru saja akan bertumbuh lebih tinggi.

Yang lebih parah, Yasa melihat dengan mata kepalanya sendiri, sahabatnya itu telah memiliki teman baru. Dirinya sudah tergantikan dengan orang lain. Garda tidak pernah lagi peduli dengan Yasa. Hari-harinya menjadi sepi meskipun dia berada didalam keramaian sekolah. Rasanya tidak ada bedanya dengan dirumah dan homeschooling.

Kesekian kalinya, Yasa ditinggalkan oleh orang yang berarti baginya. Begitu pula hubungannya dengan Willy dan Gerald yang semakin jauh. Yasa masih belum mau menerima perihal pertunangan itu yang entah bagaimana keadaannya rencana itu. Intinya Willy juga belum memberikan kejelasan bahwa dia akan membatalkan rencananya.

.

.

.

Yasa telah menyiapkan diri untuk hari ini. Dia tetap berangkat ke sekolah meskipun tidak ada lagi semangat yang begitu besar seperti dulu. Dia menyantap sarapan sendiri dimeja makan.

Sesaat kemudian, Willy datang dengan setelan jas yang rapi siap untuk berangkat ke kantor.

"Sudah satu Minggu kamu diam begini dengan Ayah, kapan mau selesai marahnya?" ucap Willy menarik kursi dan duduk diseberang hadapan Yasa

Yasa tidak menggubris perkataan Ayahnya, dia masih tetap fokus menyantap sarapan nya.

"Yasa, ayah sedang berbicara dengan mu!" bentak Willy yang kesal merasa diabaikan.

Yasa langsung menaruh sendoknya, menghentikan kegiatan mengunyahnya.

"Yasa akan kembali seperti biasanya kalau ayah gagal kan rencana pertunangan Ayah" Jawab Yasa tanpa memandang Ayahnya

"Ayah itu Cuma mau kamu mendapatkan sosok ibu yang bisa merawat kamu saat Ayah sedang tidak bisa, lagi pula, kasian Desty karena dia pasti sudah banyak menjadi bahan buah bibir orang lain karena harus membantu Ayah mengurus mu. Apa kamu tidak kasihan?"

"Aku bukannya tidak kasihan! Tapi aku sudah bilang kan tidak perlu meminta bantuan Dia untuk mengurus ku, bahkan ketika Ayah tidak bisa. Aku bisa mengurus diriku sendiri, lagi pula Pak Burhan juga bisa kok diandalkan!" Yasa menarik tasnya dan menyudahi sarapan nya."Oh ya satu lagi, sampai kapanpun, bunda tidak akan bisa tergantikan oleh siapapun. Yang bisa jadi ibu Yasa itu Cuma bunda!" ucap Yasa kemudian meninggalkan Willy seorang diri.

Mata Yasa jelas menunjukkan kemarahan dan kekecewaan yang besar ketika berbicara dengan dirinya tadi, terlebih ketika dia menegaskan bahwa tidak ada yang mampu menggantikan posisi sang Bunda.

Willy meraup wajahnya kasar, dia jadi ragu untuk melanjutkan pertunangan itu jika Yasa terus menerus begini. Dia tidak tahu bagaimana caranya untuk membujuk Yasa. Padahal tujuannya untuk menikah Desty juga untuk kebaikan anak-anaknya.

Yasa itu sama keras kepalanya dengan Mendiang istrinya. Willy tahu betul bahwa Yasa sangat menyayangi Bundanya, dirinya juga begitu. Tapi membiarkan Yasa seorang diri melewati masa sulitnya juga tidak sanggup. Sedangkan dirinya masih terus disibukkan oleh urusan pekerjaan. 

Kira-kira akan bertahan persahabatan Yasa dan Garda?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kira-kira akan bertahan persahabatan Yasa dan Garda?

Is It Too Good To Be True?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang