9#

176 33 3
                                    

Mata itu mengerjap beberapa kali, menyesuaikan cahaya disekitar nya. Dia melihat sekeliling, didapati wanita itu lagi. Wanita itu sesekali tersenyum menatap layar ponselnya. Lagi dan lagi Ayah nya mengirimkan sekertaris itu untuk mengurus Yasa. Apa Ayahnya tidak lagi khawatir dengan kondisi Yasa.

"Bagaimana ? Apa kondisi mu Sudah lebih baik? Yasa?" tanya wanita itu menaruh ponselnya, ternyata dia menyadari bahwa Yasa sudah siuman.

" Bukankah aku sudah bilang pada Kak Desty untuk tidak menunggu ku?"

" Saya tahu, tapi mas Willy sedang ada meeting di tempat yang lumayan jauh bersama Abangmu, jadi aku harus menemani mu disini" senyumnya

" Besok-besok bisakan menolak suruhan Ayah? Bukankah ini diluar dari job desk-mu?"

" Benar, tapi aku tidak bisa melihat Mas Willy stress karena pikiran nya terbagi-bagi antara pekerjaan dan kondisi mu yang tiba-tiba drop begini"

" Jujur, aku tidak tahu apa maksud Kakak disini? Dengan segala tingkah Kakak, tapi aku tidak nyaman dengan mu" Yasa melirik tidak suka. Masalahnya dia memang merasakan hal yang lain dari tujuan kebaikan Desty.

Mendengar perkataan Yasa, Desty mengeluarkan dari laci lemari disamping ranjang Yasa. Dia mengeluarkan ponsel milik Yasa. Dan mengaktifkan kembali ponsel Yasa. Lalu dia mengetikkan nomor nya disana.

" Ini" Desty menyodorkan ponsel Yasa" Disitu ada nomor ku, jika ada sesuatu beritahu aku. Aku akan menunggu diluar" lanjutnya. Dia tidak main-main rupanya. Dia benar-benar keluar dari kamar rawat inap Yasa.

.

.

Malamnya, Willy dan Gerald datang. Mereka masih memakai setelan kerja. Pantas, tumben sekali bisa datang. Ternyata mereka bilang sekalian pulang kerja. Tapi, biasanya juga mereka pulang larut malam sehingga tidak bisa menemani dirinya disini. Ah! Intinya keanehan itu membuat kantuk Yasa hilang. Mereka masuk disertai Desty dibelakang mereka.

" Malam Yasa" sapa Willy.

" Ayah dan Abang tumben kesini? Ada apa?"

" Memang tidak boleh kita kesini" jawab Gerald

" Kan gue bilang tumben aja, biasanya juga nggak ada waktu"

" Sudah! Kalian kalau bertemu selalu ribut. Bagaimana kondisimu Yasa?"

" Sudah lebih baik Yah."

" Baru satu minggu kamu sekolah dan kondisimu begini?" Willy menaikkan alisnya sebelah.

" Ayah, ini tidak...."

" Kata Burhan saat pulang, dia menjemput mu tapi kamu tidak ada" potong Willy.

" Aku sudah pulang," jawab Yasa yang mulai jengkel.

" Naik apa?"

" Taxi online"

" Yang benar? Kolega Ayah ada yang bilang melihat mu diboncengi motor? Tidak pakai helm, tidak pakai masker? "

" Yah, aku hanya..."

" Oke berarti benar. Terserah kamu mau bilang apa. Intinya Ayah akan mengajukan surat kamu untuk berhenti bersekolah disana dan kembali home schooling" cerocos Willy yang memotong perkataan Yasa. Seketika perhatian Yasa teralih kepada Willy, Gerald juga kaget awalnya.

" Ayah, jangan begitu! Aku hanya tidak mau menunggu Pak Burhan. Pasti kan akan lama. Salah Ayah kenapa menyuruh Pak Burhan kekantor saat mendekati waktu aku pulang sekolah" Yasa melepas nebulizer yang dari tadi dia gunakan. Karena terlalu kesal dia melepaskannya, meskipun sedikit sesak tapi dia lebih leluasa berbicara.

" Apa-apaan kamu menyalahkan Ayah?!"

" Yah! Sudah!" lerai Gerald.

" Diam dulu Gerald! Bisa bisanya Adikmu itu menyalahkan Ayah. Memang apa susahnya sih menunggu sebentar Yasa?!" bentak Willy yang terlanjur kesal.

" Sebentar?? Dari kantor Ayah ke sekolah itu bukan sebentar Yah!" rasanya dada Yasa kembali sakit saat itu. Tangan kanan Yasa menekan dada kirinya sesaat.

Gerald dengan cekatan membantu memasang kembali nebulizer milik Yasa tadi. Agar Adiknya bisa lebih terbantu mengambil nafas.

" Pak sudah, tidak perlu marah begitu. Yasa baru siuman beberapa jam lalu." Desty yang awalnya terdiam kini ikut bersuara.

Menyadari masih ada Desty diruangan itu membuat Willy sedikit canggung juga seketika, dia memijat pangkal hidungnya. Sedikit menyesal juga ketika sadar dia baru saja memperlihatkan keburukan keluarganya.

" Ya sudah Desty, Terimakasih telah banyak membantuku mengurus Yasa. Kamu bisa pulang sekarang. Mau diantar aku atau Gerald?" ujar Willy setelah menarik nafas panjang.

" Tidak usah, aku bisa pulang sendiri Pak"

" Tidak baik perempuan pulang sendiri dihampir larut malam begini"

" Tidak apa-apa saya bisa menjaga diri saya. Bapak dan Gerald disini saja menemani Yasa."

" Ya sudah bagaimana kalau diantar supir?"

" Baiklah."

" Ya sudah saya antar kedepan" Willy meninggalkan ruangan bersama Desty.

Tidak ada percakapan antara Gerald dan Yasa. Kedua hanya saling diam dalam suasana canggung. Yasa juga masih mencoba menormalkan nafasnya yang sempat tersengal tadi. Tak lama, Willy kembali masuk.

" Kamu lihat Yasa? Kalau kamu  tidak menjaga kondisi, Ayah jadi merepotkan orang lain. Untung Desty itu baik mau mengurus mu, disaat Ayah tidak bisa." Willy berucap sembari melepas jasnya dan menaruhnya kursi." Ayah sangat terbantu, dan berterima kasih sekali pada Desty"

" Besok, besok tidak perlu datang jika tidak bisa. Dan tidak perlu mengirim sekretaris Ayah itu lagi. Aku tidak perlu" Ucap Yasa

"Kamu itu kenapa sih Yasa? Masih untung ada Desty yang selalu bisa diandalkan. Kamu malah bersikap seperti ini"

" Aku sudah terbiasa sendiri Yah! Jadi tidak perlu merepotkan orang lain! Atau bahkan ayah sendiri" Yasa memalingkan wajahnya menatap kesisi Gerald, tapi bukan berarti benar-benar dia menatap Gerald, hanya tidak ingin melihat Ayahnya saat itu.

Gerald dapat melihat mata adiknya kini sudah berkaca-kaca, dia dapat melihat bahwa adiknya terluka, terbesit kesedihan dari manik hitam itu. Kata-kata yang keluar dari mulut Yasa benar-benar membuat Gerald dan Willy membeku seketika. Hingga ruangan kembali hening.

" Sudah, jangan dilanjutkan ributnya. Yasa butuh istirahat dan Ayah juga. Aku akan pulang mengambil keperluan Ayah dan Yasa."

" Ngga perlu banyak-banyak Bang, besok gue udah boleh pulang kata dokter" jawab Yasa.

" Iya"

Kemudian Gerald juga pulang meninggalkan Willy dan Yasa hanya berdua saja. Keduanya masih bersifat kukuh mempertahankan kebisuan. Mereka hanya berdiam diri dengan segala pikiran mereka masing-masing

 Mereka hanya berdiam diri dengan segala pikiran mereka masing-masing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Is It Too Good To Be True?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang