𝐓𝐨𝐅 xvii. Better Half

1.1K 244 9
                                    

Warna aurora menari di atas gunung batu. Semburat kehijauan beradu padu dengan langit malam bertabur bintang-bintang. Bersenandung di hamparan luas seakan mengejek kesendirian Valencia yang telah dua hari mengurung dirinya dalam kamar semenjak kejadian malam itu di hutan mati. Rambutnya ia biarkan jatuh di punggung yang dibalur baju tidur satin berwarna marun, kontras dengan kulit pucatnya yang berkilauan. Ia duduk menghadap jendela besar di kamarnya. Kegelapan menyelimuti kesendirian Valencia.

Valencia sadar secara penuh bahwa dalam kesendiriannya ia menggunakan waktu itu untuk berpikir. Ia membiarkan Raven menyampaikan pada Gabriel bahwa Valencia mengambil libur. Pria itu dengan pengertian mengizinkan sebab perkembangan Valencia begitu pesat. Tak terhitung berapa puluh kali Alexander mengetuk pintu kamarnya, memohon untuk Valencia mendengarkan penjelasannya. Meskipun perempuan itu tahu betul bahwa Alexander dapat dengan mudah masuk kapan saja jika pria itu mau. Namun, lebih memilih menghormati keputusan Valencia untuk berpikir.

Dalam waktu dua hari, Valencia dapat merasakan perasaan kesalnya berkurang sebab dalam hati ia tahu bahwa Alexander pasti memiliki alasan untuk keputusannya. Maka tatkala ketukan pintu itu terdengar lagi, Valencia memilih beranjak. Ia merapatkan gaun tidur sepanjang lututnya, lantas membuka pintu kamar.

Mata perak Valencia meumbuk netra hitam bertakhtakan bintang-bintang milik Alexander. Valencia memperhatikan rupa pasangan setengah jiwanya yang begitu rupawan. Rupa yang membuatnya terkesima pada pertemuan pertama. Ia melihat penampilan Alexander yang masih sama seperti dua hari yang lalu. Setelan hitam, rambut yang tak beraturan. Ditambah dengan lingkaran hitam di bawah mata pria itu yang menandakan kurang tidur. Alexander terlihat terkejut tatkala Valencia membuka pintu untuknya.

"Kau memakan cukup makanan di dalam?" Bukan permohonan untuk mendengarkan, bukan pembelaan, yang pertama kali keluar dari mulut Alexander adalah pertanyaan yang sarat akan kekhawatiran.

Valencia mengangguk, "aku makan dengan baik. Di mana semua orang?" Valencia menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru rumah peristirahatan, namun tak melihat tim Alexander di mana pun.

"Mereka sengaja pergi. Memberikan kita waktu untuk berbicara berdua," Alexander menenggelamkan kedua tangannya dalam saku. Mata lelahnya begitu intens memandang Valencia.

Valencia menghela napas. Ia berjalan ke arah dapur, mengeluarkan mug berwarna putih lantas menyeduh teh chamomile. Ia melihat Alexander yang duduk membelakanginya di sofa ruang tengah. Kedua sikunya bertumpu pada lutut manakala jari-jari miliknya menyugar rambut legam.

Tak butuh waktu lama bagi Valencia untuk menyeduh teh chamomile. Perempuan itu membawakannya satu untuk Alexander dan satu untuk dirinya sendiri. Ia duduk di seberang pria itu tatkala Alexander meminum teh miliknya.

"Teh chamomile, baik untuk seseorang yang kurang tidur," Valencia memandang ke arah Alexander yang memejamkan matanya. "Jadi, siapa saja yang tahu?"

Alexander tahu kemana arah pembicaraan mereka akan berlangsung. Maka ia menghela napas sejenak sebelum memandang Valencia lamat-lamat, "Jenn, Avery, dan Azester tahu. Raven mungkin saja, Eric tidak."

"Mengapa kau menyembunyikannya, Alex?" Anak rambut Valencia yang tergerai melambai menutup bagian pipinya. Terlihat mengganggu namun Valencia tak ingin menyungkirkannya.

Sorot mata Alexander meredup, "ini akan menjadi cerita yang panjang, Vale."

"Aku akan mendengarkannya."

Alexander melihat Valencia menganggukkan kepalanya pertanda persetujuan, maka pria itu melanjutkan, "semua berawal dari lima belas tahun lalu. Peristiwa penahanan raja yang dilakukan oleh Artemis adalah awal mula dari semuanya. Kau tahu bahwa tujuanku dari awal adalah melindungi Negeri Kegelapan dan Álfheimr. Pada malam perjamuan dagang yang sudah pernah kuceritakan padamu, Artemis mendapatkanku. Demi Negeri Kegelapan dan Álfheimr apa pun akan kulakukan, bahkan ketika Artemis menginginkanku untuk berada di atas ranjangnya, kubiarkan ia mendapatkanku selama aku mampu menghimpun pasukan di belakangnya dan mengalihkan perhatiannya. Demi itu semua, aku memberikan apa yang ia mau bahkan kubuat ia menjerit dan memohon—semakin mencandu. Tak peduli seberapa benci diriku padanya.

Throne of Flames (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang